Bahasa Aceh, Dialek, dan Kontribusi

in #aceh7 years ago

Kekayaan Bahasa Daerah di Aceh (1)_Page_01 copy.jpg

Pendahuluan
Bahasa Aceh merupakan bahasa yang dominan digunakan oleh masyarakat Aceh di sejumlah wilayah di provinsi Aceh. Jumlah penutur bahasa Aceh ini terdiri atas 3.000.000 penutur (Tondo, 2009:280). Bahasa ini aktif digunakan oleh masyarakat Aceh dalam komunikasi sehari-hari. Namun sayang, hingga saat ini tidak ada perguruan tinggi di Aceh yang menghasilkan guru bahasa Aceh sebagai tenaga pengajar. Bahasa Aceh ini hanya sebagian kecil dipelajari di Sekolah Dasar.

Luasnya wilayah pemakaian bahasa Aceh ini menyebabkan bahasa ini terbagi atas beberapa dialek (variasi bahasa yang berbeda-beda menurut pemakai). Perbedaan dialek ini tidaklah mengubah sikap positif masyarakat Aceh untuk berkomunikasi dalam kehidupan sehari-hari.

Perbedaan dialek tersebut hanya sebatas pada bunyi yang diucapkan pada kata tertentu. Akan tetapi, pengaruh dialek ini juga membedakan makna pada kosakata tertentu. Misalnya, dalam KBBI V terdapat kosakata berupa boh leping. Boh leping dalam KBBI V tersebut bermakna kelapa yang sudah dilubangi oleh tupai. Akan tetapi, bagi penutur bahasa Aceh dialek Barat-Selatan (Meulaboh), boh leping merupakan putik kelapa yang jatuh dari tandan. Oleh karena itu, perbedaan dialek juga mempengaruhi makna pada kata-kata tertentu.

Bahasa Aceh pada dasarnya merupakan gabungan dari berbagai bahasa asing, bahasa nasional (bahasa Indonesia), dan bahasa daerah. Masyarakat Aceh percaya bahwa Aceh merupakan singkatan dari Arab, China, Eropa, dan Hindia (India). Hal ini sekilas benar karena dalam bahasa Aceh dapat ditemukan bahasa Arab, China, Eropa, dan India. Namun, secara ilmiah hal ini belum terjawab.

Sumber lainnya ada juga yang mengatakan bahwa bahasa Aceh berasal dari bahasa di negara Vietnam yaitu dari kerajaan Campa. Menurut Santoso (2012) terdapat kesamaan kosakata di antara bahasa Aceh dengan bahasa di Kerajaan Campa. Pendapat ini ditulis dalam sebuah buku dengan penjelasan pada sisi ilmiah yang sangat terbatas. Salah satu sisi yang disebutkan di dalam buku tersebut mengenai sisi historis.

Sumber referensi mengenai bahasa Aceh sampai saat ini masih diyakini kurang. Misalnya, kamus bahasa Aceh terakhir diterbitkan pada 2008 dan merupakan cetakan ulang dari edisi Kamus Bahasa Aceh – Indonesia karangan Aboe Bakar, dkk. (1998). Hal itu dilihat dari kosakata yang terdapat di dalam kamus tidak ada perubahan. Ini merupakan tantangan bagi pemerhati bahasa, akademisi, dan pemerintah untuk menyusun kamus bahasa Aceh edisi terbaru.

Dialek Bahasa Aceh
Bahasa Aceh memiliki sejumlah variasi (dialek) yang berbeda pada suatu daerah. Keunikan tersebut menjadi kekayaan khazanah bahasa Aceh itu sendiri. Sesama masyarakat Aceh akan sangat mudah mengenali asal usul daerah penutur bahasa Aceh tersebut dengan mendengarkan berkomunikasi dengan bahasa Aceh.

Bahasa Aceh secara garis besar terdiri atas empat dialek, yakni (1) dialek Banda Aceh dan Aceh Besar, (2) dialek Pidie, (3) dialek Meulaboh/barat-selatan, dan (4) dialek Pase. Masing-masing dialek tersebut dapat dikenali dengan keunikan sebagai berikut.
(a) Dialek Banda Aceh atau Aceh Besar ditandai dengan bunyi [a] pada akhir kata dibunyikan [ə], misalnya kata tikar diucapkan tikə.
(b) Dialek Pidie ditandai dengan bunyi vokal sebelum bunyi [h] pada akhir kata. Misalnya, makna patah diucapkan pataih, tikus diucapkan tikoih.
(c) Dialek Pase ditandai dengan pemakaian bentuk pronominal orang pertama, yaitu saya dalam bahasa Aceh lon, tetapi bagi dialek Pase diucapkan long.
(d) Dialek Meulaboh/Barat-Selatan sebagian besar ditandai dengan bunyi [e] menjadi [ee] seperti pada kata jambe (jambu), menjadi jambee. Selain itu, dialek Aceh Barat/Barat-Selatan sering mengucapkan kè yang berarti ku.

Di antara empat dialek tersebut, Tim Balai Bahasa Aceh (2012) mencatat bahwa ada tiga dialek terbesar di Aceh yakni dialek Lambunot, dialek Mesjid Punteut, dan dialek Panthe Ketapang. Perbedaan dialek dalam bahasa Aceh juga dapat dilihat dari segi semantik, fonologi, morfologi, dan sintaksis.

Segi semantik perbedaan masing-masing dialek tersebut terdapat pada makna kata yang berbeda. Dari segi fonologi berupa bunyi yang diucapkan pada kata tertentu seperti kata lon, long yang sama-sama maknanya aku. Selanjutnya, dari tataran morfologi perbedaan tersebut dapat dilihat dari pengimbuhan ataupun akhiran, sedangkan sintaksis dapat dilihat dari proses pembentukan kalimat.

Kedudukan Bahasa Aceh
Bahasa Aceh merupakan bahasa ibu (bahasa pertama) bagi sebagian besar masyarakat Aceh. Bahasa Aceh memiliki kedudukan, antara lain (1) lambang kebanggaan daerah, (2) alat perhubungan di dalam keluarga dan masyarakat, dan (3) lambang identitas daerah Aceh (Sulaiman, 1979:1-2). Dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat Aceh juga aktif menggunakan bahasa Indonesia dalam berkomunikasi. Akan tetapi, ruang lingkup pemakaian bahasa Indonesia terbilang terbatas.

Menurut Sulaiman (1979:2) di dalam hubungannya dengan fungsi bahasa Indonesia, bahasa Aceh berfungsi sebagai (1) alat pendukung bahasa nasional, (2) bahasa pengantar di sekolah dasar pada tingkat permulaan di daerah pedesaan, dan (3) alat pengembang serta pendukung kebudayaan daerah yang merupakan sumber kebudayaan nasional.
Kondisi saat ini, masyarakat Aceh cenderung bersikap positif terhadap bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia dominan diperkenalkan kepada anak-anak yang berusia balita. Hal ini menjadi tantangan bagi generasi muda Aceh untuk menjaga dan mempertahankan bahasa Aceh sebagai identitas masyarakat Aceh. Jangan sampai masyarakat Aceh, lahir di Aceh justru tidak dapat berbahasa Aceh.

Kontribusi Bahasa Aceh
Bahasa Aceh memiliki kontribusi yang positif terhadap perbendaharaan kosakata bahasa Indonesia. Pada KBBI V tercatat jumlah kosakata bahasa Aceh yang sudah dibakukan dalam bahasa Indonesia sebanyak 124.


Daftar Pustaka
Akbar, Osra M., Abdullah, Wamad., Latif, Surya Nola., Ahmadddin, Syeh. 1985. Pemetaan Bahasa Aceh, Gayo, dan Alas. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Alimin, Rahmat. 2017. “Pergeseran dan Pemertahanan Bahasa Pakpak Boang”. Proposal Tesis. Banda Aceh: FKIP Unsyiah.

Armia. “Struktur Sintaksis Bahasa Haloban. Tesis tidak diterbitkan. Medan: Program Pascasarjana USU.

Budiman, Sulaiman. 1979. Bahasa Aceh. Jakarta: Badan Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Aceh Depkdibud.

Fatih, Hammaddin Aman. 2011. "Jejak Leluhur Rakyat Gayo". Koran Harian Serambi Indonsia, edisi 14 Agustus 2011.

Harun, Mohd. 2017. “Revitalisasi Bahasa-bahasa Daerah di Aceh”. Koran Harian Serambi Indonesia, edisi 19 Desember 2017.

Mutia & Bahry, Rajab. 2016. “Idiom dalam Bahasa Alas”. Prosiding Seminar Internasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Banda Aceh: MPBSI PPs Unsyiah.
Santoso, T. 2012. “Asal-usul Bahasa Aceh”. Koran Harian Serambi Indonesia, edisi 8 Januari 2012.

Tim Balai Bahasa Banda Aceh. 2012. Inilah Bahasa-bahasa di Aceh. Banda Aceh: Balai Bahasa Banda Aceh.

Tondo, Fanny Henry. 2009. Kepunahan Bahasa-Bahasa Daerah: Faktor Penyebab dan Implikasi Etnolinguistis. Jurnal Masyarakat & Budaya, Vol. 11, No.2: 277-295.

Wildan. 2002. Tata Bahasa Aceh untuk Madrasah Dasar dan Madrasah Lanjutan. Cet. III. Banda Aceh: Global Educational Consultant Institute.

Sort:  

Congratulations @ranuth13! You received a personal award!

Happy Birthday! - You are on the Steem blockchain for 2 years!

You can view your badges on your Steem Board and compare to others on the Steem Ranking

Vote for @Steemitboard as a witness to get one more award and increased upvotes!