Ilustrasi hukuman cambuk di Aceh. [Foto: Istimewa]
BANDA ACEH – Gubernur Aceh Irwandi Yusuf menetapkan peraturan gubernur tentang penerapan hukum jinayat (eksekusi hukuman cambuk bagi pelanggar syariat Islam) dilakukan di lembaga pemasyarakatan (Lapas), yang tidak lagi dilakukan di tempat umum seperti layaknya hukum cambuk selama ini. Dalam menindaklanjuti pergub itu, gubernur Aceh juga telah melakukan kerjasama dengan Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Aceh untuk pelaksaan hukum acara jinayat.
Dalam salinan surat kerjasama Pemerintah Aceh dan Kanwil Kemenkum HAM Aceh yang diperoleh acehonline.info disebutkan kerjasama pelaksanaan hukuman jinayah itu dilakukan sebagai upaya memberikan pelayanan dan perlindungan serta pembinaan bagi tanahan pelangar syariat islam.
Tujuan kerjasama itu, untuk menindaklanjuti pelaksanaan Qanun Aceh Nomor 7 Tahun 2013 tentang Hukum Acara Jinayat dan Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan Hukum Acara Jinayat serta Peraturan Gubernur Aceh Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pelaksanaan Hukum Acara Jinayat yang dilaksanakan di lembaga pemasyarakatan atau rumah tahanan negara.
Menanggapi hal itu, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), Tgk. Muharuddin mengatakan apa yang dilakukan gubernur dengan menerbitkan pergub tentang pelaksanaan hukum jinayat telah melanggar sumpah jabatan. Pergub itu, kata Tgk. Muhar, juga bertentangan dengan qanun yang telah mengatur tentang pelaksanaan hukum cambuk bagi pelanggar syariat islam.
Gubernur, kata Tgk. Muhar, adalah perpanjang tangan pemerintah pusat di Aceh dan kewenangan eksekutif adalah melaksanakan undang-undang. Sementara dalam konteks pembuatan qanun atau merevisinya adalah kewenangan legislatif (DPR Aceh).
“Maka dalam hal ini, apa yang dilakukan gubernur Aceh saat ini adalah sifat arogan dari seorang gubernur. Artinya beliau telah melanggar sumpah jabatan dan prinsip-prinsip demokrasi,” ujar Tgk. Muhar.
Pergub penerapan hukum jinayat itu, Tgk. Muhar juga mengatakan, adalah sesuatu yang keliru dilakukan oleh gubernur Aceh, karena tidak memiliki dasar hukum.
“Jika seandainya jika ingin dilakukan revisi dan perubahan dari qanun jinayat itu sendiri, maka harus berkoordinasi dengan DPR Aceh,” ujar politisi Partai Aceh ini.
Tgk. Muharuddin menambahkan, jika merujuk kepada Undang-Undang Pemerintah Aceh (UUPA) seperti yang diputuskan di MK beberapa waktu lalu, UUPA bisa diubah.
“Tapi perlu dilihat di pasal 269 dan pasal 8, bahwa jika ada perubahan di UUPA maka harus mendapat konsultasi dan mendapat pertimbangan DPRA. Itu UUPA yang notabenannya tidak terlibat DPRA dalam penyusunannya. Apalagi soal qanun, yang jelas-jelas produk DPRA dan Pemerintah Aceh itu sendiri yang dibahas bersama-sama,” ujarnya.
Sementara itu jika cambuk itu dinilai melanggar Hak Azazi Manusia (HAM), Tgk. Muhar mengatakan yang dihukum dengan hukuman cambuk bukan fisik dari pelanggar syariat Islam.
“Dilakukan di tempat umum itu adalah untuk efek jera bagi pelaku dan pelajaran bagi yang lain,” jelasnya.
Jika gubernur menganggap DPR Aceh memiliki pemahaman agama yang terbatas, Tgk. Muhar mengatakan dalam penyususnan qanun itu terdapat tahapan Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU), yang saat itu diundang ulama untuk memberikan pendapatnya.
“Jadi apa yang ada di qanun itu sudah disesuaikan berdasarkan alquran dan hadist. Jadi persoalan ini jangan dikaitkan dengan HAM, ini yang menurut saya keliru. Jika ini dikaitkan dengan HAM, bagaimana dengan orang tua yang menyusuh anaknya shalat namun berontak lalu dijewer, apakah itu akan dikaitkan dengan HAM? Apakah seperti itu pemahaman islam saat ini?,” ungkapnya.
Ketua DPRA juga mengatakan sangat menyayangkan sikap gubernur yang menerbitkan peraturan tersebut, apalagi beliau adalah orang yang lahir dari rahim MoU Helsinki dan UUPA.
“Kita beliau juga berangkat dari sana, Jadi sangat disayangkan sikap gubernur itu yang jauh dari nilai-nilai agama,” kata Tgk. Muhar.
Dengan adanya MoU Helsinki, kata Tgk. Muhar, pemerintah pusat telah memberikan kewenangan bagi Aceh untuk pelaksanaan syariat islam, yang tidak dimiliki daerah lain.
“Mengapa beliau tidak mau menggunakan kewenangan yang telah diberikan oleh pusat, malah menganulir kewenangan yang ada di UUPA? saya nilai ini aneh,” ujarnya.
Untuk itu, Tgk Muhar mengatakan keputusan gubernur tersebut yang tidak mendapat konsultasi dan pertimbangan DPR Aceh adalah illegal, karena tidak memiliki dasar hukum.
“Kami akan mengkaji pergub itu dan meminta pendapat alat kelengkapan dewan (pimpinan komisi dan fraksi) untuk mengambil langkah nantinya apa yang akan dilakukan DPRA terkait peraturan gubernur yang melanggar prinsip demokrasi itu. Apakah kemudian kami memanggil gubernur atau seperti apa langkah lainnya, itu tergantung dari pembahasan bersama nantinya,” ungkap Tgk. Muhar.
“Walaupun gubernur setuju, saya tidak setuju. Itu tidak kami akui dan kami anggap itu illegal. Itu adalah upaya merampas kewenangan legislatif. Bukan fungsi gubernur untuk menganulir peraturan itu, ada mekanismenya,” ungkap politisi Partai Aceh ini.
Persoalan ini, Tgk. Muhar menambahkan, adalah menyangkut persoalan syariat, maka gubernur jika ingin memutuskan persoalan syariat islam harus melibatkan para ulama.
“Jangan agama dianggap dengan logika, tetapi alquran dan hadist. Maka dalam hal ini, kami juga menyerahkan persoalan ini kepada ulama, agar tidak terjadi peraturan yang menyimpang dari penerapan syariat islam,” ujarnya.
Kepada ulama dan ormas-ormas islam, Tgk. Muhar berharap untuk bersama-sama mengawal persoalan ini agar Pemerintah Aceh tetap menghargai penerapan syariat islam di Aceh, serta syariat islam yang menjadi ciri khas Aceh tetap terjaga.
Assalamu'alaikum
Saya udah apvote post saudara..
Di tuggu vote n follow balik ya..
Sama sama membantu apvote