Lupakan Investasi Pertambangan
Opini: Muhammad Salda
Potensi sumber daya alam yang dimiliki negara Republik Indonesia telah mendorong berbagai bangsa datang ke republik ini untuk mengambil kekayaan itu. Di masa pra kemerdekaan bangsa Portugis, Belanda dan Jepang menjajah Indonesia untuk meraup hasil alam Indonesia secara besar-besaran. Bahkan hingga saat ini di tengah-tengah masa kemerdekaan, para penjajah juga kembali 'hadir' dengan mengatasnamakan dirinya sebagai investor.
Kita sadar bahwa tanah nusantara ini dari Sabang hingga Merauke memiliki kandungan yang begitu besar ditambah dengan kesuburan tanah yang sangat bagus. Ada istilah masyarakat Aceh yang menyatakan “mandum bijeh yang ta tabu, mandum meuhase” (semua bibit yang kita semai akan menghasilkan hasil). Istilah ini menggambarkan betapa suburnya tanah Aceh.
Aceh merupakan sebuah provinsi dengan letak sangat strategis karena berdekatan dengan Selat Malaka yang menjadi lintasan zona ekonomi internasional. Daerah yang memliki otonomi khusus ini juga memiliki daya tarik insvestor luar untuk mengambil hasil alam yang ada di dalamnya.
Salah satunya adalah PT. Arun, terletak di Lhokseumawe didirikan pada tahun 1971, LNG Arun dibuat setelah ditemukannya salah satu sumber gas terbesar di dunia (17 TCF) oleh Mobil Oil Indonesia Inc, mitra usaha Pertamina atas dasar kontrak bagi hasil. Kilang LNG Arun dioperasikan oleh PT Arun NGL, sebuah perusahaan non profit yang sahamnya dimiliki oleh Pertamina 55%, Mobil Oil Indonesia (sekarang Exxon Mobil Indonesia Inc.) 30% dan JILCO (Japan Indonesia LNG Co.Ltd) 15%.
Di samping produksi utamanya LNG, kilang Arun juga memproduksi kondensat dan LPG sebagai produk ikutannya. Pada tahun 1999 kilang LNG Arun mulai memproses gas dari ladang gas NSO yang berlokasi di lepas pantai, yang sebelumnya gas tersebut dimurnikan di kilang SRU (unit pemisah sulfur) milik Exxon Mobil yang dioperasikan oleh PT Arun. Dengan ditemukannya sumber gas di Aceh, di samping PT. Arun telah tumbuh pula industri hilir berbasis gas antara lain PT. Pupuk Iskandar Muda, PT. AAF dan PT. KKA yang menjadikan pembangunan daerah itu tumbuh berkembang. Pada akhir tahun 2010 PT. Arun telah mengolah, memproduksi dan mangapalkan LNG sebanyak 4.231 kapal setara dengan 235.445.987 ton dan kondensat sebanyak 1.868 kapal atau 756.244.179 Barel. Sedangkan LPG mencapai 14.5 juta ton.
Setelah itu sampai pada tahun 2014 PT. Arun yang memiliki kilang LNG akan mengekspor cargo LNG yang terakhir sebanyak satu cargo kepada Korea Selatan, hasil yang telah dikeluarkan sampai saat ini telah menggambarkan begitu panjangnya masa kejayaan PT. Arun yang telah mencapai usia sekitar 40 tahun. Di sisi lain masih banyak perusahaan besar masih berdiri di tanah rencong yang sedang mengerluarkan isi dari potensi alam Aceh.
Dapat kita lihat kejayaan PT. Arun selama ini, namun bagaimana pertumbuhan perekonomian di sekitarnya? Tidak ada yang menonjol bagi masyarakat yang berada di sekitar kilang minyak raksasa tersebut. Seharusnya pertumbuhan ekonomi di kawasan yang mengelilingi perusahaan raksasa tersebut mendapat perubahan yang signifikan. Namun faktanya masyarakat masih harus berjuang keras untuk menghidupi dirinya. Bahkan masyarakat harus merasakan berbagai dampak yang ditimbulkan oleh perusahaan.
Fenomena ini ditambah lagi dengan munculnya perusahaan tambang mineral yang mengeruk sumber alam yang ada di Aceh dengan tidak baik. Keberadaan mereka tidak terdaftar pada perizinan untuk melakukan penyerapan potensi alam. Hal ini akan berdampak buruk pada ekosistem alam, karena perusahaan tidak mempunyai aturan secara terikat dengan aturan yang telah ada, sehingga keleluasaan mereka untuk mengambil dan memperlakukan alam tidak mempunyai batas dan standar kelayakan.
Perusahan tambang liar yang tumbuh menjamur di Aceh mengakibatkan berbagai kerusakan bagi kehidupan dan lingkungan dengan pencemaran limbah berbahaya. Tidak seimbangnya pengerukan potensi alam bisa berdampak pada kerusakan ekosistem. Kerusakan-kerusakan pada paru-paru hutan semakin bertambah, juga terhadap keberadaan keragaman hayati akan semakain berkurang dengan adanya pertambangan yang tidak melihat efek jangka panjang. Meskipun sudah ada aturan untuk mecegah kerukan secara permanen, namun lambat laun alam ini akan terkikis dengan sendirinya, dan kemudian alam akan mencapai kerusakan pada tingkatan klimaksnya, dan akan memberikan ancaman bahaya kepada umat manusia.
Kerusakan alam akibat pertambangan telah dibuktikan oleh berbagai perusahaan tambang yang ada di Aceh, akan tetapi tidak ada timbal balik yang menguntungkan bagi masyarakat Aceh. Lihat saja seperti PT Lafarge yang dulunya Semen Andalas Indonesia, kemudian PT. Setia Mining dan masih banyak perusahaan pertambangan lain yang ada di Aceh. Namun masyarakat Aceh masih hidup di bawah garis kemiskinan.
Pemimpin Aceh tentunya sadar benar bagaimana perusahaan tersebut mengambil hasil tambang dan dibawa ke tempat mereka tanpa adanya hasil yang optimal bagi perkembangan Aceh.
Akan tetapi pemerintah terus meningkatkan serta mengundang perusahaan-perusahaan ke Aceh untuk melakukan investasi tambang di Aceh. Kebijakan ini hanya akan membuat kerusakan yang lebih parah bagi lingkungan Aceh sendiri. Nah, apa yang akan kita warisi kepada anak cucu nanti, apakah cukup dengan besi-besi tua dan alam yang telah hancur?
Investasi asing melalui pertambangan juga telah menimbulkan konflik horizontal antara perusahaan dengan masyarakat. Hal ini tidak terlepas dari terjadinya kesenjangan sosial. Rata-rata masyarakat yang hidup di wilayah pertambangan tidak mendapatkan apa-apa dari para investor. Melainkan hanya mendapatkan debu, asap pabrik ditambah dengan perebutan lahan masyarakat.
Terkait dengan banyaknya lokasi pertambangan saat ini, mengapa kita tidak kembali ke masa sebelum pertambangan lahir. Seperti diketahui nusantara ini dikenal dengan negara agraris yang komoditas pertaniannya bernilai ekonomi tinggi. Dengan menjaga potensi alam dan keseimbangan ekosistem kita bisa menempuh kejayaan seperti di masa lalu.
Bukahkan dulunya bangsa ini dihidupkan dengan potensi pertanian dan hasil perkebunan masyarakat, kenapa kita harus merusak lingkungn hidup ketika kita masih bisa menjaganya dengan mendapatkan penghidupan.
Banyak bangsa-bangsa di dunia telah mengalihkan sumber pendapatannya ke bidang pertanian, perikanan dan perkebunan. Seperti Vietnam, walaupun wilayah negara mereka lebih kecil dari Indonesia, tetapi mereka mampu menjadi negara pengekspor beras di wilayah Asia Tenggara. Termasuk Indonesia yang mengimpor beras dari Vietnam. Kita juga bisa belajar dari Australia yang mampu menjadi negara pengekspor sapi.
Jika kita membuka lembaran sebelum tahun 1945, bangsa ini diincar bangsa lain karena keanekaragaman hayatinya. Dewasa ini kita telah menjual kesuburan dan daya tarik bangsa ini dengan bibit pertambangan.
Aceh dapat dijadikan sampel untuk pengembangan pertanian, perikanan dan peternakan. Contohnya di Aceh besar yang masih terdapat lahan tidur yang luas, sangat ideal untuk lokasi peternakan sapi. Pidie bisa dijadikan sebagai lumbung padi di Aceh, dan Gayo dengan komoditas kopinya. Aceh Selatan dengan palanya dan wilayah lain yang berpotensi di tiga hal di atas.
Yang dibutuhkan adalah peran pemerintah untuk memberikan stimulus kepada masyarakat, mengelola harga pasar serta melakukan perencanaan yang matang dan juga polesan teknologi untuk menghasilkan kualitas yang bermutu dan bernilai jual tinggi.
Untuk mewujudkan ini kita harus memanfaatkan lahan di setiap wilayah dan daerah di seluruh nusantara. Tujuannya untuk mengembangkan berbagai inovasi namun tetap ramah lingkungan. Kita juga perlu belajar pada negara-negara berkembang yang berhasil berinovasi di bidang pertanian, perkebunan dan peternakan. Agar kesejahteraan masyarakat Indonesia terwujud dengan adanya peningkatan ekonomi di setiap wilayah.[]
Muhammad Salda – Ketua Lembaga Penyelamat Lingkungan Hidup Indonesia, Kawasan Hutan Laut dan Industri (LSM. LPLHI-KLHI).[]
(http://sumaterapost.com/berita2/Lupakan-Investasi-Pertambangan-12929)
===========================
Forget Mining Investmen
Opinion: Muhammad Salda
The potential of natural resources owned by the Republic of Indonesia has encouraged various nations to come to this republic to take the wealth. In the pre-independence period the Portuguese, Dutch and Japanese colonized Indonesia to scoop Indonesia's natural products on a large scale. Even today in the midst of independence, the invaders are also back 'present' in the name of himself as an investor.
We realize that this archipelago land from Sabang to Merauke has a very large content plus a very good soil fertility. There is an Acehnese term that states "mandum bijeh which is ta tabu, mandum meuhase" (all seeds we harvest will produce results). This term describes the fertile land of Aceh.
Aceh is a very strategic province because it is adjacent to the Malacca Strait which is the path of the international economic zone. Areas that possess this special autonomy also have the attraction of outside investors to extract the natural products within them.
One of them is PT. Arun, located in Lhokseumawe was established in 1971, Arun LNG was created after the discovery of one of the world's largest gas resources (17 TCF) by Mobil Oil Indonesia Inc., Pertamina's partner on a production sharing contract. The Arun LNG plant is operated by PT Arun NGL, a non-profit company owned by Pertamina 55%, Mobil Oil Indonesia (now Exxon Mobil Indonesia Inc.) 30% and JILCO (Japan Indonesia LNG Co.Ltd) 15%.
In addition to the main production of LNG, the Arun refinery also produces condensate and LPG as its follow-up products. In 1999 the Arun LNG plant began processing gas from an offshore NSO gas field, previously refined at Exxon Mobil's SRU (Extreme Sulfur Extraction Unit) operated by PT Arun. With the discovery of gas resources in Aceh, in addition to PT. Arun has also grown downstream gas-based industries, among others, PT. Pupuk Iskandar Muda, PT. AAF and PT. KKA which makes the development of the area grows. At the end of 2010 PT. Arun has processed, produced and mapped 4,231 LNG vessels equivalent to 235,445,987 tons and condensate of 1,868 vessels or 756,244,179 barrels. While LPG reached 14.5 million tons.
After that until 2014 PT. Arun, which owns an LNG refinery, will export the last one cargo of LNG to one cargo to South Korea, the results that have been issued to date have described the long-term PT. Arun who has reached the age of about 40 years. On the other hand there are still many large companies are still standing in the land of rencong is mengluarkan contents of the natural potential of Aceh.
We can see the glory of PT. Arun during this time, but how about the growth of the economy around it? Nothing stands out for the people around the giant oil refinery. The economic growth in the region surrounding the giant company will have a significant change. But in fact people still have to struggle to support themselves. Even the public must feel the impacts of the company.
This phenomenon coupled with the emergence of mineral mining companies dredge the existing natural resources in Aceh with no good. Their existence is not listed on licensing to absorb natural potential. This will have an adverse impact on the natural ecosystem, because companies do not have rules that are bound by existing rules, so their freedom to take and treat nature has no limits and standards of eligibility.
The wild mining companies that are mushrooming in Aceh cause a lot of damage to life and the environment with pollution of hazardous waste. Unbalanced dredging of natural potential could have an impact on ecosystem damage. Deforestation in the lungs of the forest is growing, as well as the biodiversity of biodiversity is lessened by mining that does not see long-term effects. Although there are rules for permanent dredging, it will gradually erode itself, and then nature will achieve damage at its climax, and will pose a danger to humankind.
The natural damage caused by mining has been proven by various mining companies in Aceh, but there is no reciprocal benefit for the people of Aceh. Just look like PT Lafarge who was formerly Semen Andalas Indonesia, then PT. Setia Mining and many other mining companies in Aceh. Yet the people of Aceh are still living below the poverty line.
The Acehnese leaders must have been well aware of how the company took the mine and brought it to their place in the absence of optimal results for Aceh's development.
However, the government continues to increase and invite companies to Aceh to invest in the mine in Aceh. This policy will only make more damage to Aceh's own environment. Well, what will we inherit to the grandchildren later, is it enough with the old iron and the ruined realms?
Foreign investment through mining has also led to horizontal conflicts between companies and communities. This is inseparable from the occurrence of social inequality. The average people living in the mining area get nothing from investors. Rather it only gets dust, factory smoke coupled with the seizure of community land.
Related to the current number of mining sites, why do not we go back to the time before mining was born. As is known archipelago is known as agrarian countries whose agricultural commodities are high economic value. By preserving the potential of nature and the balance of ecosystems we can embrace the glory of the past.
Reveal this nation once turned on with the potential of agriculture and the results of community plantations, why we must destroy the environment alive when we can still guard by getting livelihood.
Many nations of the world have transferred their sources of income to agriculture, fisheries and plantations. Like Vietnam, although the territory of their country is smaller than Indonesia, but they are able to become rice exporting country in Southeast Asia region. Including Indonesia importing rice from Vietnam. We can also learn from Australia that is able to be a cow exporter country.
If we open the sheet before 1945, this nation is targeted by other nations because of its biodiversity. Today we have sold the fertility and appeal of this nation with mining seeds.
Aceh can be sampled for the development of agriculture, fisheries and livestock. For example in large Aceh which still has wide sleeping land, it is ideal for cattle ranch location. Pidie can be used as a rice granary in Aceh, and Gayo with coffee commodities. Aceh Selatan with its members and other potential areas in the above three areas.
What is needed is the role of the government to provide stimulus to the community, manage the market price and do the mature planning and also polesan technology to produce high quality and high value.
To realize this we must utilize the land in every region and region throughout the archipelago. The goal is to develop innovations but remain environmentally friendly. We also need to study in developing countries that have successfully innovated in agriculture, plantation and animal husbandry. In order for the welfare of the people of Indonesia to be realized with the improvement of the economy in every region.
Muhammad Salda - Chairman of the Indonesian Environmental Rescue Agency, Marine and Industrial Estate (NGO LPLHI-KLHI). []