Semua warga steemit tahu apa itu film dokumenter, kalaupun ada yang tidak tahu, Prof Google.com menyediakan berbagai macam pemaknaan dari berbagai pemikir tentang film dokumenter itu sendiri.
Saya ingin menulis TEUMA disini bahwa secara umum film dokumenter tak lain sebuah langkah untuk memenuhi "keinginan realitas" dan bedanya sama fiksi pemenuhan keinginan si pembuat.
Tapi kadang-kadang saat di lapangan konsepsi antara fiksi dan dokumenter perbedaannya jadi samar, karena para sineas dokumenter sendiri juga lebih sering memenuhi keinginannya dari pada pemenuhan realitas yang di produksi, nah...kalau begitu sudah tidak adakah lagi perbedaan kedua bentuk primadona seni ini?.
Dialektika terus bergulir terhadap film dokumenter karena apapun bentuk dan jenisnya dengan tujuan untuk menyuguhkan rekaman kebenaran realitas. Kalau tujuannya untuk menyajikan kebenaran realitas, maka "kebenaran & realitas" sesuatu yang bisa berubah-rubah dari keadaan pertama ke keadaan kedua dan seterusnya, artinya perubahan pada kebudayaan masyarakatnya juga berubah kebenarannya.
Saya tidak sedang mengajak warga steemit untuk merumitkan pembahasan film dokumenter. Saya akan meminjam pemikiran Prof.Bambang Sugiarto tentang seni, menurutnya Seni pada hakikatnya adalah untuk
memaknai pengalaman kita sehari-hari yang kongkrit ini, kalau sudut pandang film, bagaimana film menvisualkan sesuatu yang tak tervisualkan tentu dengan meng-otak-atik plot. Begitu juga seni lukis dengan maksud melukiskan sesuatu yang tak terlukiskan.
Bagaimana pemaknaan atas pengalaman itu di rumuskan, di bentuk, dilukiskan, dikatakan dan dibicarakan, tentu sangat beragam. Saya akan meminjam bahasa spiritual ureung Aceh; langkah, reseuki, peuteumoen, maut, itu sudah di tentukan oleh poe Tallah. Tapi kita sebagai hamba diberikan kewenangan menurut Sunnatuallah atau alam asbab, untuk merencanakan dan melakukan sesuatu menurut hukum alam tentu untuk mendekatkan diri kepadanya.
Untuk merekam sebuah realitas kita musti tahu dulu, apa itu realitas dan hukum sebab-akiba yang membentuknya. Walaupun film dokumenter tidak bisa lepas dari subjektif si-pembuat.
Saya ambil contoh, sebuah film dokumenter panjang tentang Banci di kabupaten Bireuen(tapi saya belum menonton film tersebut) hanya menonton trailernya dan mendengar gambaran cerita dari kawan yang sudah menontonnya. Tentu tidak etis saya mengkritik film tersebut disini, tapi saya di tulisan steemit ini hanya ingin menjelaskan bagaimana realitas itu harus dilihat. Semoga sang sutradara film tersebut memakluminya.
Salah satu fokus sudut pandang yang membuat saya tertarik dari cerita kawan, bahwa ada satu scene cerita yang menggambarkan bahwa Banci di Bireuen ketika masuk ke-ruang sosial seperti melakukan belanja ke pasar, mereka diperlakukan berbeda(di ejek).
Yang ingin saya katakan adalah realitas banci di ejek di pasar belum tentu itu sebuah realitas kalau sang sutradara tidak memberikan sebab-akibat si pengejek Banci tersebut. Karena latar belakang kebudayaan masyarakat Bireuen tidak mengenal yang namanya Banci kecuali perspektif agama yaitu kunsha dan LEKLAP (inipun sering digunakan untuk hewan, seperti bebek). Dan saya juga punya pengalaman saat melakukan produksi film di sebuah desa daerah pesisir Matang Glumpang Dua, di desa itu malah yang disebut Banci diperlakukan seperti biasa saja layaknya manusia pada umumnya, tentu ada juga ejekan-ejekan namun dia (banci) meresponya dengan anggapan meu-ayang (canda), tidak seperti yang dilakukan oleh kapolres Aceh Utara (bukan berarti yang dilakukan oleh Kapolres Aceh Utara itu salah), malah menurut saya Kapolres Aceh Utara merespon apa yang telah di-pe-responkan oleh para elit2 dan media di Jakarta.
Kalau kebudayaan Banci tidak ada, terus dari mana datangnya perilaku kebudayaan itu?, banyak sebab yang mendatangkan itu, salah satu melalui TV lewat film2 yang menghadirkan Banci di dalam cerita dari perlakuan sang penulis cerita serta sang director kerap menampilkan adegan banci dari perspektif diskriminatif atau ejekan, artinya kebudayaan realitas di sinetron di pindahkan ke penontonya dengan berbagai macam media.
Masyarakat Bireuen didalam film tersebut di atas justru yang diperlihatkan pada generasi sinetron, sehingga ejekan-ejekan terhadap Banci justru pemindahan dari sinetron ke alam interaksi sehari-hari. Jadi tidak etis juga ketika diskriminasi di lekatkan pada masyarakat Bireuen-Aceh.
Realitas melekat pada kebudayaan masyarakat, ada hukum yang melahirkan itu. Sehingga "but peubencong-bencong drou" (pekerjaan membancikan diri) hal yang menyalahi kebiasaan masyarakat. Namun harus kita sadari juga Banci sudah hadir di kehidupan kita tentu akan terus bergulir dengan dialektika Alam-nya (sistem negara, ekonomi, sosial dan religi).
Maka jadi untunglah Pak Untung melakukan pekerjaan yang demikian, karena masyarakat Aceh kebingungan menyesuaikan dengan manyoritas masyarakat menolak bentuk dan nama tersebut, dan aktivis HAM-pun harus mau berdialektika dengan gagasan baru, bahwa membiarkan penyakit juga melanggar HAM. Banci bukanlah kutukan, tapi sebuah cobaan yang harus kita refleksi bersama dan membantu mereka untuk kembali ke kehidupan yang pada umumnya.
Sineas Aceh, khusunya sineas Dokumenter harus melihat realitas yang ada di Aceh secara utuh. Kita bisa menghadirkan sebuah film dokumenter yang sangat di apresiasi di berbagai festival, tapi untuk apa kalau realitas masyarakat Aceh tidak menikmati film tersebut.
"Jangan menfilmkan Aceh, tapi meng-Acehkanlah film, karena sinema Aceh-Indonesia harus di mulai dari masyarakatnya".
Salah kaprah dalam mencermati realitas inilah yang terus dipertontonkan media dengan framming nya. Saya sangat setuju bila Sineas Aceh harus melihat realitas di Aceh secara utuh dengan konsep ke Acehannya. Namun sayang literatur kebudayaan kita hari ini sepertinya agak langka. Tinggal lisan saja yang seletingan masih terdengar.
Saya suka di bagian "Acehkanlah film", 2 kata tapi maknanya sedalam samudra hindia. Luar biasa bang Ayie @mesbar 👍
Terimoeng geunaseh...
Hamboe ee,
Gak terlalu paham teknis perfilman. Tpi sangat mendukung mengAcehkan film..
Mantap Tgk Ayi
Apapun itu apa yang dipahami dgn film dokumenter. Ternyata film dokumenter berbeda dengan film sinetron