Foto ini pernah dipublikasikan melalui blog kembangdesa
Ada sebuah sekolah. Namanya, Madrasah Ibnul Fallaah. Artinya, Sekolah Anak Petani. Tepatnya sebuah pesantren mungil di desa yang juga mungil bernama Bangsal, di Kecamatan Pampangan, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan.
Sekolah atau pesantren ini didirikan oleh Muhammad Hasan dan beberapa karibnya pada tahun 2008. Semula di desa Bangsal hanya ada Sekolah Dasar. Untuk melanjutkan ke jenjang Sekolah Menengah Pertama, anak-anak Desa Bangsal mesti pergi ke kota Kecamatan. Berperahu. Baik perahu kayuh maupun perahu bermesin yang disebut “ketek”. Jalan darat terbatas.
Maka berdirilah Sekolah Anak Petani tingkat tsanawiyah. Setara SMP. Belakangan dibuka pula tingkat Aliah. Setara SMU/SMA. Santrinya pun tak hanya berasal dari anak-anak petani Desa Bangsal. Sebagian datang dari lain desa dan lain kecamatan. Bahkan ada yang dari kabupaten lain, termasuk Palembang dan kota lain di Sumatera Selatan. Keponakan saya pun saya kirim dari Prabumulih untuk belajar di sana.
Jumlah santri sekitar 200 orang. Sebanyak 60 orang santri menginap. Memenuhi kebutuhan pangan para santri inap tak mudah. Pemenuhan konsumsi dengan asupan gizi memadai, cukup protein, cukup serat, cukup vitamin, dan zat gizi lain, perlu siasat khusus. Mungkin tidak mudah.
Satu kali saya menginap di sana. Bulan puasa. Ramadhan tahun lalu.
Sahur tiba. Para santri bangun. Masing-masing menghadap nampan makan ala katering yang bertutup. Ketika nampan makan dibuka, salah satu santri agak tertegun menatap. Ia berkomentar pelan, “ah, telok sajo…!”
Hanya nasi dan sebutir telur bulat. Dia comot telurnya. Lalu bergerak kembali tidur.
Menu sahur seadanya ini sebenarnya karena para santriwati yang bertugas masak terbangun kesiangan. Tapi ini menjadi pikiran kami dan pengelola Sekolah Anak Petani.
Mulailah digalakkan sebuah kegiatan berkebun sayur. Semangatnya menjamin ketersediaan pangan di sekolah yang sekaligus menjadi rumah para santri inap. Madrasah Ibnul Fallaah menggalakkan gerakan “Food Always in the Home” atau disingkat FAITH.
Kebun di sekolah ini harus menyenangkan. Supaya para santri senang. Karena itu kebun dirancang serupa taman. Langkah pertama dengan meminjam desain mandala, atau kebun melingkar, yang telah dipopulerkan para penggiat permakultur.
Pelan-pelan. Terus-menerus. Kebun sayur di pekarangan sekolah mulai tergarap. Kemudian diperluas. Lahan berkebun para santri pun tak cuma di pekarangan sekolah, tetapi juga di lahan diklat mandiri milik desa. Hasilnya tak cuma untuk melengkapi menu makan sehari-hari. Kelebihan hasil panen mulai dijual ke warga desa.
Bermula dari “telok sajo”, sekarang sudah ada kebun sayur, kandang ayam, dan kolam ikan kecil. Kebun sayur tak hanya meminjam desain mandala. Ada juga petakan yang meminjam teknik hugelkultur.
Kebun-kebun sesayur yang dikelola para santri ini menjadi terapan agroekologi. Tak menggunakan bahan-bahan agrokimia. Semua bahan pembenah tanah dan nutrisi penyubur dibuat sendiri oleh mereka. Semua kegiatan ini dilakukan di Sabtu dan Minggu. Dua hari itu bukan libur, melainkan kelas pertanian alami yang memeng khusus diberikan sebagai bekal agar para santri memiliki kecakapan untuk menjadi agen kedaulatan pangan.
Semoga menjadi kabar baik!
#Foto yang digunakan merupakan dokumentasi Madrasah Ibnul Fallah dan Institut Agroekologi Indonesia (INAgri)
Keren banget Bang @syamar.
Mengajarkan anak untuk bercocok tanam dan mandiri menyediakan panganan sendiri untuk dikonsumsi bersama.
Luar bisa keren.....
Mas @aa31,
Keinginan mengajarkan semangat memproduksi pangan di sini sebenarnya sudah lama dipikirkan. Hanya saja formulasinya baru ketemu belakangan. Setelah ketemu kendala. Seperti rumus umum, kendala inilah yang kemudian menemukan solusi. Hehe
Keren banget nget nget! Ajarinlah anak2 di rumah nih...
Udah ada kawanku ka @mariska.lubis
hehe
hai, hai. kawan @gayocoffeefarm. kawan tani :)
sebenernya tinggal dikerjakan, Mariska. Hehe. Kalo ada waktu berkunjung bolehlah berkebun bareng di rumahmu. maen dengan anak-anak. :)
Kreatif kali ah..
Udah ada kawanku bang @catataniranda hehe
terpaksa, bang @catataniranda. Solusi mengatasi telok sajo. hehe
Mantap.. moga nanti Bang @syamar bisa berkolaborasi dengan @gayocoffeefarm baik dalam tulisan maupun karya nyata lainnya. sukses terus ya
Kreatif sekali. sayurannya segar & tidak perlu disemprot obatbya Bang @syamar?
patut ditiru..
Iya, mbak @ettydiallova. tanaman di sini nyaris tanpa perlakuan khusus. kecuali pada saat membangun kesuburan alami tanah. selebihnya, ketika tanah sehat, tanaman juga kuat, dan tak perlu perawatan khusus terkait hama dan penyakit
Gak jadi lapor bang hehe
Sekalian ku resteem
terima kasih, bro @gayocoffeefarm. semoga resteemnya gak sampai ke polsek terdekat. hahaha. eh, tapi gak apa-apa. siapa tahu mereka mau ubah tanaman hias di depan kantor dengan tanaman sayuran. :D
Di daerah wilayah III Cirebon pun pesantren-pesantren diajarkan untuk bertanam dan beternak, Pesantren Buntet, Al Jayitun , Mizan
Santri-santrinya mandiri dan ilmu pengetahuannya tinggi-tinggi, tidak kalah dengan sekolah formal, bahkan menguasai beberapa bahasa.
saya selalu kagum sama anak2 pompers
betul, mbak @ranesa70...
berdasar riwayat, pesantren secara tradisional berarti cerminan sebuah desa, dan para santri tak hanya diajarkan pengetahuan agama tetapi juga keterampilan hidup. oleh karena pesantren adalah sebuah "desa" maka kaum santri juga "kaum tani". Saya pernah membaca pendapat ini dalam sebuah tulisan sesepuh pesantren besar di Jawa. Tapi lupa siapa yang sedang saya kutip.
Permakultur
Iya. Ada pendekatan desain a la permakultur. Ada pendekatan ala natural farming. Di sini coba digabung semua frame pertanian selaras alam.
Keren.. Dr dulu pgn buat kya gtu. Tp fara kebanyakan malas nya. Hahaha
Hihi. Gak perlu rajin2 amat, sih. Kalo punya waktu 1 jam setiap hari tetap bisa. Hehe.
Menyenangkan sekali lihat fotonya, dari lahan yang semula kosong sampai akhirnya dipenuhi tanaman yang hijau dan siap di panen.