Assalammualaikum sahabat steemian,
Tak lelahnya saya menyapa sahabat sekalian, semoga kita selalu dalam keadaan sehat agar semangat terus memberikan informasi dan tulisan-tulisan yang menarik.
Baiklah teman-teman sekalian, ditulisan kali ini saya akan mengangkat tema mengenai kesenian dari etnis Jawa. Namun kali ini ada juga yang berbeda. Mengapa? Karena kita akan membahas mengenai keseniaan Tradisional Etnis Jawa beserta bagaimana Eksistensinya di kalangan masyarakat yang mayoritas Etnis Batak Simalungun. Nah, menurut saya ini adalah bagian yang paling menarik, teman-teman ingin tau lebih lanjut, maka mula-mula kita akan membahas apasih kesenian Tradisional Jawa itu?
Begini teman, di dalam etnis Jawa terdapat banyak sekali kesenian tradisional, contohnya seperti Wayang, Reog Ponorogo, Ludrok, Reog Rampak, Tari Bundarang, Tari Remo, dan masih banyak kesenin lainnya yang tersebar di wilayah Jawa Timur dan Jawa Tengah.
Namun ada satu kesenian yang menarik perhatian saya, yaitu kesenian Jathilan, atau yang biasa dikenal orang dengan Kuda Lumping/ Jaran Kepang.
Kesenian ini mengingatkan saya pada masa kanak-kanak, saat itu saya sangat antusias apabila ada acara hajatan tetangga yang mengundang rombongan Jaran Kepang. Berhubung saya merupakan seorang Pujakesuma (Putri Jawa Kelahiran Sumatera), saya merasa kesenian Jawa yang dihadirkan di Sumatera ini membuat saya amat penasaran. Bagaimana kesenian ini mampu mempertahakan eksistensi dan keberadaannya di tengah masyarakat yang mayoritas merupakan Etnis Batak Simalungun.
Jadi cerita ini bermula dari sebuah kota yang tidak terlalu kecil karena kota ini merupakan kota terbesar ke-2 setelah kota Medan yang merupakan Ibu Kota Provinsi Sumatera Utara, yaitu kota Pematangsiantar yang sekaligus merupakan kota kelahiran saya.
Oke teman-teman sebelum jauh kepada cerita, saya sedikit ingin memperkenalkan terlebih dahulu bagaimana sih kesenian Jaran Kepang atau Jathilan itu? Jathilan atau Jaran Kepang biasa masyarakat menyebutnya merupakan kesenian tari yang barasal dari daerah Jawa Timur dan juga sudah mulai menyebar sampai keluar dari Pulau Jawa. Tarian ini disebut juga Jaran Kepang karena menggunakan alat peraga berupa jaranan (kuda-kudaan) yang terbuat dari anyaman bambu atau kepang. Sementara Kuda Lumping juga punya arti kata yang sama, lumping berarti kulit bambu yang dianyam, sehingga secara bebas diartikan sebagai pertunjukan tari dengan kuda-kudaan yang terbuat dari anyaman bambu atau kulit bambu.
Berdasarka perkembangannya, tari Jaran Kepang sendiri merupakan tradisi turun temurun yang awalnya dipercayai untuk memanggil roh-roh halus dari nenek moyang, namun karena pengaruh situasi, pertunjukan Jaran Kepang dimainkan hingga para pemainnya mengalami Trans atau Kesurupan (kehilangan kesadaran), sehingga dengan kondisi seperti itu pemain dapat melakukan hal-hal yang tidak bisa dilakukan manusia normal pada umumnya. Contohnya atraksi memakan beling, menyayat diri, berjalan diatas pecahan kaca, memecut atau mencambuk diri sendiri dan masih banyak beberapa atraksi berbahaya lainnya.
Sesunggunya makna dari tari Jathilan itu adalah bagaimana suatu gerakan yang menggambarkan jiwa kepahlawanan para prajurit berkuda di dalam medan peperangan. Jathilan sendiri biasa dimainkan oleh 10 orang dengan 6 orang penunggang kuda dan 4 orang lainnya memainkan alat musik tradisional seperti kendang, bende, kenong, demung, kecek dan lainnya. Pertunjukan Jaran Kepang biasanya juga di kawal oleh pawang atau dukun untuk mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan.
Baikalah teman, sekarang kita akan kembali kepada cerita kita sebelumnya mengenai eksistensi Jaran Kepang di tengah-tengah masyarakat Pematangsiantar yang mayoritas adalah etnis Batak Simalungun. Sebagai kota yang di juluki dengan kota Toleransi se -Indonesia dengan menduduki peringkat pertama, tentunya alasan ini tidak luput dari pembahasan kita. Saya mengenal kota saya dengan orang-orang yang notabene bersuku Batak, yang mempunyai karakter keras dalam kesehariannya. Maka orang siantar juga dikenal dengan toleransi antar umat beragama dan bersuku bangsa. Dengan hal inilah tidak menyurutkan semangat para pemain dan penyebar kebudayaan Jawa di Kota Pematangsiantar untuk terus berkarya dan memperkenalkan kebudayaan etnis Jawa.
Tak jauh dari pusat kota, siantar sendiri mimiliki lapangan upacara yang cukup luas yang dijadikan tempat untuk melaksanakan acara-acara peringatan dan acara-acara besar lainnya dengan juga beberapa kegiatan anak-anak muda yang kreatif. Lapangan ini di namakan Lapangan KH. Adam Malik atau biasa orang siantar menjulukinya dengan lapangan Simarito. Di lapangan inilah kemudian para penyebar kesenian Jawa khususnya Jathilan memainkan atraksinya. Dengan jadwal hari yang tidak ditentukan, rombongan Jathilan terkadang bisa 3-4 kali melakukan pertunjukan dalam waktu seminggu, bahkan di saat-saat musim berlibur datang mereka akan hadir di lapangan Simarito mulai dari pukul 15.00 wib – 17.00 wib. Tidak seperti kelompok Jathilan yang ada di Jawa Tengah, kelompok Jathilan di Pematansiantar tidak menggunakan kostum yang mewah melainkan hanya dengan konsep yang sederhana, karena fungsinya disini adalah sebagai atraksi hiburan saja.
gambar diatas merupakan pertunjukan Jaranan di Lapangan KH. Adam Malik Pematangsiantar
Bagi masyarakat siantar sendiri, melihat fenomena seperti ini merupakan hal yang mereka anggap bahwa setiap kebudayaan maupun suku etnis mempunyai haknya dalam berekspresi dan memperkenalkan suatu kebudayaan dalam bentuk apapun selama itu masih mengandung nilai dan norma yang benar. Tidak sedikit dari masyarakat etnis simalungun yang antusias melihat pertunjukan kesenian tradisional jawa ini.
Dan inilah yang menjadi menarik, bahwa pertunjukan etnis minoritas yang eksistensinya sangat diapresiasi oleh masyarakat mayoritas dan di jadikan sebagai sajian pertunjukan di tengah-tengah pusat Kota Pematangsiantar serta tidak menimbulkan niat persaingan antar etnis beragama. Maka dibagian akhir ini saya menyimpulkan bahwa sesuai dengan Motto yang di miliki oleh Kota Pematangisantar yaitu “Simpangambei Manoktok Hitei” yang artinya Bersama-sama dan bergotongroyong dalam membangun, maknanya adalah bahwa apapun etnisnya, agamanya, kota ini bersama-sama membangun untuk kemajuan Kota Pematangsiantar dan juga masyarakatnya.
Sekianlah tulisan dari saya kali ini terimakasih kepada yang bersedia membaca sampai akhir. Akhir kata, HORAS!!!
Wassalammualaikum.wr.wb
Dwi Anggraeni
150230036
Nice 😊👍