Bagaimana jika ceritanya di balik. Kira-kira begini. Suatu ketika, pada saat matahari di atas kelapa. Sekelompok anak nusantara yang berpikir kemajuan berjalan. Jarak perjalanan mereka cukup jauh.
"Kita akan demo," bisik seorang lelaki dengan pakaian lusuh. Tapi masih gagah dengan jaket keaguhan kampusnya.
"Iya," jawab seorang mahasiswi yang rapi dan bersih. Pakaiannya terlihat terjaga. Wangi semerbak tidak mengurangi semangat juang. Keras suaranya menyanyikan lagu-lagu para demonstran.
Pada awalnya, mereka berjalan dari titik kumpul. Sebuah gedung yang biasa anak mendiskusikan sesuatu. Kadang rapat dan adakalanya menuliskan catatan kebijakan organisasi. Disana mereka berkumpul.
Perjalanan panjang, dari satu tempat ke tempat lain. Terik mentari membakar kulit. Ada wajah yang tetap segar. Bahkan, peluh di kulih pipinya terasa sejuk. Satu sampai dua jam, perwakilan parlemen jalanan berorasi.
"Kami minta Pemerintah pro rakyat," secuil kalimat dari toa yang menggema.
Entah bagaimana? Mungkin karena latihan. Mahasiswa yang berhadap-hadapan dengan aparat kepolisian telah tersusun rapi. Barisan sejajar dan tangan yang saling memegang antara satu dan lainnya.
Sedangkan di depan mereka. Polisi dengan tameng dan alat pukul sudah siap siaga. Wajahnya datar dan ada yang tegang. Seakan menjaga kesan kejam dan bengis.
"Berapa jumlah kita!"
"Saaatuuu"
"Semuanya berkumpul!"
Bagai pengarah, suara menjadi alat bagi telinga setiap empunya untuk mengikuti perintah. Semakin rapat dan maju selangkah demi selangkah. Terus bergerak. Maju, selangkah lagi. Sampai mereka mempertemukan badan dengan badan. Badan demonstran dan tubuh penegak hukum dengan pakaian tempur lapangan.
"Maaajuuuu kawan-kawan," kata pemegang toa dengan lengan baju terlipat. Tunjuknya mengarah ke angkasa. Seakan meminta rahmat langit.
Dari belakang kumpulan demonstran. Empat mahasiswa baru. Katakan saja mereka baru satu setengah tahun kuliah. Menandu pocong buatan dari kain dan karton.
"Sudah, turunkan disini," kata yang didepan sembari melirik ke teman-temannya.
"Bakar sebagai tanda kemanusiaan telah hilang dari para penguasa," si gadis dengan mata bulat dan tangan mengepal itu bicara.
"Maaajuuu satu langkah kawan-kawan!" Suara dari toa berusaha menembus blokade pemegang tameng dan pentungan.
Di tengah massa aksi. Keranda dan ban bekas di bakar. Geram, anak semester entah berapa, menyulut api. Keranda mayat dan ban bekas menjadi pertanda kesiapan raga.
"Siap-siap," kata pemuda yang selalu menjaga gadis di sebelahnya.
"Iya, aku tahu. Sebentar lagi. Pemegang tongkat akan memukuli kita dengan jurus tongkat pemukul anjing. Seakan-akan kita bagai binatang," mahasiswi itu masih mengepal tangannya dan menjawab tanpa melihat wajah teman sebelah.
Kemudian, dia -panggil saja namanya bidadari jalanan- menarik toa dan maju ke depan. Suaranya lantang ke arah gedung yang dikawal para penjaga.
"Hai wakil kami. Kami memilihmu untuk menyuarakan suara kami. Mana janjimu bapak-ibu politisi. Busuk semua!"
Bidadari berusaha membulatkan mata. Sekeras apapun wajah menegang. Tetap saja. Empat sahabatnya tersenyum damai. "Dia anggun dengan jas almamater dan toa di tangannya".
Tiba-tiba, dari tempat yang cukup jauh. Tapi jelas itu sisi belakang kanan aksi massa. Terbang botol plastik berisi setengah air mineral ke arah penjaga bertongkat.
"Kampret, siapa yang lempar?"
"Engga tahu senior. Dari belakang kanan."
"Tarik bidadari. Larikan sekarang!"
Tanpa menjawab, empat sahabat menjemput paksa mahasiswi yang masih lantang berteriak. "Udah! Kata senior kalian lari ke belakang!" Ujar Geram ke temannya itu dengan lirikan sepintas lalu.
"Kawan-kawan mahasiswi, ganti posisi!"
Itu pertanda dari bidadari kepada temannya. Agar mahasiswi yang lain pindah ke barisan belakang. Biar mahasiswa yang menghadapi pentungan.
Seperti biasa. Banyak kisah yang dilalui demonstran. Kejadian yang terus berulang. Para pemegang pentungan menabrak barisan mahasiswa. Gandengan tangan terlepas. Dan beberapa dari mereka jatuh ke aspal.
Dari sebelah kiri, tembakan air, menerobos. Rapat jadi renggang. Ada yang terjatuh. Dan ada yang menghindar. Sedangkan di barisan depan?
"Aduh"
"Jangan"
"Aaahhh"
Suara mereka sahut menyahut tanda sakit. Pentungan dan tongkat menghantam. Teriakan dan raungan mahasiswa seakan nada penguat semangat oknum-oknum itu.
Ya, mereka di latih beladiri. Bantingan, pukulan dan tendangan. Semua latihan untuk menangkap penjahat. Mengamankan NKRI. Tapi mahasiswa? Mereka menerima semua hasil latihan para oknum pemukul.
Duuuuaarrr
Sebuah tembakan dari sebuang senjata menghantam kaki Geram. Laki-laki itu teriak dan menyebut nama Tuhan. Dia terjatuh. Tangannya memegang kaki. Berguling sembari meminta tolong.
"Tooooolooooooongg"
Geram menahan sakit. Matanya mengeluarkan air yang tidak lagi menyejukkan pipi. Darah membahasi celana jeans yang dibeli Geram di salah satu pasar beberapa waktu lalu. Sekarang celana itu bolong.
Teman-teman yang mendengar dan meliat sontak menghampiri Geram. Tapi, tendangan seribu bayangan mengampiri tubuh. Para teman tak bisa menghampiri Geram.
"Taariiiikkk" bidadari berlari dari lokasi aman di bawa pohon rindang. Empat sahabat pun berlari. Mereka tidak ingin gadis semata wayang itu kena pukulan tongkat pemukul anjing.
Paaakk
"Aaahhh" Bidadari menahan sakit. Sepakan bak pemain yang menendang bola menghampiri bahu kirinya. Dia masih saja memeluk Geram yang meringis minta tolong.
"Suuudaahh! Jangan pukul lagi! Sudah. Kami manusia. Bukan binatang" teriakan perempuan itu manjur. Penendang pun jalan menjauh. Tanpa rasa bedoasa. Dan seakan tidak terjadi apa-apa. Dia menghampiri demonstran lain.
Beberapa pengawal berbaju coklat tua menghampiri Geram. Beberapa preman -katanya Intel- turut menghampiri. Bidadari dan Geram di angkut ke sebuah mobil. Melaju meninggalkan massa.
Namanya juga demonstran. Kekuatannya berasal dari mie telur. Kadang puasa. Tubuh mereka tidak kuat mengilak dan melawan pentungan. Akhirnya bubar. Lari. Sebagian masih bertahan. Tetapi dengan jarak yang cukup jauh dari tukang pukul.
"Kita ke rumah sakit dulu," seru kakak senior yang paling banyak berorasi. "Bawa kawan yang luka agar diobati".
"Siap kak" jawab empat sekawan sembari mengarahkan mereka untuk naik angkot menuju RS terdekat.
Di Ibu Kota, beberapa orang berkumpul di gedung besar nan megah. Sebuah meja panjang, ramai oleh asbak, gelas yang berisi kopi, dan beberapa piring dengan gorangan.
"Kawan-kawan, demo oleh adek-adek kita berakhir tragis. Salah satu dari mereka tertembak di kakinya. Kabarnya, kita masih menunggu hasil operasi"
Seorang laki-laki, bertubuh tegap, baju kemeja dan celana hitam. Wajahnya nampak serius. Tapi masih berusaha tetap tenang.
"Biasa tu kawan" balas pemuda yang sedang minum kopi.
"Biasa apanya? Kena tembak maksudmu biasa?"
"Ahhh, itukan demo politis" kelak si kawan.
"Politis?? Mau politis mau engga. Mereka itu juniormu, bro. Kena tembak. Hello. Sadar kau ngomong politis-politis?"
Perdebatan untuk mengambil sikap paska demonstrasi di daerah semakin ramai. Ada yang menyuarakan hak-hak asasi manusia. Lalu berbalas oleh suara Protap Polisi dalam pengamanan aksi. Sindirian perkawanan dan persaudaraan ikut menimpali diskusi.
"Ohh gitu" jawab seorang pengurus besar yang aktif di organisasi pegiat HAM.
Tiba-tiba keramaian menyurut. Beberapa berusaha tenang dengan sesekali meniup asap rokok. Sehingga menjadi lingkaran yang unik dari mulutnya. Sebagian lagi? Sibuk berbisik dan berusaha mengalihkan pembicaraan.
Orang kampung dan kuliah di kampus kecil itu melanjutkan suaranya. "Jika kita besok demo. Lalu cheos. Saya akan lari kesebelahmu. Ku tarik tanganmu. Kemudian ku cari oknum polisi yang mau membuang peluru karetnya dari jarak tembak terdekat."
Pembicara dengan pengetahuan politik nasional itu masih diam. Seperti mencari jawaban yang pas untuk membantah percontohan pada dirinya sendiri.
Anak kampung itu melanjutkan:
"Setelah peluru itu menembus kakimu. Kami akan bertanya padamu. Sakit? Ohh mana yang kena?? Ohh begitu. Kami bawa kamu ke RS. Sudah, sampai disitu. Cemmana kira-kira menurutmu? Masih ngomongin politik nasional?"
Perdebatan masih panjang. Saat malam mulai mendekati waktu sang fajar menyinari bumi. Tiba-tiba sebuah telp masuk.
"Malam kanda"
"Iya dek"
"Terima kasih telah menyuarakan suara kami"
"Engga penting, itu biasa, kalau aku yang terluka saat aksi. Yang lain juga akan membantu"
"Kanda. Kami aksi untuk mengkritik pemerintah. Tidak ada bayaran dan tidak memihak."
Sembari menghisap rokok. Lalu di hembuskan. Penerima telp menjawab.
"Kami tahu kalian berjuang atas apa yang sudah kalian kaji, diskusi sampai menjadi aksi. Kami percaya. Istirahatlah. Mungkin kami diam. Tapi beberapa saudaramu di belahan penjuru nusantara tidak diam. Cepat sembuh ya dek"
"Iya kanda. Saya tidak menerima uang. Saya tidak menjual nama organisasi kanda." Suara di balik telp itu terisak tangis. Dia ikut aksi. Jadi korban. Sekarang dituduh memihak kepentingan kelompok politik.
"Sabar. Bukan itu maksud kandamu yang lain. Nanti mereka akan membantumu."
"Tidak perlu membantuku kanda. Masih ada ayah, ibu dan sahabat disini. Mohon bantu saja kanda-kanda yang lain. Agar saat mereka jadi korban. Kami tidak berpikir seperti mereka memikirkan kami"
Masih menunggu kisah bersambung.
Mantap sekali kanda, sungguh pesannya tersampaikan 👍