Dunia jurnalistik milenium ketiga ditandai bertumbuhnya media-media digital atau online, sekaligus diikuti depresi pada media mainstream.
Salah satu kematian media cetak yang cukup mengejutkan adalah Rocky Mountain News. Koran legendaris yang berasal dari Colorado Amerika Serikat lahir pada 23 April 1859, akhirnya gulung tikar pada 27 Februari 2009 dengan pelbagai sebab. Koran ini gagal menuju perayaan 150 tahunnya. Demikian juga The Washington Post, harus berhenti cetak pada 5 Agustus 2013 dan berfokus pada terbitan online. Koran terbesar di Amerika Serikat, The New York Times juga mengalami tekanan itu meskipun tidak sampai punah. Mereka mengurangi oplah cetak dan halaman koran.
Di Indonesia kematian media cetak juga terjadi. Yang paling fenomenal adalah Sinar Harapan. Koran yang telah hadir sejak era Soekarno dan menjadi salah satu media cetak paling berani di masa Orde Baru itu berhenti cetak pada 1 Januari 2016. Kesenangan publik untuk membaca berita melalui gadget, semakin bonafitnya media-media online, dan semakin dekat literasi publik pada media sosial menjadi penyebabnya.
Padahal Sinar Harapan menjadi saksi dari tulisan-tulisan saya, sejak jatuhnya pemerintahan militer Orde Baru hingga masa menyedihkan Aceh akibat Darurat Militer 2003-2005. Saya masih ingat tulisan-tulisan pedas saya mengkritik para jenderal penyebab vivere pericoloso di Aceh. Termasuk besaran honornya yaitu Rp. 350 ribu yang terus bertahan hingga akhir hidupnya.
Koran Tempo yang menjadi media progresif pascaOrde Baru juga mulai mengecilkan oplahnya hanya di beberapa kota besar saja pada 1 Juli 2017. Awalnya Koran Tempo dikenal sebagai koran nasional. Namun kini mereka lebih memfokuskan bisnis kepada format digital. Tahun 2000-2004 adalah masa saya cukup sering menulis untuk koran ini, baik untuk rublik Pendapat (opini) atau resensi buku.
Salah satu yang membuat saya dikenal sebagai pengkritik Pemerintahan Abdullah Puteh ialah berkat tulisan-tulisan di media ini. Saya masih ingat Dr. Humam Hamid malam-malam menelpon memberikan selamat atas tulisan saya di Koran Tempo, sekaligus berdiskusi cukup lama. Padahal saat itu pulsa handphone tidak semurah sekarang.
Saya juga merasakan revolusi digital-daring terhadap volume tulisan di media cetak. Saya adalah pembaca Kompas sejak artikelnya masih sepanjang 1500-1700 kata sebelum tahun 2000. Saya masih ingat artikel-artikel yang “super panjang” dari penulis seperti Ulil Abshar Abdalla, Afan Gaffar, Ignas Kleden, Abdurrahman Wahid, Y.B. Mangun Wijaya, dll. Karena saat itu asupan media sangat terbatas, saya biasa membaca artikel-artikel mereka di malam hari setelah kuliah siangnya di IAIN Sunan Kalijaga. Bagi para aktivis, kalau belum baca Jawa Pos, Kompas, dan Bernas berarti dianggap masih telmi. Kami biasa mendiskusikan artikel-artikel itu demi menghidupkan semangat aktivisme di era serba tertutup pada saat itu.
Meskipun sudah menjadi pembaca Kompas sejak 1993 atau sejak bangku pertama kuliah, tulisan saya di Kompas baru muncul pada 27 Maret 2002. Judul artikelnya, "Mengamati Islam Liberal". Honornya saat itu Rp. 350 ribu dan kini sudah menanjak menjadi Rp. 1 juta. Itu karena sejak menjadi Ketua Senat Fakultas Syariah IAIN Sunan Kalijaga, saya mulai berani menulis gagasan di media cetak. Saya mulai mengirimkan tulisan sejak 1997-1998 di pelbagai media massa.
Tulisan saya baru tembus di Kompas lima tahun sejak pengiriman pertama atau sudah mengalami 34 kali ditolak naskah. Naskah ke-35 tembus. Kenapa saya hapal angka itu? Sebab Kompas melakukan retour atau pengembalian naskah yang ditolak lengkap dengan perangko. Semua itu saya simpan. Meskipun demikian, yang membuat saya tetap semangat menulis karena artikel-artikel saya masih bisa muncul di harian Bernas, Serambi Indonesia, Aceh Ekspress, Jawa Pos, Wawasan, Pelita, Solo Pos, dan Jogja Pos. Alangkah gembiranya ketika Serambi Indonesia atau Solo Pos mengirimkan wesel honor tulisan saya. Rp. 50 ribu yang sangat berharga saat itu.
Kegigihan saya saat itu diapresiasi Mas Dewabrata (alm), redaktur opini Kompas. Pada pertemuan penulis Kompas di Yogyakarta, ia sampai harus mencari saya dan memberikan selamat karena keuletan saya. Sebenarnya itu masih “biasa” saja, karena menurut Mas Dewa ada profesor yang sudah 80 kali mengirimkan naskah dan belum pernah diterbitkan Kompas. Masalahnya para dosen terbiasa kaku dan tidak mau mengubah format penulisan mereka menurut format artikel ala Kompas. Mereka masih terpaku pada model penulisan makalah seminar atau jurnal.
Sejak itu Kompas pun mengalami revolusi teks. Dari 1500 kata hingga terus turun menjadi 700 kata saat ini. Suatu ketika pascaperdamaian Aceh, Mas Tonny Widyastono, redaktur_Kompas_, pernah menelpon agar meringkaskan artikel saya tentang kepulangan Hasan Tiro dari Stockholm ke Aceh. Saat itu panjang artikel sekitar 900 kata. Ia meminta saya memenggalnya menjadi sekitar 600 kata. Saya bilang, bagaimana cara saya meringkasnya? Mas Tonny mengancam, “kamu harus bisa mengeditnya dalam waktu dua jam, atau saya tidak bisa memuatnya”. Saat itu dengan “bercucuran keringat dan air mata” termasuk rasa dongkol, saya menuruti keinginan Mas Tonny menjadi sekitar 650 kata. Mas Tonny kemudian membuang sekitar 20 kata lagi.
Namun sejak itu saya menyadari, bahwa kita sebenarnya bisa menulis sesuatu secara ringkas. Istilah yang lebih tepat adalah concise yaitu ringkas nan padat. Kira-kira kalau dianalogikan artis mirip Jennifer Lopez atau Priyanka Chopra. Tulisan artikel di media massa jangan terlalu montok seperti Kim Kadarshian atau Amber Rose. Slim and chick, kalau istilah kekiniannya.
Hal itu semakin diperlukan saat ini. Sekarang tidak ada media yang bisa menerima artikel yang panjangnya 1000 kata lebih. Kalau Anda masih melakukan itu, redaktur pasti mengira ini penulis kuno, sisa manusia gua yang suka berpanjang-panjang menulis, tapi isinya paling hanya 30-50 persen saja.
Cara paling tepat adalah, tuliskan sebuah artikel sepanjang 1000 kata dan kemudian mulai pahat dan buang “najis-najis linguistiknya” sebesar 30 persen. Jadilah akhir tulisan sekitar 700 kata. Jangan langsung menulis 700 kata, karena bisa dipastikan hanya tersisa 300-400 kata penting dan bagus.
Kenapa perlu ringkas? Karena kehidupan masa kini juga semakin ringkas. Keberadaan media sosial membuat literasi semakin pendek dan banal. Orang semakin kekurangan referensi tekstual yang panjang-panjang, tapi di sisi lain masyarakat global harus membaca. Redaktur Kompas.online Inug Nugroho pernah mengatakan pada sebuah pelatihan menulis, rata-rata pembaca tulisan digital hanya khusyuk membaca 75 persen tulisan jika dibandingkan tulisan edisi cetak. Jadi tulislah 25 persen lebih ringkas!
Tantangan terbaik ada pada para Steemians, bisakah menulis sepanjang 400-700 kata yang padat dan kuat? Karena di banyak postingan saya melihat rata-rata hanya mampu menderetkan 150-200 kata saja. Itu lebih mirip straight news dibandingkan artikel atau feature. Hal ini juga menyahuti semangat sang kurator @levycore bahwa Steemians jangan hanya bisa posting foto atau sepenggal kalimat saja, tapi jadikan pengalaman di blog untuk belajar menulis secara baik dan fasih. Kita pewaris peradaban literasi di era digital. Jangan gatal langsung posting kata-kata tanggung yang berisi 50-100 kata semata.
NB : Anda hanya boleh menulis sepanjang ini, jika yakin pembaca sudi membacanya hingga tamat. Bagi pemula tidak disyaratkan seperti ini. Ini seperti Film The Godfather yang orang harus menonton sampai habis, atau kehilangan cita rasa ceritanya.
Tanpa sadar saya tiba pada bagian "Anda hanya boleh menulis sepanjang ini, jika yakin pembaca sudi membacanya hingga tamat" ini. Sangat mencerahkan dan memberi motivasi berlebih untuk kita yang masih belajar menulis. Saya baru tahu kalau tulisan pak Kemal baru muncul di Kompas pada kiriman ke-35. Luar biasa perjuangannya. Saya sendiri pada kiriman ke-50 dan menjadi satu-satunya tulisan saya yang dimuat Kompas. Sekarang sudah 4 tahun tidak pernah lagi mengirim tulisan ke Kompas, ke media lain juga tidak kecuali 'ditugaskan' menulis. Saya lebih menikmati menulis di blog, bebas dan bisa menulis suka-suka.
Ya saya baca tulisan Taufik @acehpungo di Kompas saat itu. Sayangnya kenapa berhenti? Padahal itu jalan menuju alam terang baru.
Nice to see you again
Selepas tulisan yang dimuat itu saya sempat menulis beberapa tulisan lain, tapi selalu ditolak dengan alasan "Tema yang Anda tulis sudah kami pesan pada penulis lain". Sejak itu saya jadi tidak bergairah lagi mengirim tulisan. Mudah-mudahan semangat mengirim tulisan ke Kompas muncul lagi.
Harus kembali menulisTaufik. Sampai tembus. Demi u marwah kita, masyarakat Aceh
postingan menarik saya juga penasaran, bagaimana artikel bisa sangat ringkas seperti itu.. ?
tapi ini postingan menarik , karena ini zaman sibuk.. waktu adalah segalanya..
Terima kasih telah membuat postingan yang sangat berharga bagi saya dan teman-teman ksi semua, mudah-mudahan steemit Indonesia terus berkembang.
Terimakasih @teukukhaidir udah sempat membacanya. Saya menulis setelah merasa gamamg kekalahan Indonesia dari Malaysia..... Hahhaa
Jika menulis cerita apakah juga harus diringkas? Atau dibuat bersambung saja agar isi cerita tidak ada yang dibuang maupun dihilangkan? Mohon pencerahannya.🤗
Untuk cerita yang panjang silakan dibuat serial. Cerpen yang paling panjang pun skr hanya sekitar 1000 kata... Kita tak temukan lagi cerpen koran sepanjang seribu Kunang2 di Manhattan
Terima Kasih buat penceràhannya.
Nice post
Amazing.....
Sukses selalu Abg....
Thanks @boyelleq.... Pasti lagi nonton bola.
One of the shocking print media deaths is Rocky Mountain News. Legendary newspaper from Colorado United States was born on April 23, 1859, finally folded on February 27, 2009 with a variety of reasons. The newspaper failed to celebrate its 150th anniversary. Likewise The Washington Post, should stop printing on August 5, 2013 and focus on online publications. The largest newspaper in the United States, The New York Times also suffered the pressure though not extinct. They reduce printed circuits and newspaper pages.
Thanks for translating my article @mukhtar.juned. You are the truly manager of PLN (State Electricity Company); to serve and to protect the costumers. Cheers
and one more, being a truly admin for more than 27 groups whatsapp
that's a freak mission that I didnt get the point yet......Hahahaha
but actually he was a lucky man. he comes from the dark past. and now he stand on the bright future. he is my best friend now. no matter in my house dark or light.
Oh really.... I like to hear his story of life. Perhaps can be an insight for everyone
Dapat ilmu lagi dari suhu menulis.
Thanks @dsatria for reading...... Soon you'll be an author too
saya membacanya sampai habis, dan sangat menarik. Membaca melalui gawai kalau panjang-panjang juga bikin mata sakit. Tinggal mempraktekkan nih.....
Terima kasih sudah mengapresiasi..... Concise means thickness, not thin
Saya juga merasakan ini terjadi di Aceh.. meski belum gulung tikar, minimal tikarnya mulai kusut...
What de point do you mean?
Bereh that.....
Memang mantap sangat postingnya!
Thanks anyway @bukhairidin
Surat kabar yang syahid termasuk tempat saya dulu bekerja Jurnal Nasional yang pada awalnya begitu indah (layoutnya).
Diskusi soal ini sudah pernah beberapa kali saya ikuti bertema "Awal Dari Akhir Media Cetak". Seingat saya, pertama kali sekitar tahun 2010 di Jakarta, dan 2011 di Makassar. Banyak yang menyangsikan medai cetak akan tetap bertahan.
Salah satu suhu jurnalistik Indonesia, Pat Atmakusumah, menyebutkan media cetak harus lebih kreatif mengemas berita dan tidak fokus pada kecepatan yang menjadi kelebihan dari media online. Kemudian, media cetak juga bersinergi dengan edisi online yang membuat mereka memiliki lebih banyak pilihan.
Betul... Hal itu lah yang dilakukan oleh Kompas untuk bisa eksis... Yang lain. Masih banyakhanya menyalin versi cetak ke online. Serambi Indonesia sebagai anak didik Kompas juga melakukan itu meskipun masih belum serius.
Suatu saat nanti, semuanya harus serius dengan versi online, seperti yang pernah dikatakan Budiono, pendiri detikcom.
Jurnas itu termasuk luar biasa juga. Saya sempat menjadi penulis tetap disitu dan honor nya lumayan besar, Rp. 400 rb. Honor puisi pun lumayan. Kalau gak salah Rp. 175 rb
Saya suka dengan layout-nya, @teukukemalfasya. Kalau konten, kita sama-sama tahulah. Hehehehe. Sayangnya, media itu harus syahid
NB : Anda hanya boleh menulis sepanjang ini jika yakin pembaca akan membacanya hingga tamat. Saya setuju sekali, selain film The God Father, jadi ingat film Gone Girl juga. Sebagai pembaca novel saya dapat menontonnya hingga tamat, tapi bagi teman saya yang suka scifi langsung tertidur di 15 menit pertama. Masing2 tema ada penggemarnya, dan terus terang sebagai penulis status facebook yang sedang berevolusi menjadi penulis di steemit, saya tidak berani menulis sepanjang artikel di atas :D
Tapi bunda @rayfa sdh punya bakat, yaitu membaca naskah panjang seperti novel, jd daya tahan literasi sudah ada meskipun baru sebagai pembaca.
Waktu saja yang akan mematangkan dunia tulisan, jika tak menyerah di tengah jalan
Tapi daya tahan literasi semakin berkurang dengan bertambahnya usia, dulu saya bisa menghabiskan berpuluh episode Kho Ping Ho dalam waktu seminggu. Tapi sekarang sudah tidak mampu. Kemarin seorang teman menawari Sang Kombatan, agak tertarik untuk kembali membolak-balik halaman buku.. tapi gawai memang lebih menyita waktu :D
Jangan bunuh waktu dengan gawai. Perbanyak baca buku2 cetak. Kalau koran pastikan mendapat asupan pengetahuan dari Kompas atau Koran Tempo.
Saya tidak punya rencana bantah! Two thumbs Up!
Hahaha, bantah pih hana masalah di era demokrasi media lagee jinoe @bahagia-arbi.... BTw, rencana politik dot com nya. hehehe
Siip, masukan yg bagus buat steemian Indonesia :)
Seperti dikatakan @ayijufridar, cepat atau lambat para Steemians akan menekuni cara menulis yang benar. Alah bisa karena biasa
Generasi Z dan menyebabkan kematian bagi media cetak
Tapi media cetak belum betul2 mati... Mrk pingsan aja
Tulisan Pak @teukukemalfasya sangat menggairahkan saya sebagai pemula dalam menulis. Terima kasih tips dan pengalaman bapak.
Sangat enak dibaca, luar biasa @teukukemalfasya
Artikel ini sangat mengispirasi kami yang baru belajat menulir Pak @teukukemalfasya.
Woowww, Luar biasa tulisan ini bang @teukukemalfasya , sangat berkesan bagi saya, ini seperti nasihat orang tua kepada anak. Thank bang
Mantap kali bg kemal.
Suatu bentuk penyadaran yg luar biasa akan dunia literasi.
Dpt ilmu baru lagi, bahwa menulis tdk perlu boros 😂😉