Irwan Mutsyah adalah seorang lelaki yang berumur kepala empat, tepatnya, ia kini sudah berusia 47 tahun. Cut Wan, itulah nama panggilan yang disematkan kepadanya, nama itu sudah ia sandang sejak ia masih remaja. Asalnya, itu adalah nama panggilan dari keponakannya, tetapi kemudian diadopsi oleh seluruh warga yang ikut-ikutan memanggilnya dengan nama tersebut.
Cut Wan kini bekerja sebagai seorang pembuat bibit pohon jeruk bali, keahliannya dalam hal itu pun cukup diakui oleh para warga disekitarnya. Bibit itu dihasilkan dari pohon- pohon jeruk bali yang sudah dari dulu ia tanam diperkarangan rumahnya. Selain pembuat bibit, ia juga menjual buah-buah jeruk bali tersebut. Pekerjaan itu sudah menjadi penghasilan utamanya sekarang.
“Saya sudah lama menanam pohon jeruk bali, dulu saya tidak menjual bibitnya, tapi sekarang saya sudah menjualnya, karena banyak orang yang datang kepada saya untuk membeli bibitnya”. Ujar Cut Wan.
Menariknya, jauh sebelum itu, Cut Wan merupakan seorang yang sangat handal dalam menyajikan “kupi sareng”. Bahkan ia memiliki sebuah warung kopi di sekitaran tempat tinggalnya, yaitu di Desa Pante, Kecamatan Peusangan, Bireuen. Warung kopi tersebut adalah warung kopi pertama di desanya yang sudah ia rintis sejak tahun 1994.
Sejak pertama didirikan, warung kopi ini sudah menjadi pilihan warga setempat untuk menikmati secangkir kopi, khususnya “kupi sareng” yang menjadi menu utamanya. Karena banyaknya tamu yang hadir, Cut Wan yang dibantu oleh keponakannya mulai membuka warung kopi dari pukul 06.00 sampai dengan larut malam, bahkan tak jarang warung kopinya baru ditutup pukul 02.00 dini hari. Rutinitas ini pun terus dilakukannya, terkadang ia juga merasa kelelahan. Sampai akhirnya ia memutuskan untuk menambah pekerja untuk membantunya.
Menurut keterangan dari saudara perempuannya, sebelum merintis warung kopinya tersebut, Cut Wan bahkan sudah bekerja di warung kopi sejak ia masih sangat belia, atau tepatnya pada saat ia masih duduk di kelas enam sekolah dasar. Pada saat itu ia bekerja karena diajak oleh kawan kakak laki-lakinya.
“Adik saya sudah mulai bantu-bantu diwarung kopi sejak dia masih SD, dia diajak kawan abangnya. Waktu itu belum ada warung kopi di desa kami, jadi dia ajak untuk bantu-bantu di warkop yang berada di Bireuen”. Kata Rusmanidar, kakak perempuan Cut Wan.
Sejak saat itulah Cut Wan bertekat untuk bisa membuka warung kopi sendiri, ia pun mulai mengasah kemampuannya supaya bisa menyajikan kopi saring yang nikmat. Kemudian dengan berjalannya waktu, ia berhasil membuka warung kopi pertama di desanya. Sebagian dari modal awal untuk mendirikan warung kopi adalah bantuan oleh saudara-saudaranya.
Seiring berjalanya waktu, melihat kemajuan warung kopi Cut Wan, kemudian hadirlah beberapa warung kopi baru. Namun hal itu tidak terlalu berpengaruh terhadap warung kopinya, omset yang dihasilkan perhari tetap stabil. Sehingga ia tidak merasa terlalu tersaing dengan kehadiran warung kopi tersebut. Bahkan warung kopi Cut Wan menjadi satu-satunya yang tidak pernah vakum sari penjualan.
Roda selalu berputar. Kemudia hari demi hari, bulan demi bula, dan tahun demi tahun pun berlalu, warung kopi Cut Wan mulai kehilangan pembelinya, omset perharinya pun mulai menurun, dan penghasilan yang didapatkan mulai berkurang. Akan tetapi Cut Wan tidak serta merta mundur, ia mulai mencari akal, diawali dengan peremajaan warung kopinya, ia mulai mengganti dapur tripleknya dengan dapur permanen. Ia juga mulai memasok kembali warung kopimya dengan barang yang lebih banyak. Walau begitu, ia tidak lagi membuka warung kopinya pada pagi hari, ia hanya membukanya pada malam hari, dan tentu pendapatannya tidaklah sebanyak dulu.
Situasi ini tidak bertahan lama, perlahan namun pasti, penikmat “kupi sareng” di desa Pante Lhong mulai berkurang. Hal ini berimbas pada pejualan warung kopi Cut Wan. Menurut Cut Wan, berkurannya penikmat “kupi sareng” bukan karena warga muali bosan dengan rasanya, tetapi karena pendapat warga mulai berkurang, jadi mareka terpaksa untuk tidak lagi menikmati kopi diwarung kopinya.
“Penghasilan warga mulai berkurang, jadi mareka terpaksa untuk tidak lagi keluar kewarung kopi. Mareka bukanya tidak lagi menyukai kopi”. Tuturnya.
Berimbas dari hal itu, Pendapatannya tidak lagi cukup untuk menafkahi keluarga. Cut wan menuturkan bahwa minimal perhari ia harus berpenghasilan Rp. 100.000, supaya dapat memenuhi kebutuhan keluarganya. Namun hal itu tidak lagi ia dapatkan dari berjualan kopi, pehasilnya perhari bahkan kurang dari Rp. 50.000.
“Pendapat saya waktu itu sudah tidak lagi cukup, saya minimal perhari harus berpendapatan Rp. 100.000, tetapi yang saya dapatkan Cuma Rp. 50.000 dari warung kopi”. Terangnya.
Pernyataan yang sama kemudian juga dilontarkan oleh istri Cut Wan, ia berkata bahwa penpatan suaminya sudah berkurang drastis dari warung kopi. “ iya pendapatan suami saya dari warung kopi sudah sangat berkurang, jadi untuk memenuhi kebutuhan keluarga kami tidak lagi cukup”. Kata Khairunnisak, istri Cut Wan.
Situasi inilah yang membuat Cut Wan terpaksa mengganti bubuk kopinya dengan bubuk kopi yang berkualitas rendah. Bahkan tak jarang, dulu untuk bubuk kopi ia membelinya per baret, tapi kumudian ia mulai membelinya perons untuk perhari. Keadaan malah semakin memburuk, warung kopi Cut Wan semakin kehilangan pembeli, dan kemudian setelah 21 tahun, berujunglah kisah warung kopi Cut Wan, warung kopi tersebut terpaksa ditutup.
Kini, Cut Wan telah beralih profesi, ia sudah memantapkan diri sebagai pembuat bibit pohon jeruk bali, ia sudah merasa nyaman dengan pekerjaan barunya, ayah dari enam orang anak ini pun merasa senang karena mempunyai waktu yang lebih banyak untuk keluarga karena ia bekerja diperkarangan rumanya. Bahkan, sampai saat ini, ia berujar bahwa belum kepikiran untuk membuka warung kopinya kembali.
Bagai kopi tanpa gula, begitulah akhir cerita warung kopi Cut Wan. Namun, kisah tentang kemasyuran warung kopi Cut Wan akan tetap diingat oleh penikmat kopi di desa tersebut.
Oleh : Maulana Rizki
Post yang sangat luar biasa
Terima kasih kawan @syehwan