Sebagai sebuah kota yang sedang berkembang pesat, sektor transportasi memegang peranan sangat penting dalam berbagai aktifitas di Kota Banda Aceh. Sumber emisi gas rumah kaca di Kota Banda Aceh berasal dari pembakaran bahan bakar fosil dari transportasi darat berupa mobil penumpang, bus, mobil barang, dan sepeda motor.
Seiring dengan meningkatnya pertumbuhan ekonomi, kepemilikan kendaraan pribadi terus meningkat. Saat ini, empat dari lima penduduk Kota Banda Aceh memiliki kendaraan pribadi. Jumlah kendaraan bermotor di Kota Banda Aceh terus meningkat dalam beberapa tahun berakhir dengan rata-rata pertambahan kendaraan sekitar 8-12% per tahun.
Secara umum, semua kenderaan bermotor di Banda Aceh masih menggunakan bahan bakar fosil, seperti premium, solar, dan pertamax. Penggunaan setiap bahan bakar ini akan menghasilkan emisi gas rumah kaca (GRK) yang terdiri dari gas CO2, CH4, dan N2O. Berdasarkan berbagai penelitian, 1 liter premium dan pertamax mengandung sekitar 0,64 kilogram carbon. Sedangkan 1 liter diesel mengandung 0,734 kilogram karbon.
Emisi dari sektor transportasi di Kota Banda Aceh per orang adalah sekitar 1,2 ton CO2 per kapita. Sebagai perbandingan, emisi gas rumah kaca (GRK) per kapita nasional dari sektor transportasi adalah 0,31 tCO2eq/ kapita. Artinya, emisi CO2 per kapita di Banda Aceh hampir empat kali emisi CO2 nasional. Bahkan emisi transportasi kita lebih tinggi dari emisi GRK per kapita bidang transportasi Kota DKI Jakarta adalah sebesar 0,77 tCO2eq/kapita. Berdasarkan fakta ini dapat disimpulkan bahwa untuk sektor transportasi, emisi GRK Kota Banda Aceh lebih tinggi daripada emisi per kapita nasional dan Kota DKI Jakarta.
Hal ini menunjukkan bahwa konsumsi bahan bakar penduduk Kota Banda Aceh sangat berlebihan. Ini diakibatkan oleh ketergantungan terhadap kendaraan pribadi yang sangat tinggi akibat menurunnya kualitas layanan labi-labi, belum tingginya okupansi Transkutaraja dan terus meningkatnya kesejahteraan warga. Dari sisi perencanaan kota, hal ini menunjukkan bahwa kota Banda Aceh sedang berkembang ke arah automobile city yang jika tidak bisa diantisipasi akan membuat kota sangat rawan kemacetan di masa depan.
Selain itu, kebergantungan pada kendaraan pribadi juga akan meningkatkan biaya pembangunan infrastruktur jalan seperti fly over, underpass dan jembatan-jembatan baru.
Tidak itu saja. Dominannya kendaraan pribadi di ruang kota membuat pejalan kaki dan pesepeda tidak nyaman. Kaum disabilitas hampir tidak memdapat ruang di ruang kota. Belum lagi tuntutan penyediaan lahan parkir yang cukup menyusahkan dunia usaha dan pemerintah. Kota seperti ini juga sangat menyusahkan turis, karena turis sangat bergantung pada transportasi umum. Cukup sering kita melihat turis di Banda Aceh kesulitan mengeksplorasi kota karena sedikitnya transportasi umum yang baik.
Kebergantungan yang sangat tinggi terhadap kendaraan pribadi juga meningkatkan angka kecelakaan di Kota Banda Aceh. Pada tahun 2016, jumlah kecelakaan lalu lintas mencapai 230 kasus, dengan korban meninggal dunia 37 orang, luka berat 67 orang dan luka ringan 276 orang.
Permasalahan ini pada dasarnya dialami oleh seluruh kota di Indonesia. Ketergantungan tinggi pada kendaraan pribadi adalah ciri khas negara-negara yang mengadopsi perencanaan ala Amerika Serikat. Pemerintah Indonesia memang sangat terpengaruh Amerika Serikat dalam perencanaan kota sejak masa Soekarno. Soekarno-lah yang pertama kali menghentikan operasi kereta api-kereta api belanda. Menurut Soekarno, kereta api adalah transportasi masyarakat yang miskin dan terbelakang sedangkan mobil menunjukkan kemajuan. Oleh karena itu, di masa Soekarno, pemerintah pusat mulai mengarahkan prioritas infrastruktur ke pembangunan jalan. Sampai sekarang pun pemerintah Indonesia masih sangat memprioritaskan pembangunan jalan. Padahal pembangunan berbasis jalan sudah dianggap ketinggalan jaman oleh negara-negara maju terutama di Eropa dan Asia.
Sementara itu, ketergantungan pada transportasi umum adalah ciri khas perencanaan kota Eropa. Tapi, kota bersejarah berusia tua seperti Banda Aceh umumnya diciptakan sebagai kota pejalan kaki. Hal ini dapat dilihat juga di kota-kota tua seperti Kyoto Japan, Istanbul Turki, Aleppo Syria, Marburg Jerman dan Roma Italia. Sayangnya, masyarakat Aceh saat ini sudah jadi masyarakat malas jalan kaki. Ke kios berjarak 100 m pun naik motor. Dengan kata lain, permasalahan transportasi yang dialami Banda Aceh saat ini tidak terlepas dari lupanya kita pada sejarah Bandar Aceh darussalam yang didesain oleh sultan-sultan Kerajaan Aceh sebagai kota pejalan kaki.
memang seperti itulah kota kita, transportasi umum yang cuma lewat di jalan utama juga menjadi salah 1 penyebab sebagian besar kita memilih utk bwa kendaaraan pribadi.
Great post. Hardwork pays more so keep working hard! @rikiputra Love it.
Mantap pak putra