Hi, everyone pada kali ini saya akan membahas tentang sosiologi yang ada di Aceh, sebagaimana memang diakui bahwa konstribusi Aceh terhadap kajian sosiologi tidak begitu kuat, jika dibandingkan dengan antropologi dan sejarah Aceh. Sosiologi lahir ketika ada beberapa peristiwa yang saling terkait. Paling tidak, ada lima kekuatan besar yang memunculkan kelahiran ilmu ini. Pertama, dampak revolusi Prancis pada tahun 1789 dimana munculnya para teori untuk merumuskan pengaruh-pengaruh dari peristiwa tersebut. Kedua, revolusi industri dan kemunculan kapitalisme. Ketiga, kemunculan sosialisme. Keempat, proses urbanisasi yang terjadi akibat dari revolusi industri, dimana masyarakat beramai-ramai ‘menyerbu’ kota untuk mendapatkan penghidupan yang lebih baik. Kelima, empat proses tersebut ternyata telah memiliki pengaruh pada religiusitas masyarakat Barat.
Kutipan dari buku Acehnologi yang terdapat pada halaman 496 bahwa, kata sosiologi pertama kali ditemukan oleh Comte pada tahun 1822. Comte menggunakan istilah fisika sosial, yang merupakan pengaruh dari natural science yang berkembang saat comte masih hidup. Di Aceh sendiri, hampir dapat dikatakan tidak ada fakultas atau jurusan yang mengkhususkan pada kajian ilmu-ilmu sosiologi dan antropologi, kecuali setelah era 2000-an. Dalam membangun sosiologi, Aceh dapat dilakukan melalui metode perbandingan dan sejarah. Namun, kajian melalui perspektif sosiologi juga perlu digali secara substansif. sebab, perubahan masyarakat Aceh begitu cepat, dan juga membentuk cara pandang baru dari masyarakat Aceh tersebut.
Ada beberapa pilihan ketika hendak dikonsepkan gejala sosial dan gejala budaya, sebagai bangunan sosiologi Aceh. Pertama, apakah digunakan cara pandang ilmu sosiologi dari barat untuk menjelaskan fenomena kehidupan masyarakat Aceh? Model ini dengan sendirinya, akan mengiring perstudi untuk memahami terlebih dahulu konsep-konsep inti di dalam kajian sosiologi. Kedua, apakah dicari sendiri formula keilmuan yang ada di dalam masyarakat, kemudian mencoba membangun sendiri sosiologi Aceh, dimana tidak harus mirip dengan bangunan ilmu sosiologi di Barat. Ketiga, apakah memungkinkan untuk menemukan fondasi sosiologi Aceh melalui metode bolak-balik, melihat apa saja yang terdapat di Aceh lalu ditarik melalui sosiologi Barat, kemudian ditelaah lantas dikembalikan lagi konsep-konsep tersebut, lantas dibiarkan kembali dipahami sebagaimana adanya oleh masyarakat Aceh. Singkat kata, model ketiga ini merupakan model yang tidak nyaman, karena gejala yang dilihat dari masyarakat Aceh cenderung memisahkan antara religi dan publik. Walaupun sebenarnya dalam masyarakat Aceh, gejala westernisasi pun tidak dapat diabaikan sama sekali.
Kemudian bahkan ditemukan konsep-konsep sosiologi politik aceh, sosiologi religi di aceh, sosiologi pengetahuan aceh, dan sosiologi intelektual aceh. Ada tiga hal yang perlu digali ketika sosiologi aceh ingin dimunculkan. Pertama, menemukan kembali ruang imajinasi sosial yang bersifat keacehan. Ruang amajinasi sosial ini perlu untuk ditelaah secara multi-disiplin. Kedua, menemukan kembali ruang yang aktif dan progresif dalam bidang ruang kesadaran sosial masyarakat Aceh. Ketiga, perlu juga dicari lagi bagaimana format ruang kebatinan masyarakat aceh, yang kemudian memberikan pengaruh pada dua ruang sebelumnya. Tiga hal inilah yang mungkin dapat membantu untuk membangkitkan spirit kajian sosiologi aceh. Sebab, tiga ruang tersebut telah menemukan identitas keAcehan di dalam kontek kekinian. Sekian yang dapat saya paparkan dari pembahasan tentang sosiologi Aceh semoga bermanfa’at bagi para pembaca semuanya. Thank you.....!
Segudang ilmu yang teratur, segudang buku untuk dibaca, salam kompak selalu oke