Imprisoning Women | Memenjarakan Perempuan |

in #life6 years ago



Oleh @ayijufridar

Pemerintah kabupaten dan kota di Provinsi Aceh sepertinya sedang berlomba-lomba melahirkan aturan menggelikan dengan perempuan sebagai tema utama. Setelah Pemerintah Kota Lhok Seumawe sempat menerbitkan aturan larangan duduk mengangkang bagi perempuan di atas sepeda motor, disusul Pemerintah Kabupaten Aceh Utara dengan Qanun (peraturan daerah) Kemaslahatan Umat yang hingga kini masih menunggu hasil konsultasi dengan Kemendagri. Pemerintah Kota Banda Aceh, misalnya, pernah mengeluarkan instruksi yang antara lain membatasi kegiatan perempuan di atas pukul 23.00, meski untuk mencari nafkah (Kompas, Minggu 7/6/2015).

Semua kebijakan tersebut menjadi isu nasional bahkan internasional karena beberapa media luar ikut membahasnya dari berbagai aspek. Selain dikenal sebagai daerah bekas konflik dan bencana, kini Aceh menjadi pembicaraan karena kebijakan yang tak bijak dan kontroversial. Mengejutkan, karena selalu kebijakan tersebut menjadi perdebatan setelah disahkan, bukan selama proses berlangsung. Setelah ditelusuri, ternyata kebijakan itu telah melalui sejumlah proses normatif, termasuk rapat dengar pendapat dengan mengundang sejumlah ahli (meski rekan media mengaku tak mendapat informasi tersebut). Patut dipertanyakan juga, ahli seperti apa yang memberi masukan hingga kebijakan kontroversial akhirnya lolos dan menjadi perdebatan publik.




Mengapa Perempuan?

Kebijakan kontroversial yang dikeluarkan pemerintah kabupaten dan kota di Aceh semuanya menyasar perempuan sebagai objek hukum (atau terhukum?). Ironisnya, menurut elite Aceh, kebijakan tersebut dibuat justru untuk melindungi kaum perempuan. Kebijakan larangan duduk mengangkang, misalnya, beralasan demi menjaga kehormatan perempuan, meski tak disinggung aspek keamanan yang juga penting diperhatikan.

Qanun Kemaslahatan Umat di Kabupaten Aceh Utara yang belum mendapat nomor registrasi juga menempatkan perempuan “sumber permasalahan” dengan sedikit kombinasi. Sedikitnya terdapat tiga hal pokok yang menjadi perdebatan publik di Aceh dalam peraturan daerah tersebut, yakni larangan bagi toko pakaian untuk memasang manekin, larangan duduk berboncengan (tak disebutkan mengangkang) bagi laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim, serta pemisahan antara ruang belajar laki-laki dan perempuan mulai dari SD, SLTP, SLTA, sampai mahasiswa.

Entah bagaimana aturan itu nanti diterapkan ketika di lembaga pendidikan seperti politeknik, terdapat banyak kelas dengan satu atau dua mahasiswi yang juga wajib dibuatkan ruangan khusus. Kalau itu diberlakukan, tentu saja pertama kali harus dimulai dari gedung DPRD Aceh Utara yang memiliki satu anggota dewan perempuan dan 44 lainnya lelaki.

Perempuan menjadi objek dalam segala aturan kontroversial menunjukkan posisinya bergeser hanya menjadi komoditas politik. Ini merupakan kemunduran dalam perjalanan sejarah Aceh sebab pada masa lalu perempuan Aceh mendapat tempat strategis di pusat kekuasaan, termasuk ketika Ratu Safiatuddin memerintah Kerajaan Aceh pada 1641 – 1675. Harus diakui pula, lahirnya pemimpin perempuan tak serta merta melahirkan kebijakan yang properempuan. Instruksi “jam malam” di Banda Aceh justru lahir ketika wali kotanya seorang perempuan.

Klaim bahwa semua kebijakan tersebut untuk melindungi kepentingan perempuan tak bisa dipercaya. Tidak ada kebijakan yang menguntungkan perempuan dalam kebijakan tersebut maupun dalam kebijakan lainnya. Pembangunan mengabaikan kepentingan perempuan, ruang publik tak memenuhi kebutuhan perempuan, razia juga khusus untuk perempuan.

Alokasi anggaran yang bersentuhan langsung dengan kepentingan perempuan dalam APBD Peovinsi Aceh masih minim. Data Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA) menyebutkan pada 2014 hanya 0,19 persen anggaran untuk kepentingan perempuan. Pada 2015, dari total APBD provinsi Aceh Rp 12,9 triliun, hanya 0,12 persen untuk perempuan melalui program pemberdayaan ekonomi yang tak berjalan efektif.




Keberpihakan

Bagaimana elite di Aceh kemudian berani mengklaim berpihak kepada perempuan kalau kebijakan yang dibuat justru memenjarakan perempuan? Barangkali penguasa di Aceh bisa belajar dari masa lalu; tak ada pemimpin menjadi besar karena melahirkan larangan tak rasional. Di masa lalu, perempuan Aceh didorong berpastisipasi di ruang publik. Di abad modern, perempuan Aceh jusru dikirim ke ruang domestik dengan alasan menghindari pelecehan. Sudahkan pengambil kebijakan mendapatkan data benar kasus pelecehan banyak terjadi di ruang publik atau domestik?

Aturan ini justru membuat wibawa penguasa terdegradasi karena banyak dari aturan itu kemudian tak bisa dilaksanakan. Setelah melahirkan kebijakan yang kemudian menjadi kontroversi yang menghabiskan waktu, energi, dan biaya, aturan itu hanya menjadi pelengkap lembar daerah yang tak bisa diterapkan seperti yang terlihat selama ini. Elite seolah hanya ingin menuai popularitas dari kebijakan kontroversial, hitung-hitung untuk prakondisi menjelang pilkada serentak di Aceh yang tahapannya sudah dimulai tahun depan.[]






Badge_@ayi.png


follow_ayijufridar.gif

Sort:  

Aturan yang bikin saya gagal paham adalah tidak boleh duduk mengangkang sata dibonceng. Padahal kalau tidak mengangkang saat dibonceng dan sedang pakai rok, itu sangat berbahaya. Padahal, walau duduk tidak menyamping, kan tetap pakai rok panjang dan pakai celana panjang lagi.

Banyak kasus yang justru membahayakan perempuan ketika pakai rok panjang yang terselip di ban motor. Sungguh mengerikan

Wadus, baru tahu sudah melahirkan hukum baru? Ketika hamil tidak memikirkan nash yang sehat dan menyehatkan hmmmm...

Posted using Partiko Android

Entah lah Bang @ayijufridar.
Saya tidak tahu harus koment apa. Satu sisi ini kebijakan pemerintah KITA yang apapun mau dikatakan tetap ureung tanyoe.
Satu sisinya lagi seperti kata Abang, apa tidak ada moment-moment lain yang membuat kita harus terkenal kontroversial?

Sebenarnya saya disini mengikuti saja arus air berjalan. Bukan bermaksud menolak dan membela.

Tapi itu opini saya yang sudah lama. Seluruh kebijakan itu ternyata tidak berjalan.

kalau larangan bekerja di atas jam 23, bagus itu, tapi klo duduk dan berboncenganpun di atur hmmm... no coment....deh.. takut salah ngomong....

Setelah semua yang direncanakan, akhirnya tidak berjalan juga..

Adakah indikasi penguasa di Aceh kehabisan ide kreatif pak @ayijufridar ?

Entahlah bang, kadang kita tidak memahami bagaimana memperlakukan perempuan dengan baik. Sampai-sampai terlalu banyak aturan untuk perempuan.

excelente trabajo good post