Buku “The Social Animal” karya David Brooks saya peroleh dari situs library.edu. Buku ini tentang human behaviors. Buku ini dikemas menarik karena ditulis dalam format “semi-fiksi”. Melalui perjalanan hidup tokoh fiktif “Harold” dan “Erica”, David Brooks merangkai berbagai hasil studi psikologi, neuroscience, social sciences untuk menjelaskan bagaimana manusia terbentuk oleh hubungan sosialnya.
Dalam buku ini saya menemukan konsep “Emergent System”. Sederhananya, emergent system adalah proses ketika elemen-elemen yang terpisah hadir dan berinteraksi satu sama lain dan melahirkan suatu fenomena baru. Contohnya air, udara, angin adalah elemen-elemen yang mempunyai perilakunya sendiri, tetapi ketika bergabung di saat dan kondisi yang tepat, bisa berubah menjadi topan badai.
“Emergent System” bukanlah ide yang luar biasa, tetapi ini relatif pendekatan baru dibandingkan pendekatan “reduksionisme”. Dalam sains barat, tradisi upaya mengerti alam adalah dengan membongkar elemen-elemen sampai ke yang terkecil (atom). Kita mengerti atom, genetika, molekul, dan macam-macam unit terkecil. Dan memang pendekatan reduksionis sangat efektif dalam mengerti banyak fenomena alam semesta.
Masalah baru timbul ketika pendekatan ini digunakan untuk menjelaskan fenomena kompleks dan dinamis. Misalnya perilaku manusia, budaya, atau masyarakat. Dalam “The Social Animal”, salah satu contoh reduksionisme adalah saat berusaha menjelaskan masalah “kemiskinan” (poverty).
“Kemiskinan” dianggap disebabkan oleh satu faktor, entah itu tingkat pendidikan, kebijakan pemerintah, gizi, lapangan kerja, dll. Masalah muncul ketika pendekatan reduksionis diterapkan satu faktor kambing hitam dicari. Kemudian satu faktor tersebut dikontrol dengan harapan memperngaruhi semuanya. Dalam perspektif kemiskinan sebagai Emergent System, cara ini sia-sia. Seperti topan badai, kemiskinan adalah hasil hubungan banyak faktor. Memanipulasi satu faktor saja tidak cukup. “Mereka yang hidup dalam kemiskinan terjebak dalam ekosistem kompleks yang tidak bisa dimengerti seluruhnya” (quote dari buku).
Hal ini tentunya tidak berarti kita jadi tidak berusaha melawan kemiskinan. Tetapi kita berhenti berusaha memecah masalah ini menjadi elemen-elemen kecil, dan mulai melihatnya sebagai sebuah “sistem”, dan perlunya didekati dengan cara holistik.
Membaca buku ini, saya jadi ingat beberapa fenomena. Misalnya pengobatan barat dan timur. Pengobatan barat sebagai hasil tradisi reduksionis menghasilkan banyak obat dan terapi yang menargetkan pada “si penyakit” dan “badan yang bermasalah”. Tradisi Timur, contohnya pengobatan Cina, sering berbicara tentang penyakit sebagai akibat “ketidak-seimbangan”, Yin dan Yang, dan pengobatan holistik. Penyakit disembuhkan tidak hanya di bagian badan bermasalah, tetapi memerlukan terapi menyeluruh, Apakah pengobatan Timur lebih bisa melihat kesehatan dan penyakit sebagai “emergent system”?
Emergent System ini juga mengingatkan saya pada buku “Outliers” karya Malcolm Gladwell. Premis di dalam buku tersebut sangat sederhana, orang-orang yang super sukses bisa berhasil bukan hanya karena individunya (cerdas, rajin, ulet, dll.), tetapi justru karena faktor-faktor lingkungan di sekitarnya “cocok” (lahir di keluarga yang cocok, lahir di tahun yang cocok, tumbuh di kota yang cocok, berteman dengan orang-orang yang cocok, dll.). Ketika banyak buku rahasia sukses, individu/perusahaan banyak memuja-muja hanya pada individu/perusahaan tersebut (reduksionis), Malcolm Gladwell menunjukkan faktor-faktor hoki lain yang berinteraksi bersama di belakang sukses, dan sering terabaikan. Lagi-lagi, bagi saya jadi mirip dengan konsep Emergent System di atas.
Apakah Emergent System bisa digunakan juga dalam menjelaskan percintaan?
Seperti kemiskinan, percintaan juga adalah “emergent system”, maka pengentasannya tidak bisa reduksionis. Kita tidak bisa mencari pacar/jodoh hanya dengan mengubah satu faktor saja, misalnya: tambah berdoa saja, atau tambah berdandan saja, atau tambah wawasan saja, dll. Kalau kejombloan adalah emergent system, maka untuk mengentaskannya mungkin banyak faktor yang harus berubah, misalnya lingkungan pertemanan, jenis pekerjaan, pola hidup, hobi, dll yang semuanya harus diubah bersama-sama, untuk memperbesar kemungkinan menemukan jodoh?
Dan begitu juga sebaliknya, pendekatan Emergent System juga bisa menjelaskan peristiwa “bertemu jodoh”. Kita bertemu seseorang yang spesial bukan karena semata pertemuan dua orang individu yang cocok kepribadiannya. Di balik itu ada lingkungan yang tepat, budaya yang tepat, keluarga yang tepat, latar belakang yang tepat. Jika orang yang sama ini ditemui 10 tahun yang lalu, atau 10 tahun yang akan datang, bisa jadi tidak akan ada “jatuh cinta" karena faktor-faktor pendukungnya sedang tidak “cocok”. Jadi buat kalian yang merasa sudah menemukan pasangannya yang pas – bersyukurlah, karena kalian sudah menemukan “love emergent system” yang tidak gampang tercipta.
Ini bukan upaya menghibur diri karena masih jomblo kan😉
aduh kak. dibuka deh kartunya di blockchain :)
Huahaha😂😂😂 ya maap😁 engkau tidak sendiri dalam urusan itu @arafatnur dan @pieasant juga kok.. santai aja😂
Resensi yang menarik. Terutama bahasan kejombloan sebagai emergent system.
Ilmu baru!