Jejak Spirit Aceh, Review Acehnologi (III : 23)

in #acehnologi6 years ago

Assalamualaikum wr, wb. Kali ini saya akan melanjutkan review buku Acehnologi karya bapak KBA volume 3 bab 23 tentang Jejak Spirit Aceh. 

Dalam bab ini, dikupas tentang spirit ke-Aceh-an. Fungsi dari Spirit Aceh memang tidak lagi menghasilkan sistem berpikir dalam kehidupan kebudayaan Aceh. Sesuatu yang bersifat spirit tidak dapat diterjemahkan ke dalam realitas kehidupan nyata masyarakat, sehingga Spirit Aceh seolah-olah telah tenggelam ditelan masa. Kemudian timbul pertanyaan ‘mampukah orang Aceh menggali lagi aspek-aspek fondasi Spirit itu?’ Jawabannya sangat berkaitan dengan aspek ruang dan waktu, dimana rakyat Aceh menjalankan fungsi sejarah kemanusiaan mereka. 

 Proses penyemaian spirit Aceh di dalam konteks kekinian tidak mudah. Ini disebabkan ketiadaan upaya untuk melakukan transformasi mengenai kekuatan abstrak yang muncul di dalam masyarakat Aceh. Karena sistem berpikir yang amat abstrak telah hilang, maka sistem berpikir masyarakat yang muncul adalah sistem materi. Falsafah materialisme,  dengan demikian, telah meracuni sistem kehidupan rakyat Aceh. Selain itu, tidak ada lembaga khusus yang menawarkan bagaimana pengkajian secara serius mengenai Spirit Aceh. Seharusnya, melalui perubahan masyarakat, upaya untuk terus menggali dan mempertahankan Spirit Aceh harus dikembangkan. Tetapi pada kenyataannya, format kehidupan masyarakat tidak lagi memahami semangat kehidupan mereka sendiri. 

Kata Spirit disini menjadi kunci bagaimana orang Aceh mampu mensinergikan nilai-nilai perjuangan dan kebudayaan. Salah satu contoh, ketika Aceh melawan Belanda, para ulama mengambil perang sabil sebagai spirit perjuangan. Pada saat itu, siapapun yang membaca atau dibacakan Hikayat Perang Sabil, maka semangat pejuang Aceh akan menggelora. Akibatnya Belanda harus berusaha sekuat tenaga untuk menguasai Aceh. 

Di Aceh, upaya untuk menggali aspek keilmuan dan falsafah kehidupan orang Aceh masih belum muncul ke permukaan. Sehingga warisan dan simbol yang penuh dengan nuansa keilmuan dari sultan dan ulama sering dipandang sebagai warisan kebudayaan yang bersifat simbolik semata. Artinya, untuk mendalami aspek spirit orang Aceh, pemahaman terhadap cara pandang ke-Aceh-an mutlak diperlukan. Aspek spirit ini di kalangan rakyat Aceh setidaknya hanya dapat ditemukan pada tingkat pemahaman mereka terhadap Islam. Sehingga, terkadang untuk memahami orang Aceh, agama Islam harus dilibatkan. Namun, di buku ini dikatakan ketika memahami falsafah dan spirit ke-Aceh-an ada hal-hal yang bersifat kosmologis yang hanya dapat dipahami jika kita bisa memahami cara pandang atau dunia Aceh. 

Paham ke-Aceh-an yang mampu menerima spirit ini, karena ada pandangan orang Aceh tidak boleh menjadi kafir, karena tanah Aceh adalah tanah para aulia. Jadi, konsep kaphe dan aulia merupakan batas spiritualitas yang tidak dapat dinegosiasikan di Aceh. 

Dalam bab ini bapak KBA telah menulis beberapa hal yang dapat disimpulkan. Pertama, membuka kembali kajian mengenai spirit di Aceh adalah sesuatu yang amat menarik. Sebab studi ini terkait dengan studi kosmologis. Tentu saja ini masih belum begitu menarik diungkapkan di permukaan, mengingat untuk mencari spirit masih pada tahap simbolik. Padahal, untuk persoalan spirit pejuang dan kebudayaan, ada persoalan lain dimana dituntut adanya kemauan untuk menyelami aspek bagaimana menjadi Aceh secara hakikat. Atau, mampukah kita bisa menggali cara pandang kehidupan Aceh untuk digunakan sebagai spirit membangun Aceh. Spirit ke-Aceh-an muncul dari dua poros yaitu poros istana dan poros ulama. 

Kedua, sampai saat ini, kesultanan Aceh telah kehilangan otoritas dan kewenangannya. Dari poros ini hanya muncul simbol-simbol kerajaan yang sekarang dialihkan menjadi aset kebudayaan Aceh. Artinya simbol-simbol kerajaan Aceh, apapun jenis ritual dan pakaian yang melekat padanya, telah menjadi semacam modal kebudayaan yang minus makna hakikat. Alhasil, spirit pembangunan Aceh pun tidak terkendali lagi pada satu poros kerajaan. Adapun poros ulama juga telah mengalami pergeseran yang cukup signifikan. Padahal, dalam lintasan sejarah Aceh, poros ulamalah yang paling berperan dalam membangun Aceh yang hakiki, dalam arti bukan pada dataran simbolik.

Ketiga, bergesernya spirit atau konteks kebudayaan Aceh juga mengejutkan. Maksudnya, keinginan energi positif untuk membangun Aceh, lebih banyak ditentang oleh perilaku orang Aceh sendiri yang cenderung memiliki energi negatif. Misalnya perilaku yang merugikan seperti korupsi, dan kolusi telah menyatukan diri dalam perilaku negatif dalam keaslian orang Aceh yaitu seperti penghianatan, ku’eh, dan lain sebagainya. Karena itu, jika spirit atau energi positif ingin dibangkitkan, maka selain persoalan kosmologis orang Aceh diketemukan kembali, juga aspek-aspek perilaku negatif itu tidak perlu diberikan ruang dalam kehidupan sosial kemasyarakatan.

Cukup sekian review dari saya mengenai bab ini, masih ada bab selanjutnya yang akan saya review, semoga teman-teman semua tidak bosan membacanya, wassalamualaikum wr, wb.   

Sort:  

Benar demikianlah nilai fanatisme buta sebagian kecil penduduk awam dimana mereka bila kita sebut"Lagee kaphee" bisa menimbulkan emosi kekerasan walaupun shalat sering tak terwujud/belum terwujud dalam udep si uro-uro.