Perjalanan dari Banda Aceh ke Kecamatan Jaya, Aceh Jaya butuh waktu lebih kurang dua jam menggunakan minibus Xenia, minibus tersebut milik salah seorang anggota rombongan. Sampai di kilometer 71, arloji menunjukkan pukul 19.47. Bukanlah waktu yang tepat untuk menyeberangi pulau. Apalagi belum ada kabar konfirmasi dari nelayan setempat yang sudah lebih dulu dimintai jasanya untuk mengantarkan kami dengan perahu motornya. Salah seorang anggota rombongan terlebih dahulu membuat janji dengan pemilik perahu. Janji semula kami akan menyeberang pada sore hari.
Setelah semua perlengkapan dan peralatan siap, kami bergegas menuju pelabuhan penyeberangan ditengah alunan azan Magrib sedang bersahutan. Dari kilometer 71 menuju pelabuhan hanya membutuhkan waktu sepuluh menit untuk sampai ke sana. Damanhuri yang sebelumnya telah membuat janji mencoba menghubungi nelayan setempat yang akan mengantarkan kami ke Pulau, nomor kontaknya sudah terlebih dahulu disimpan dan diberi nama "Bang Raman Boat".
"Tidak ada jawaban" Kata Daman.
"Hubungi lagi.!" Salah seorang dalam rombongan menjawab spontan.
Semua khawatir jika Bang Raman tidak mau lagi menyeberang. Suasana pelabuhan benar-benar sepi, ditambah kondisi listrik yang sedang padam. Hanya lampu sepeda motor yang menerangi pembukaan malam. Kami benar-benar bingung setelah beberapa kali panggilan telpon tidak dijawab oleh Bang Raman.
"Sou kapreh?" Tanya seseorang dengan logat Lamno yang kental. Aku perkirakan itu adalah nelayan yang baru menyandarkan perahunya di tepi kuala.
"Ku preh Bang Raman" Jawab Daman dengan logat Lamno juga. Damanhuri merupakan Putra Lamno yang sedang menyelesaikan study sarjana di UIN Ar-Raniry.
Perbincangan terus berlanjut antara Daman dengan nelayan tadi. Dari perbincangan keduanya kami dapatkan informasi jika sebelumnya Bang Raman sudah menunggu kami dari setelah Ashar sampai Magrib tiba. Semuanya bingung dan khawatir. Jika Bang Raman menolak mengantarkan kami, maka semua rencana akan gagal.
"Shalat Magrib dulu kita" Kata Mirza memberi solusi ditengah kekhawatiran teman-teman lainnya. Mirza adalah Ketua Umum Badan Koordinasi Himpunan Mahasiswa Islam, Aceh, yang memiliki nama lengkap Mirza Fanzikri. Sambil menunggu Bang Raman menjawab panggilan telpon Daman, kamipun menyelesaikan kewajiban shalat Magrib di balai dekat pelabuhan. Sepertinya balai panggung sederhana yang terbuat dari kayu menyerupai balai mengaji itu sudah menjadi musalla bagi nelayan untuk melakukan shalat. Keberadaan musalla itu menegaskan bahwa kesibukan apapun yang kita lakukan jangan pernah melupakan kewajiban shalat, dan selalu bersyukur kepada Pemilik Semesta yang memberikan rezeki kepada Hambanya.
Kami baru saja menunaikan Magrib. Dikegelapan seseorang dengan senter di kepalanya datang menggunakan motor bebek yang bersuara bising. Daman mendekati orang itu. Belakangan kami tahu kalau yang datang itu adalah Bang Raman yang akan mengantarkan kami ke seberang. Sepertinya Bang Raman tidak mau membuang-buang waktu. Tanpa banyak bicara dia segera melepaskan tali pengikat perahu motornya. Mungkin Bang Raman kesal dengan ulah kami yang tidak tepat waktu. Mungkin karena sudah berjanji mengantarkan, maka dia harus mengambil risiko menembus gelombang ditengah gelap malam untuk bisa sampai ke Pulau Keluang.
Semua kami berjumlah sebelas orang. Maka, untuk dapat menyeberang harus dibuat dua kelompok keberangkatan. Ukuran perahu yang kami tumpangi hanya muat maksimal tujuh orang penumpang. Dan hanya ada satu perahu motor milik Bang Raman yang bersedia mengantarkan kami. Biasanya begitu malam tiba, para nelayan yang menggunakan perahu sudah menghentikan aktifitasnya seiring disandarkan perahunya. Tidak terkecuali, mereka juga akan melolak jika ada orang yang membutuhkan jasa mereka untuk diantarkan ke pulau. Mereka tidak mau ambil risiko. Namun entah bagaimana bisa Bang Raman bersedia mengantarkan kami.
Bagitu perahu sudah bersandar, kelompok pertama yang berjumlah enam orang tanpa melupakan bacaan "Basmallah" dengan penuh kehati-hatian menaiki perahu beserta barang bawaannya. Aku termasuk dalam kelompok yang pertama sekali berangkat. Setelah dipastikan semuanya siap Bang Raman menyalakan mesin motornya. Perlahan meninggalkan pelabuhan dan keluar dari kuala menuju bibir pantai dengan mengandalkan cahaya senternya. Diam-diam kami semua sedikit ketakutan ketika laju perahu motor semakin kencang.
Gelombang semakin kuat ketika perahu semakin dekat dengan pantai. Suara obak semakin kuat terdengar. Bang Raman sangat menikmati tarian perahu motornya di atas ombak, sementara kami duduk membatu dengan berpegangan kuat pada sisi-sisi perahu. Tiba-tiba laju perahu semakin pelan, raungan mesin tidak lagi terdengar. Gelombang masih saja membuat perahu naik turun. Semua kami memperhatikan Bang Raman. Bang Raman adalah satu-satunya orang yang kami andalkan dalam kondisi seperti ini. Semua percaya penuh dengan apa yang dilakukan Bang Raman. Dari penerangan cahaya senter yang menempel di kepala Bang Raman kami tahu bahwa ada gelombang besar sedang mengarah ke arah kami. Bang Raman terus menyoroti gelombang itu.
Raungan mesin motor perahu Bang Raman kembali terdengar. Laju perahu kembali kencang. Berbagai pertanyaan muncul dalam benakku. Apa yang akan dilakukan Bang Raman? Apakah dia akan menghantam gelombang besar di depan yang sudah sangat dekat? Atau mungkin dia mau kerjai kami semua yang datang tidak sesuai janji?
Dengan cepat dan lihai Bang Raman membelokkan perahu sambil menurunkan gas mesin bersamaan di saat gelombang besar tadi mengenai badan perahu. Sehingga guncangan perahu yang diakibatkan gelombang tidak terlalu kencang. Walaupun demikian, kejadian seperti itu membuat kami cukup ketakutan.
Setelah melewati gelombang tadi kondisi perjalanan relatif tenang. Ternyata di tempat gelombang besar yang tadi kami lewati adalah batasan antara mulut kuala dan bibir pantai. Benar seperti kata pepatah lama bahwa "air beriak tanda tak dalam". Semakin ke tengah, kondisi lautan semakin tenang. Yang tampak adalah cahaya putih dari lampu para nelayan di lautan lepas yang sedang menangkap ikan. Sesekali diantara kami ada yang menoleh ke belakang. Lampu-lampu kendaraan yang sedang lalu-lalang dijalanan terlihat kecil dari kejauhan. Kami semakin jauh dengan daratan.
Belum ada cahaya dari rumah warga yang terlihat. Sepertinya listrik masih belum menyala. Itulah kondisi di Negeri ini, hampir saban tahun listrik selalu menjadi masalah. Namun dalam agenda pembangunan, listrik tidak pernah menjadi prioritas. Sayang sekali masyarakat pesisir selalu menjadi korban. Padahal, mereka adalah keluarga nelayan yang hari-harinya bekerja mencari ikan untuk memenuhi protein bagi kita semua, bagi negeri ini. Mereka bekerja agar penduduk negeri ini tidak makan cacing untuk kebutuhan protein, seperti yang dikatakan oleh Menteri Kesehatan di pulau seberang nun jauh di sana. Karena banyak makan ikan segar tangkapan nelayan anak negeri cerdas dan bisa duduk di pucak pimpinan organisasi bahkan Instansi Negara. Banyak juga yang menjadi Anggota Parlemen. Namun nelayan tetaplah nelayan yang selalu dilupakan.
Lebih kurang sepuluh menit perahu motor berjalan dalam gelap malam, kamipun sampai di pantai Pulau Keluang. Bang Raman terus memutar-mutarkan perahunya. Sepertinya dia sedang mencari jalan masuk untuk menyandarkan perahunya ke tepi. Kondisi laut sedang surut, pantainya sangat dangkal. Kami dapat melihat terumbu karang yang sangat indah dan memantulkan cahaya ketika senter Bang Raman sesekali menyorotinya. Bang Raman tidak mau merusak terumbu karang yang ada, dengan senternya dia terus berusahan mencari jalur masuk yang relatif dalam. Aku berpikir, orang-orang kecil seperti Bang Raman lah yang benar-benar menjaga dan melestarikan alam yang ada.
Akhirnya Aku dan beberapa teman lainnya dapat menginjakkan kaki yang pertama kalinya di Pulau Keluang pada Sabtu, 7 April 2018. Walaupun kondisinya tidak dapat melihat keindahan alam karena gelapnya malam, kami bersyukur sudah sampai dengan selamat ke pulau yang menjadi destinasi wisata banyak orang yang dikenal dengan keindahannya. Tidak ada pilihan lain, untuk dapat menikmati indahnya pantai Pulau Keluang kami harus bersabar sampai matahari keluar. Lebih kurang sepuluh jam kedepan kami harus menahan diri.
Raungan mesin motor perahu Bang Raman kembali terdengar. Perahu pergi menjemput kelompok kedua yang masih bertahan di pelabuhan. Masing-masing kami melakukan tugasnya untuk mempersiapkan makan malam. Hanya dengan mengandalkan penerang dari senter andriod masing-masing, kami berhasil mengumpulkan kayu bakar dan menyalakannya untuk mempersiapkan makan malam. Tidak lama kemudian kelompok kedua yang berjumlah lima orang sudah sampai ke pulau. Kami terus melakukan yang bisa kami lakukan agar makan malam bisa cepat tersajikan.
Sampailah pada sesi makan-makan. Bebek masak merah dengan bumbu khas Lamno membuat kami ingin menambah porsi makan. Namun nasi yang dimasak hanya cukup sekali makan untuk sebelas orang. Tidak ada pilihan untuk menambah porsi makan. Semua kami merasa cukup dan sesuai dengan porsi walaupun sesekali aroma gulai bebek menggoda lagi selera makan. Sebagian kami memilih menikmati malam di tepi pantai pulau Keluang, dengan alunan ombak dan angin yang meniup pelan. Sebagian lagi memilih merebahkan tubuhnya di gubuk yang sudah tersedia di sana. Tentu setelah semuanya menunaikan Isya. Kami menanti pagi dengan berbagai cara.
Mantap tulisan nya dan pemandangan nya luar biasa....
Terima kasih @blacksweet24, nantikan tulisan berikutnya dengan cerita perjalanan ke Pulau Keluang.
Luar biasa. Selanjutnya menanti cerita sesi pagi...
Masih banyak sesi yang perlu diceritakan. Sebab, setelah semua kembali ke aktifitasnya, hanyalah cerita yang tersisa. Sayang jika tidak dituliskan.
Pokoknya bg raman aneuk muda lam film nyo.. hehe
Tulisan yang menarik, keren dan penuh kutipan makna yang mengkritik.
Mantap bg @afzaldelima
Yang jadi aneuk muda adalah Bang Raman dan Bang Daman. Bang Daman adalah Bos dalam perjalan.