Foto Ajeer Osama. Demo Pembebasan Tapol / Napol Aceh
Pagi-pagi sekali sesudah shalat subuh aku sudah mempersiapkan diri untuk berangkat kerja. Banyak agenda yang harus kulewati untuk mencapai impianku. Terutama sekali impian membangun sebuah rumah untuk anak-anakku, dan membeli sebuah mobil baru untuk mereka.
Dahulu, aku sudah menyusun semua agenda itu. Merangkum dalam sebuah manajemen yang rapi, namun usahaku gagal total lantaran terbelenggu istrinya, "jangan kerja terlalu keras, jangan terlalu dipaksakan untuk bekerja," celutuknya penuh kasih. Aku tak perlu mangkit atas alasannya itu. Yang kupikirkan adalah bagaimana impianku itu tercapai.
Di kantor teman-teman masih terlelap. Aku membuka pintu dan melihat mereka terbaring di ruang tamu. Laptop serta peralatan mereka bekerja berserak di lantai. Aku memasuki ruangku, membuka jendela dan mengaktifkan laptop milikku. Kemudian aku melakukan tugasku. Sehari-hari tugasku memonitoring sebuah grup di lembaga kami. Lembaga kami bergerak di bidang pendidikan non formal, dimana program-program yang menyentuh pro rakyat kami kerjakan.
Banyak donatur yang menyumbang ke lembaga kami, mereka menyumbang penuh keiklasan. Tak ubahnya dengan kinerja kami yang saling bahu membahu memajukannya. Pernah sekali kami kehabisan uang untuk melanjutkan program kami, tapi ada saja jalan keluar yang kami temukan.
Sampai suatu ketika lembaga kami maju sampai mempunyai cabang ke Lamno Jaya, "baik Pak, boleh kita buka saja cabang ke sana," imbuhku. Dan sampai di sana berhasil pula kami membuka ranting di lembaga kami.
Sembari duduk di depan laptop, kucatat satu persatu tugas kami. Pertama adalah menulis berita tentang tahanan politik Aceh yang masih mendekam di penjara Cipinang. Aku mengangkat berita tentang mereka. Di mana Corby yang berkasus ganja dapat dibebaskan, kenapa kasus tahanan politik Aceh tidak? Perjalanan panjang itu terus kugeluti sampai mereka benar-benar bebas.
Lama di sana, kira-kira setahun lebih, aku berangkat pagi dan pulang menjelang tengah malam. Tak ada kemenangan, yang tersisa hanya seberkas harapan yang tak bersinar. Pagi-pagi sekali aku menghidupkan sepeda motor bututku dan berjalan melintasi sepanjang jalan kota Sigli. Sesampai di sana kubelikan kopi dan kue untuk mereka, agar mereka teman-temanku bisa bekerja semaksimal mungkin.
Siang hari, makanan sudah kami siapkan. Kami mengambil catering. Paling tidak untuk menopang perut kami. Agar misi kami cepat selesai. Tapi, syukur tidak lama setelah itu tujuan kami tercapai, tahanan politik Aceh dibebaskan. Kami pun merasa lega. "Baiklah bang kalau begitu," ujar Muhajir salah seorang temanku. Di pamit undur, dan lebih memilih pindah di lembaga lain bagian sejarah (Mapesa), aku tidak melarang. Siapapun punya hak tersendiri untuk berkreatifitas. Hanya saja harapanku lembaga lama jangan dibuang, itulah tangga sebagai batu loncatan untuk kita semua.