Pikiran tentang beratnya beban dara barô (Aceh : pengantin perempuan) telah menggelayuti kepala saya sejak 17 November 2018 lalu. Apa pasal? Adik ipar punya pasal. Di hari acara tung dara barô (Aceh : resepsi pernikahan di rumah pengantin laki-laki) di rumah kami.
Syahdan, selewat jam 15 WIB, sang adik ipar mulai lelah berdiam di pelaminan. Cuaca panas Banda Aceh kian menaikkan level lelah itu. Dengan seizin sang empunya acara, kami sekeluarga, ia diantar oleh lintô barô (Aceh : pengantin laki-laki) ke kamar yang disediakan bagi mereka berdua. Saat melewati saya, saya melihat kepayahan di wajahnya yang sejak jelang siang tadi tak henti menebar senyum pada tetamu yang menghadiri acara tersebut. Tak tega, saya bertanya, ada yang bisa dibantu?
Si adik mengangguk. "Tolong buka hiasan di kepala, Kak ya. Berat kali. Nggak sanggup tahan lagi." Ia meminta.
[Pengantin laki-laki dan perempuan di Banda Aceh - koleksi pribadi]
Baiklah. Berhati-hati, satu persatu atribut penghias kepala itu saya lepas. Ikatan di sana-sini tertahan oleh pentul di sana-sini pula. Untuk menahan rangkaian bunga melati, untuk membentuk kain tulle berwarna emas yang dijadikan jilbab, ditambah untuk menyemat sepotong kain brokat motif bunga sebagai tambahan hiasan lainnya di di bagian kepala yang diatur sedemikian rupa di atas kain tulle tadi. Untuk ukuran standar satu kepala saja, cukup banyak sematan pentul yang harus dilepas. Saat melakukan kerja melepas pentul demi pentul penyemat hiasan kepala itu, yang bermain di benak saya adalah, bagaimana kalau kejadian sang pengantin perempuan ini pingsan atau terjatuh dan rebah kepalanya? Betapa resiko tercucuk pentul sebanyak itu sangat besar sekali kemungkinannya.
[Sebanyak ini pentul yang digunakan untuk menyemat perhiasan di kepala seorang pengantin perempuan di Banda Aceh]
Lepas urusan perpentulan yang cukup memakan waktu itu, mulai pula melepaskan satu persatu ragam sunting yang dicucukkan ke sebongkah busa yang dibentuk menyerupai bukit kecil dan dipasang di puncak kepala. Nah, ragam sunting ini yang menyumbang bobot beban paling berat yang harus ditahan oleh pengantin perempuan Aceh. Karena terbuat dari logam bersepuh emas ditambah bahan-bahan lain yang menyerupai permata, sehingga tampilannya terlihat begitu rumit dan indah. Berikut foto sederetan sunting kepala itu.
Di samping sunting, ada pula rangkaian bunga melati segar ditambah tiara/mahkota lagi. Seolah tak cukup, semacam bros besar berbahan logam bersepuh emas ditambahkan lagi di bagian kedua pelipis kiri dan kanan.
Sepasang anting ikut menambah meriah hiasan kepala tersebut. Meskipun tidak mungkin dipasang di telinga, sebab tertutup jilbab, perias pengantin Aceh tak kekurangan kreatifitas. Sepasang anting itu disematkan di jilbab tepat di posisi daun telinga berada.
Sambil melepaskan ragam hiasan itu, saya tanyai adik ipar, bagaimana kondisinya saat segala atribut hiasan kepala itu dipasang tadi pagi.
"Mual kali, Kak. Menjadi-jadi mual. Mau muntah rasanya, tapi ditahan-tahan. Kadang-kadang sakit juga bagian kepala yang terkena cucukan itu."
Hehehe... Kakak sudah merasakan duluan, Dek.
Tapi rasa-rasanya, mengingat zaman saya pengantin dulu, kemudian zaman pengantin-pengantin yang lebih duluan lagi dari pada saya, lalu membandingkan pula dengan foto-foto pengantin Aceh masa lampau dari bahan bacaan cetak maupun digital, termasuk foto pengantin ibu kandung dan ibu mertua saya, semakin kekinian hiasan di kepala pengantin perempuan Aceh semakin bertambah, dari segi varian sunting dan jumlahnya. Tentu berbanding lurus dengan pertambahan berat beban di kepala yang harus ditanggung oleh sang pengantin.
Hei, itu baru di bagian kepala. Belum ditambah beberapa jenis kalung yang menggelayuti leher, ragam perhiasan di tangan, pinggang, sampai kaki. Komplit. Bila ditimbang-timbang secara kasar, bisa jadi berat keseluruhannya lebih dari 6 kg.
Sedangkan pengantin laki-laki, beban yang harus disangga kepalanya jauh lebih ringan, seringan kupiah meukeutôp ini belaka.
Begitulah, Dek. Menjadi pengantin perempuan Aceh itu semakin hari semakin berat. Tidak semua perempuan sanggup. Kecuali kami tentu saja, perempuan Aceh 😊