RISALAH SANG DURJANA BAGIAN DUA PULUH LIMA
“…Orang-orang Aceh dalam kehidupan sehari-hari tidak berbeda dengan orang-orang biasa. Mereka tidak meninggikan diri, atau sengaja memperlihatkan lagak, bahwa mereka orang-orang berani. Mereka tetap rendah hati, tidak takabur seperti pahlawan-pahlawan tiruan di Sumatera Timur. Tetapi bila saatnya berkelahi, maka mereka dalam sekejap mata menjadi harimau galak yang menerkam mangsanya. Dalam detik-detik pertempuranlah keluar keperwiraan Aceh yang sejati…”
Pejuang Aceh bila saatnya bertempur, maka mereka dalam sekejap mata menjadi harimau galak yang menerkam mangsanya. Dalam detik-detik pertempuranlah keluar keperwiraan Aceh yang sejati
“…Bahwa orang-orang Aceh tidak lekas gembira menyambut sesuatu, atau lekas ramah menerima orang lain, seakan-akan tawar hatinya. Malahan kata-kata yang agak lucu, yang membuat orang-orang di daerah lainnya terbahak-bahak. Sedikit orang Aceh yang tertawa. Mungkin juga mereka kurang mengerti bahasa Indonesia, dan mungkin mereka pula kurang mengerti senda gurau daerah lain. Saya disini merasa, bahwa saya memasuki alam pikiran Aceh, yang berbeda dengan daerah-daerah lain. Tetapi, bila perhatian mereka sudah bangun, dan timbul kepercayaan kepada kejujuran orang yang datang, maka salju yang membungkus keramahan mereka pun lumar berangsur-angsur, dan mulai hangat penerimaannya. Dan bila kepercayaan timbul, mereka mulai mengakui kita sebagai penganjurnya, dan selanjutnya akan dipatuhinya…”
Muhammad Radjab dalam “Tjatatan di Sumatera” tahun 1947.
Mulai 14 Juni 1947 Kementerian Penerangan Pemerintah Republik Indonesia di Jogjakarta mengirimkan serombongan wartawan ke Sumatera untuk meninjau keadaan dan perkembangan disana mulai dari Kutaraja (Banda Aceh sekarang) sampai ke Teluk Betung semenjak Republik Indonesia berdiri. Catatan ini diterbitkan oleh Balai Pustaka tahun 1958.
Aceh Besar, Pertengahan Mei 1873.
Angin laut sepoi-sepoi membelai, malam itu di ngalau Beraden memang indah. Langit bersih, dihiasi bintang-bintang. Sebulan yang lalu, pasukan Belanda telah dipukul mundur dari ibu kota. Aku menyesalkan ketika mereka mundur tidak ada gangguan dari pasukan Aceh, seharusnya disitulah mereka harus ditumpas. Pasukan musuh yang mundur itu membawa pulang pengetahuan tentang Aceh, itu sangat berbahaya jika serangan itu datang.
Mungkin orang Aceh berkeyakinan bahwa Belanda yang pontang-panting itu telah mendapatkan pengalaman pahit, dan pastilah tidak berani menginjak tanah Aceh lagi. Itu salah, dalam penaklukkan Nusantara mereka pernah kalah, dan mereka akan kembali, selalu.
Umar termasuk yang percaya Belanda tidak akan datang lagi, dia mengajak aku ke Lampadang, VI Mukim. Beberapa bulan di ibu kota, belanja si Umar habis. Dia perlu menghadap pamannya Tuanku Nanta Seutia meminta belanja. Dia segan dengan pamannya, dan mengajak aku ikut serta.
“Durjana kau tahu artinya?”
“Itu pendusta,” aku tersenyum.
“Kadang-kadang ambo pikir sebenarnya seorang pendusta. Masa lalumu sebagai bajak laut sebenarnya tidak ada. Tidak pernah ada bukti, bahkan ambo lihat kau kesulitan dalam setiap pertempuran.”
“Masa lalu itu sebenarnya tidak ada.”
“Sudah ambo duga.”
“Juga masa depan, yang ada hanyalah masa sekarang.”
Umar terdiam.
“Untuk apa mengetahui masa lalu beta? Adakah yang penting Umar? Mengungkit-ungkit masa lalu adalah perbuatan seorang kekasih, kita adalah dua orang sahabat yang tak bertaut di masa lalu, jadi tak perlu membicarakannya terlalu.”
“Iya memang tidak perlu.” Ia tertawa.
Setelah menempuh jalan kecil, kami mencari jalan masuk ke kampung yang berpagar duri. Masa-masa itu perjalanan di Aceh melalui laut sehingga jalan-jalan darat begitu simpang siur diperbuat, jika orang tak tahu jalan maka terpaksalah berkeliling sampai terpasah kesesuatu tempat yang jauh dari kampung. Segala sesuatunya diperbuat untuk melindungi kampung dari penyerbuan musuh ke dalam kampung, atau kedatangan orang asing yang mungkin datang dengan maksud jahat.
Umar tahu jalan, Uleebalang Lampadang adalah pamannya dari pihak ibu, Tuanku Nanta Setia. Pintu masuk telah didapatkan, sampailah kami ke pintu gerbang yang dijaga beberapa pengawal bersenjata, mereka meminta kami menyerahkan senjata. Lalu mereka tersenyum simpul, “silahkan masuk! Dengan kelewang ini kami akan menjaga tuan.” Begitulah adat Aceh dahulu, sebelum Belanda datang dengan usaha membawa peradaban orang-orang Aceh yang dianggap biadab, dengan paksaan senjata, dan mengajarkan memberi salam dan jabat tangan.
Tuanku Nanta Seutia sedang tidak ada di rumah, sedang ada urusan di ibukota. Menantunya Ibrahim Lamnga sedang berkunjung, melihat ada tamu. Umar mengajak aku duduk di bale1) terlebih dahulu. Dari kejauhan kami melihat Ibrahim sedang bercakap serius dengan temannya.
Lelaki itu bertubuh kecil, tersenyum jahil. Berbeda dengan Ibrahim Lamnga yang tenang dan berwibawa, teman sekampungnya itu grasa-grusu. Tapi Umar memandang lelaki itu dengan rasa suka, sebagaimana ketertarikan alamiah antara dua bayi yang baru bertemu. Mimik, gerak mereka seolah kembar.
“Kau tahu siapa dia?”
“Dia adalah Nyak Makam, murid kesayangan Tuanku Hasyim, wali Negara Aceh di Sumatera Timur yang berpangkalan di Pulau Kampai. Dia adalah bajak laut sejati, tidak sepertimu.”
Aku tertawa.
“Aku dengar Nyak Makam adalah keturunan bangsawan yang menguasai Ie Meulee di Sabang. Jelas dia tidak sama seperti beta.”
“Ambo penasaran, ada apa dia datang ke Mukim VI.”
“Mungkin mengunjungi sahabatnya, Ibrahim. Bukankah mereka sama-sama berasal dari Lamnga.”
“Suami kakak sepupu memang berasal dari Lamnga. Tapi, bukankah Nyak Makam seharusnya berada di posnya di Sumatera Timur.”
Tak lama kemudian, kami dipanggil naik ke rumah tinggi.
“Dengan siapa kau datang Umar?” Tanya Ibrahim.
“Perkenalkan ini Ahmad, si durjana itu.” Jawab Umar sekenanya.
Nyak Makam terlihat antusias, ia mengulurkan tangan kepada kami berdua.
“Si bajak laut pensiun ya.” Katanya terkekeh kepadaku.
“kebetulan aku harus menghukum raja Idi, mereka telah berkhianat dengan bersekutu dengan Belanda. Ayo ikut dengan aku ke Timur.” Ajaknya.
Kenegerian Idi secara resmi adalah wilayah Aceh yang pertama "berkhianat" hal ini ditandai dengan penaikan bendera Belanda di benteng Idi pada 7 Mei 1873.
“Apa!” Umar emosi, orang-orang di Aceh bagian Timur memang pengecut, padahal Belanda baru kita halau dari ibukota, belum apa-apa mereka sudah berkhianat!” Umar dilahirkan di Barat, dia tidak menyukai orang-orang Timur. Dalam perang bantuan mereka sangat sedikit, apalagi negera-negara bawahan Aceh seperti Deli, Asahan, Langkat, ia menganggap mereka banci semua. “Seharusnya kemaluan mereka diberikan kepada anjing!”
Nyak Makam tertawa terbahak, “kita semua punya kecenderungan membenci apa yang tidak kita kenali. Mereka tidak seperti itu semuanya, hanya raja-rajanya saja. Aku pikir kau juga berseteru dengan Raja Teunom. Bukankah sama saja di Timur dan Barat?”
“Oh, si Imuem Muda. Dia itu adalah kualitas orang Barat yang paling buruk. Makannya banyak sekali, coba kalian pikir! Semua rakyatnya kurus, sedang dia gemuk sendiri. Badannya jika tidak seperti kerbau, mungkin seperti babi.” Umar tertawa terbahak.
“Aku pikir kita disini berkumpul bukan untuk saling menghujat.” Potong Ibrahim Lamnga. Umar menunduk ditegur suami kakak sepupunya, sedang Nyak Makam masih tersenyum usil. Ibrahim lamnga tidak dapat menyembunyikan kecemasannya.
“Bagaimana durjana? Ikut aku ke Timur?” Ajak Nyak Makam.
“Jangan, kau ikut aku saja mempertahankan ibu kota. Desas-desusnya Belanda sudah menyiapkan pasukan untuk menyerang kedua. Kali ini mereka mungkin tidak mendarat di Ulee Lheu, gerbang Selat Malaka adalah Lamnga, kemungkinan kampung kita Nyak Makam, akan menjadi medan pertempuran berikutnya.” Kata Ibrahim Lamnga.
“Tapi dia itu teman ambo, dia harus ke Seunagan mempersiapkan pasukan laut Meulaboh. Tenang kanda, kali berikut Meulaboh akan membantu dengan armada laut.” Kata Umar.
Aku hanya diam, pilihan yang sulit, dua-duanya baik.
“Umar dan Nyak Makam kalian seperti anak-anak saja, biarkan si Durjana ikut Cut Bang.” Tiba-tiba Cut Nyak Dhien muncul dari balik daun pintu.
“Terserah Cut Kak saja.” Kata Umar, dia tahu kakaknya mencemaskan sang suami. “Tapi dia harus menemani ambo belanja terlebih dahulu.” Seraya mengulurkan tangan meminta belanja.
Cut Nyak Dhien mendelikkan mata, “harusnya aku menyurati etek dan mengadukan kelakuanmu yang boros!”
Umar tersenyum jahil, ia melirik Nyak Makam yang tersenyum juga kepadanya. Aku melihat Ibrahim Lamnga membuka kupiah dan menggaruk kepala.
“Beta pikir mereka sangat serasi.”
“Siapa?” Tanya Umar melambung-lambungkan pundi uang yang baru dia dapatkan.
“Ibrahim Lamnga dan Cut Nyak Dhien.”
Tak heran, karena antara mereka terdapat kesamaan paham. Keduanya bersifat tangkas dan berani. Mereka cinta kepada bangsa dan tanah air, istimewa kepada agama. Pendapat mereka tentang Belanda yang menganggu kehidupan Aceh, mengancam kemerdekaan dan agama adalah sama. Kebencian mereka kepada Belanda, telah menjadi dendam yang sedalam-dalamnya telah membentuk mereka menjadi sehidup semati. Kedua-duanya yakin bahwa pertemuan mereka menjadi suami istri adalah suatu takdir Tuhan supaya bersama-sama, bahu membahu, siap memerangi kaphe.
“Tidak, aku pikir mereka sebagai pasangan sangat sempurna. Tapi sebagaimana pengalaman hidupku, kesempurnaan itu tidak baik. Tidak ada lagi yang dapat dicapai, hanya menunggu kehancuran.”
Aku menatap anak muda itu dengan wajah keheranan, “pengalaman hidup apa? Kau masih Sembilan belas tahun Umar.”
“Dasar kau pak tua! Bukankah kemarin kau bilang masa lalu itu tak ada.”
Cukup pandai anak Meulaboh ini membalik-balik kata.
“Umar, untuk satu hal beta akui kau. Untuk tipu daya dan silat lidah, anak Meulaboh tiada lawan.”
Ia tertawa dan mengatakan, “masak iya.”
“Iya nomor satu di Aceh! Bukan, nomor satu di Nusantara. Bahkan Belanda pun bisa kau tipu kalau mau.”
“Tapi kalau masalah menilai orang, berbicara bual dan mengarang cerita, ambo pikir kalian orang Aceh Besar tiada banding diseluruh dunia. Apalagi kau! Nurrudin ar-Raniry2) saja kalah!” Balas Umar.
Kami tertawa, masa-masa itu sangat indah. Kesultanan Aceh Darussalam masih merdeka.
Kemampuan membunuh, itulah yang ditakuti oleh musuh. Tidak mudah membunuh lawan meskipun dalam peperangan, walaupun saat nyawa diujung tanduk kita semua wajib mempertahankan diri. Apalagi kemampuan membunuh di waktu perang tiada, hanya dimiliki oleh orang-orang gila, tidak semua lawan Belanda di Nusantara memilikinya. Aceh adalah sekumpulan orang-orang gila, dan itulah yang ditakuti Belanda.
|Bersambung|
Index:
- Bale = Pondok kecil di depan atau belakang rumah, lazim ada pada rumah Aceh masa lalu;
- Syech Nurrudin ar-Raniry = Ulama sekaligus pujangga, terkenal dengan kitab “Bustanussalatin” Taman Para Raja. Namanya kelak diabadikan menjadi Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry di Banda Aceh;
KATALOG RISALAH SANG DURJANA
- BAGIAN SATU;
- BAGIAN DUA;
- BAGIAN TIGA;
- BAGIAN EMPAT;
- BAGIAN LIMA;
- BAGIAN ENAM;
- BAGIAN TUJUH;
- BAGIAN DELAPAN:
- BAGIAN SEMBILAN;
- BAGIAN SEPULUH;
- BAGIAN SEBELAS;
- BAGIAN DUA BELAS;
- BAGIAN TIGA BELAS;
- BAGIAN EMPAT BELAS;
- BAGIAN LIMA BELAS;
- BAGIAN ENAM BELAS;
- BAGIAN TUJUH BELAS;
- BAGIAN DELAPAN BELAS;
- BAGIAN SEMBILAN BELAS;
- BAGIAN DUA PULUH;
- BAGIAN DUA PULUH SATU;
- BAGIAN DUA PULUH DUA;
- BAGIAN DUA PULUH TIGA;
- BAGIAN DUA PULUH EMPAT;
Posted from my blog with SteemPress : https://tengkuputeh.com/2018/08/06/risalah-sang-durjana-bagian-dua-puluh-lima/
Hello tengkuputeh
You are welcomed by the service of FreeResteem.
We want to bring more people to your post.
If you like our service then put a upvote under this comment.
Thank you for remain with Steemit.