Aku hujat mati-matian nuraniku, karena pergoki dengki yang aku pelihara dengan manja.
Ku caci-maki habis nuraniku, karena tangkap basah culas yang aku pelihara bagai anak emas.
Tapi kali ini aku harus bertatap muka dengan “Rasa Malu”. Rasa malu yang sebelumnya tidak pernah aku kenal. Ya.. malu, adalah kosa kata yang tidak masuk dalam kamus kehidupanku.
Biasanya aku tidak peduli, tapi kali ini tatapan sinisnya itu sangat menggangguku. Tiba-tiba, ia hadir dan aku tak kuasa menyingkir. Malu merasuki jiwaku.
Ku pandangi tubuhku yg penuh kebusukan, akibat nafsu yg terus menghasut tak kenal lelah. Nafsu yang datang dari berbagai arah dengan penuh tipu daya.
Ku tatap tubuhku yang berpeluh darah dan nanah, akibat ego ku yang rakus, yang telah sukses membuat akal ku lumpuh.
Yaa.. aku selama ini membusungkan dada atas darah biru yang mengaliri tubuhku. Dahaga akan pujian atas warisan harta yang melimpah. Ketagihan decak kagum dan tepuk tangan atas berbagai kehebatan yang mengiringi perjalanan hidupku.
Baru sekarang, aku ingin serius mendengarkan bisikan nurani. Tapi ia membisu. Akan ku relakan diri ini menjadi muridnya yang patuh. Tapi ia tetap membisu. Rupanya ia sedang sekarat, terkapar di serambi kematian. Kini jiwa yang ada dalam diri ini berontak dengan segala kekuatannya, pergi meninggalkan ku.
Posted using Partiko Android
this poetry article maybe you have to learn Indonesian so you know the true meaning
Posted using Partiko Android