Bagi kita masyarakat Aceh, Keterlambatan pengesahan Anggaran Pendapatan Belanja Aceh (APBA) bukan lagi hal baru yang harus diributkan, karena hal ini telah menjadi rahasia umum akan tolak-tarik kepentingan di kalangan Eksekutif dan Legislatif. Tiap tahun “film” yang sama diputarkan demi memuluskan jalan mereka untuk menguasai anggaran.
Mereka seakan-akan hilang kesadaraan akan tanggung jawabnya terhadap kepentingan masyarakat, dimana keterlambatan pengesahan APBA akan berdampak pada perekonomian dan pembangunan Aceh, belum lagi daya serap anggaran di akhir tahun yang tidak masikmal.
Siapa yang Memulai Rivalitas?
Sekitar pukul 14.30 Wib tadi, saya ngopi di salah satu Warkop di kawasan Pangoe, Banda Aceh. Di sebelah saya, ada satu meja yang dihuni 5 (lima) orang, mereka asyik memperbincangkan masalah keterlambatan APBA 2018. Sebenarnya saya tidak terlalu open dengan obrolan mereka, apalagi berbicara masalah keterlamabatan APBA, rasanya sudah muak mendengarnya. Karena kalau terus diikuti, pasti ujung-ujungnya kita akan menghujat pemimpin kita sendiri selaku “penggagas” anggaran – dengan tingkah dan prilaku yang mereka pertontonkan.
Kembali ke meja kopi di sebelah saya, seperti saya singgung diatas, sebenarnya saya tidak respect dengan obrolan mereka tentang APBA. Namun sambil minum kopi, sesekali saya terbawa juga dengan pembicaraan mereka yang sudah mulai meninggi. Saya mulai menyimaknya. Menurut amatan saya, kelima orang ini pro kontra terkait pengesahaan APBA 2018, dua orang kelihatannya mendukung langkah Gubernur Aceh Irwandi Yusuf untuk mem-Pergub-kan APBA dengan berbagai argumentnya. Sedangkan tiga orang lagi rasanya menolak dan lebih membela agar APBA disahkan melalui Qanun, bukan Pergub. Mereka saling berdebat, seakan-akan telah melahirkan tensi di atas meja kopi. (Memang sudah tipikal orang kita-Aceh, kalau di meja kopi semua keluar, kalah pakar yang bergelar Doktor-Profesor. Hehe)
Sekitar pukul 16.00 Wib, kelima orang ini bubar. Namun ada satu hal yang terbesit dan menurut saya agak menarik dari pembicaraan mereka, yaitu masalah rivalitas. Menurut salah satu dari mereka yang mendukung Qanun menyebutkan, bila Irwandi Yusuf memaksa kehendak untuk mem-Pergub-kan APBA 2018, berarti Irwandi telah menjadikan DPRA sebagai rival, bukan mitra kerja dalam pembangunan. Saya berfikir, seperti ada benarnya tentang yang satu ini. Namun siapa sebenarnya yang memulai mencipatkan rivalitas, Gubernur atau DPRA, besit saya dalam hati?
Singkatnya, saya berkesimpulan (hanya asumsi, bukan memfonis) bila APBA 2018 benar-benar di-Pergub-kan, sepertinya saya lebih condong melihat bahwa Gubernur Aceh lah yang memulai menciptakan rivalitas dengan DPRA. Karena menurut sepengetahuan saya, sepertinya tahun-tahun sebelumnya belum ada APBA yang disahkan melalui Pergub.
Bahkan Mayjen TNI (purn) Soedarmo saat menjabat sebagai Plt Gubernur Aceh dulu tidak berani memaksa kehendak dengan mem-Pergub-kan APBA 2017, padahal polimik APBA 2017 juga sangat rumit hingga telah masuk ke Meja Mendagri. Namun, Soedarmo lebih condong menyelesaikan polimiki APBA dengan pendekatan persuasif, ia lebih memilih membuka diri untuk membangun dialog dengan DPRA, APBA 2017 pun disahkan melalui Qanun. Dan, hal ini sepertinya belum terlihat dari sosok Irwandi Yusuf, meski DPRA telah terang-terangan menyatakan siap membuka pintu komunikasi-dialog untuk penyelasaian polimik APBA 2018.
Menurut asumsi penulis, bila Irwandi Yusuf tetap menutup diri dan lebih memilih mem-Pergub-kan APBA 2018, ini menjadi preseden buruk di tahun pertama kepemimpinannya sebagai Gubernur Aceh edisi 2017-2022. Ia juga telah menjadikan DPRA sebagi rival, bukan mitra dalam pembangunan Aceh kedepan.
https://steemit.com/indonesian/@moeslimyusuf/buah-jeruk-untuk-vitamin-c-orange-fruit-for-milk-wash-cd6f866fb68c3
Nyan bg Zakir..
Bereh..
Bereh @muslimyusfa