Secara umum, kualitas lingkungan di sepanjang Sungai Kelekar yang membelah kota Prabumulih tergolong buruk. Ia hanya menjadi semacam parit untuk pembuangan limbah industri maupun limbah rumah tangga. Tapi di beberapa bagian, terutama di kawasan agak ke hulu, sungai ini masih memberikan layanan alam yang dapat dimanfaatkan warga kota.
Pada petang hari Minggu lalu, sebuah komunitas kecil yang digerakkan oleh beberapa musisi muda Prabumulih melakukan kegiatan di tepi Sungai Kelekar. Komunitas Musik Untuk Lingkungan Hijau atau disingkat MULIH. Wilayah tepian sungai Kelekar yang kami kunjungi berada di sebuah ceruk yang terbentuk oleh percabangan jalur rel kereta api. Di tengah jalur Prabumulih - Muara Enim/Lubuk Linggau, dan jalur Prabumulih Tanjung Karang.
Di wilayah ini dulu merupakan kawasan pemandian umum warga dusun Prabumulih. Jauh sebelum Kelekar tercemar. Ada dua tempat pemandian atau disebut Pengkalan. Ada pemandian khusus perempuan, ada untuk laki-laki. Pengkalan hup dan pengkalan huse (rusa).
Pada musim kemarau, ini menjadi lubuk tempat bekarang, dimana seluruh warga turun ke sungai mencari ikan. Tepiannya adalah wilayah pertanian.
Saat ini jasa Lingkungan atau layanan alam Sungai Kelekar di wilayah ini masih dimanfaatkan. Terutama sebagai tempat rekreatif warga. Ada yang memancing, berenang, atau bersantai di pinggir sungai. Ada pula yang memanfaatkan pasir dari sungai untuk bahan bangunan. Sekalipun tak banyak.
boldAKSI HIJAU
Kesejarahan menjadi salah satu alasan Komunitas Musik untuk Lingkungan Hijau Prabumulih pada hari Minggu lalu melakukan aksi hijau untuk Kelekar. Komunitas yang digagas oleh Oni Selamat, Nata Medianto, dan Doni Sefriansyah ini melakukan penanaman pinang (Areca catechu) di tepian sungai.
Penanaman pinang atau tanaman lain di tepian sungai Kelekar menjadi aksi awal yang dapat dilakukan. Bagi komunitas ini, ada banyak pilihan aksi yang dapat dilakukan. Memulihkan ekosistem sungai Kelekar mesti diarahkan pada memulihkan cara pandang masyarakat Prabumulih terhadap sungai. Misalnya, memulihkan cara pandang bahwa sungai bukan sekadar aliran air atau tempat pembuangan sampah. Dengan penanaman tanaman penghijauan, diharapkan akan memulihkan cara pandang bahwa daerah aliran sungai bukan sekadar lahan kosong, melainkan wilayah serapan air dan yang dapat dimanfaatkan sebagai ruang terbuka hijau bagi masyarakat sekitar.
MULIH memilih pinang untuk ditanam karena bibitnya mudah dicari, mudah tumbuh, dan memiliki nilai estetika (keindahan). Pinang memiliki perakaran yang kuat untuk menyanggah batang tak mudah roboh sekaligus menahan erosi. Tumbuhan ini juga dikenal banyak manfaat sejak dulu. Hingga kini buahnya masih merupakan salah satu komoditas bernilai ekonomis.
Aksi hijau yang dilakukan oleh MULIH merupakan sebuah rintisan hijau yang patut didukung dan perlu diikuti oleh komunitas lain. Dua pekan sebelumnya, sebuah komunitas kecil bernama Komunitas Pecinta Kelekar melakukan penanaman jenis tanaman lokal karamunting (Melastoma affine).
MULIH sendiri berencana akan melakukan banyak kegiatan terkait pemulihan kelekar. Selain penanaman tanaman penghijauan, sosialisasi tidak membuang sampah ke sungai, diskusi dengan warga tepi sungai, bahkan aksi seni di tepi sungai, dll.
Institut Agroekologi Indonesia (INAgri) turut mendukung aksi hijau musisi muda di kota Prabumulih, Sumatera Selatan ini.
Diharapkan, aksi-aksi hijau ini akan berdampak pada pemulihan kualitas lingkungan dan layanan alam ekosistem sungai Kelekar.###