“Demi mencari sesuap nasi rela aku merantau ke luar negeri. Menyeberangi lautan mengadu nasib dinegeri jiran. Anak dan suami ku tinggalkan hanya untuk mendapatkan uang, terpikir olehku akan bahagia namun ternyata hanya hayalan semata”.
Sebut saja namaku Ina. Kumulai kisah perjalanan dari cerita pilu ini, saat aku memilih merantau ke negeri jiran Malaysia. Saat itu, usiaku baru 25 tahun. Setelah mengurus berbagai keperluan keberangkatan mulai dari paspor dan lain sebagainya, akhirnya aku berangkat dari kampung halamanku di Medan Sumatera Utara menuju Malaysia.
Saat disana, aku bekerja sebagai pembantu rumah tangga pada salah seorang warga kaya. Sehari-hari majikan menugaskanku pergi kepasar untuk berbelanja berbagai keperluan dan kebutuhan. Disitulah awal aku mengenal dengannya (suamiku sekarang).
Seperti kata pepatah, seringnya bertemu maka semakin terbayang. Singkat saja, akhirnya kami sama-sama menyatakan perasaan. Lima bulan menjalin perasaan akhirnya kami memutuskan menikah.
Suamiku itu bukanlah orang Malaysia, tapi dia orang Aceh Utara, dia juga sudah lama mengadu nasib di Malaysia. Sekitar sudah tiga tahun dia disana dan bekerja sebagai kuli bangunan. Meski, pekerjaannya hanya kuli bangunan namun aku sangat mencitainya. Bagiku, dia baik, pengertiaan dan penyayang hingga aku dimabuk kepayang dibuat olehnya.
Di awal pernikahan kami, kami sangat bahagia, hidup bersama, sedih senang sekarang ku lalui dengan sukacita. Karena aku sudah menikah akhirnya aku memutuskan untuk keluar dari pekerjaanku sebagai pembantu rumah tangga dan tentu saja aku sudah tidak tinggal lagi dirumah majikanku. Kami memutuskan mencari kontrakan kecil dalam menjalani biduk rumah tangga.
Kami memutuskan sepakat untuk mencari uang bersama. Aku mulai mencari pekerjaan yang baru dan menjadi salah satu karyawan di tempat pembuatan lilin. Sedangkan suamiku dia masih bekerja ditempat yang sama.
Menjalani tiga bulan pernikahan kami, akupun hamil dan kami sangat bahagia bakal hadir buah cinta dan hidup menjadi sempurna. Sebagaimana biasanya, bawaan hamil begitu banyak tingkah. Seperti mual dan muntah-muntah bahkan sering ngidam sesuatu. Namun suamiku selalu menemaniku dan mengabulkan semua permintaanku.
Hingga sampai delapan bulan masa kehamilanku, disini barulah aku mengambil masa untuk cuti karena pada saat itu, perutku sudah membesar membuatku susah untuk bekerja.
Hingga akupun melahirkan dan kami di karuniai seorang bayi perempuan yang cantik, maka semakin menambah kabahagiaan rumah tangga kami, hari-hari ku lalui dengan penuh kebagiaan dengan keluarga kecil kami, tanpa ada masalah maupun gangguan karena kami saling melengkapi satu sama lainnya.
Tiga tahun pernikahan, aku pun melahirkan anak kedua bayi laki-laki, tidak ada sedikitpun rasa menyesal yang timbul di hatiku karena menikah denganya, karena yang ku dapatkan darinya adalah kebahagiaan.
Setelah lima tahun kami tinggal disana, anak sulung ku sudah berumur tiga tahun sedangkan anak bungsu ku berumur dua tahun, suamiku memutuskan untuk mengajak kami pulang ke kampung halamannya di Aceh Utara, dan akupun sepakat, karena aku ingin mengenal dekat keluarga suamiku yang disana dan mereka pun juga sama.
Setelah kami mempersiapkan segala macam perlengkapan, paspor, oleh-oleh dan lain sebagainya, akhirnya kami berangkat menuju ke Aceh Utara. Setelah menempuh perjalanan yang lumayan lama, kami sampai ditempat tujuan yaitu kampung halaman suamiku, aku sangat bahagia karena keluarga suamiku itu menyambut kami dengan penuh kasih sayang.
Hingga akhirnya kami memutuskan untuk menetap disini dan tidak kembali lagi ke Malaysiad an suamiku meminta ku untuk tidak bekerja lagi, dia meminta ku untuk fokus mengurusi anak-anak dirumah dan akupun setuju karena aku juga tidak tau harus bekerja apa disini.
Kebagiaan kami disini kian bertambah, karena suamiku mempunyai pekerjaan tetap, walaupun dia jarang pulang, terkadang jika pulangpun dia tengah malam, tapi aku tidak mempermasalahkan itu, karena aku yakin suamiku itu orangnya setia pada kami semua.
Sampai pada suatu malam, aku mendapatkan kabar buruk bahwa suami ku di ringkus oleh pihak kepolisian karena kasus penjualan ganja, akupun sangat terpukul dan menangis histeris saat melihat dia sudah dalam jeruji tahanan dan harus di tahan untuk waktu yang lama.
Hari-hari ku lalui bersama kedua anakku dirumah, walau tanpa suami, tapi tiap hari aku selalu menjenguknya dan membawa makanan kesukaanya. Saat perekonomian kami sudah menipis aku memutuskan untuk kembali mengadu nasib ke Malaysia namun tanpa membawa anak-anak. Anak-anak ku titipkan pada keluarga suamiku, walaupun berat rasanya untuk meninggalkan mereka. Tapi aku harus mencari nafkah untuk dapat bertahan hidup.
Saat disana aku masih diterima bekerja di tempat pembuatan lilin, dengan upah yang lumayan besar ketika ringgit tersebut di tukarkan dengan rupiah, tiap hari aku bekerja tanpa mengenal lelah dan tiap bulan aku mengirimkan uang kedesa untuk kebutuhan anak-anak dan suami. Setelah setahun aku di negeri orang, aku pun kembali pulang ke kampung halaman suamiku untuk menebusnya yang sedang berada di dalam jeruji tahanan.
Ketika aku sudah sampai di desa, aku begitu terburu-buru untuk segera menebusnya, tapi walaupun demikian semua itu butuh proses dan persyaratan yang harus di patuhi untuk melakukan penebusan tersebut. Setelah mengurus segala macam surat dan keperluan akhirnya suamiku di bebaskan dan aku pun sangat bahagia. Aku memeluknya dengan erat dan penuh kasih sayang, akhirnya perjuangan ku tak sia-sia.
Setelah beberapa bulan kemudian, hidup kami kembali normal tanpa ada masalah dan akupun kembali hamil anak ke tiga, kebahagianpun kian kembali terasa dan suamiku kembali beraktifitas seperti biasa yaitu dia mulai mencari pekerjaan baru, dia mencoba usaha bisnis baru bersama teman-temannya yaitu usaha cabai dengan menanamnya berhekter-hekter di tanah kosong yang berada di dalam hutan.
Pada masa suamiku jaya aku melahirkan putri ke tiga kami. Tapi tak di sangka pada saat kejayaan suamiku berada di puncak, suamiku kembali di ringkus oleh pihak kepolisian, ternyata usaha yang dijalankan oleh suamiku itu hanya rekayasa semata, usaha menanam cabai itu hanyalah pura-pura, ternyata dibalik itu semua suamiku malah menanam pohon ganja untuk kembali di perjual belikan. Aku pun kembali kemasa sulitku, kesedihan kembali menyelimuti keluarga kecil kami.
Hingga membuat aku untuk kembali mengadu nasib ke Malaysia, namun pada kali kedua dia keluar dari penjara, dia malah berpaling dengan wanita lain dan pada saat itu aku masih di Malaysia karena terikat kontrak kerja hingga tiga tahun lamanya. Kerja keras ku untuk membebaskannya tak ada arti baginya, saat aku jauh darinya dia mencari cinta yang baru untuk menggantikan aku yang selama ini telah berjuang mempertahankan pernikahan.
Namun, perselingkuhan itu tidak bertahan lama, karena suamiku kembali terjerat kasus yang sama dan wanita itu pergi meninggalkannya, tapi aku tidak, karena seburuk apapun dia, dia tetaplah suamiku. Ketika masa kontrak kerja ku selesai, akupun pulang dan pada waktu itu suamiku belum di bebaskan.
Ketika suamiku sudah bebas, kebahagian pun kembali terasa dan pada saat aku mengandung anak ke empat, suamiku kembali ditahan oleh kepolisian namun bukan karena kasus ganja tapi kasus penculikan dan penganiyaan dan tidak jelas kapan dia akan dibebaskan. Saat aku melahirkan anak ke empat kesedihan begitu menyelimuti ku karena tanpa di dampingi suami, keluarga suami ku pun tidak memperdulikan aku dan anak-anak lagi karena aku tak punya uang, hari-hari kami makan hanya dari belas kasihan tetangga, bahkan terkadang aku harus menahan lapar demi tercukupinya makan anak-anak, aku tak berani meminta pinjaman uang pada tetangga karena aku tidak ada uang untuk membayarnya, ingin rasanya untuk kembali mencari uang di Malaysia, namun melihat anakku yang masih balita, tak mungkin bagiku untuk meninggalkannya.
Rumah kami hanya terbuat dari kayu-kayu bekas, sedangkan dinding hanya terbuat dari triplek dan triplek itupun hanya menutupi setengah rumah tidak sampai menutupi atap. Saat hujan turun, airnya masuk kedalam jika hujannya deras terkadang hujan tersebut dapat membasahi kami semua, namun aku harus tetap mempertahankan pernikahan kami walaupun penderitaan telah mendarah daging dalam kehidupanku. Tetapi aku tetap setia dengan cintaku, meski ia dibalik jeruji besi akibat kesalahannya. Ku selalu berdoa, dalam pintaku, kelak dia khilaf dan sadar hingga kami bisa berkumpul bersama, membesarkan si buah hati.
Thankyou