Halo stemian, di kesempatan ini saya akan kembali melanjutkan tulisan mengenai konflik gajah dan manusia yang terjadi di Aceh khususnya di Kabupaten Aceh Timur.
Di bagian pertama, saya telah menulis tentang Conservation Response Unit (CRU) Serbajadi, yang memiliki tugas sebagai garda terdepan dalam penanganan satwa liar (gajah). Dengan segala keterbatasan dan masalah yang ada di dalamnya, baik Mahout (pawang gajah) dan empat ekor gajah jinak yang ditempatkan disana terus menjalankan tugasnya dalam rangka penyelesaian konflik gajah dan manusia.
![image]
()
Pada kesempatan ini, saya akan mencoba memberikan sedikit penjelasan mengenai beberapa faktor yang mengakibatkan terjadinya konflik gajah dan manusia. Jika disimpulkan, penyebab utama konflik ini sesungguhnya terjadi karena ‘Deforestasi’. Secara harfiah, Deforestasi memiliki arti penghilangan atau pengalihan fungsi hutan seperti penebangan kayu di hutan, pembukaan lahan atau kebun baru, pembangunan jalan, pembangunan pemukiman penduduk dan sebagainya.
Pengalihan fungsi hutan yang menjadi habitat gajah mengakibatkan gajah kebingungan karena habitatnya yang telah dirusak dan hilang. Di tengah kebingungan tersebut, gajah juga merasa terusik dengan kehadiran para penjarah hutan illegal yang beraksi di hutan dan seolah terjebak diantaranya. Alhasil, gajah pun dengan terpaksa, mau tidak mau akhirnya turun ke pemukiman dan lahan penduduk.
Aceh Timur memiliki kawasan hutan yang sangat luas. Aceh Timur juga masuk kedalam Kawasan Ekosistem Leuser (KEL), salah satu paru-paru alam terbaik di dunia. Hal itu membuat tingkat Deforestasi sangat tinggi dan sering terjadi di Aceh Timur sehingga sangat masuk akal jika konflik gajah dan manusia sering terjadi di daerah ini.
Terlebih, hutan Aceh merupakan habitat dan surga terbaik bagi gajah Sumatera yang tersisa saat ini di kisaran angka 1.700 ekor dan hampir sebagiannya berada di hutan Aceh. Hutan Aceh yang berada di kawasan KEL memiliki total luas sekitar 1.800.000 hektar dan 235.000 hektar diantaranya berada di Aceh Timur. Relevan memang, karena menurut data yang dikeluarkan oleh Forum Konservasi Leuser (FKL), untuk tahun 2016 saja ada sekitar 1.870 hektar wilayah hutan Aceh Timur yang hilang.
Oke, setelah saya menulis sedikit pandangan yang disertai beberapa fakta diatas, sudahkah anda mengerti mengapa konflik gajah dan manusia sering terjadi di Aceh khususnya di Aceh Timur? Tidak perlu menyalahkan siapapun, karena sesungguhnya itu tidak akan mampu menyelesaikan masalah yang saat ini terjadi.
BERSAMBUNG
ENGLISH
Hello stemian, on this occasion I will go back to the paper about the elephant and human conflict that occurred in Aceh, especially in Aceh Timur district.
In the first section, I have written about the Conservation Response Unit (CRU) Serbajadi, which has the task of being the front guard in the handling of wildlife (elephants). With all the limitations and problems in it, both Mahout (Elephant Elephant) and four tame elephants placed there continue to perform their duties in the context of settling the elephant and human conflict.
On this occasion, I will try to give a little explanation of some factors that lead to elephant and human conflict. If summed up, the main cause of this conflict actually occurs because of 'Deforestation'. Literally, Deforestation means the removal or diversion of forest functions such as logging in forests, clearing of land or new gardens, road construction, settlement construction and so on.
The transfer of forest functions that become elephant habitat causes elephants to be confused because of their destroyed and lost habitat. Amidst the confusion, the elephants are also disturbed by the presence of illegal forest raiders who act in the forest and seem to be trapped in between.
As a result, the elephant was forced to, eventually inevitably down to settlements and land residents. Aceh Timur has a vast forest area. Aceh Timur also enters the Leuser Ecosystem (KEL), one of the best natural lungs in the world. It makes Deforestation very high and often occurs in Aceh Timur so it makes sense if elephant and human conflicts occur frequently in this area.
Moreover, Aceh forest is the best habitat and haven for the remaining Sumatran elephant in the range of 1.700 birds and almost located in the KEL area has a total area of approximately 1.800.000 hectares and 235.000 hectares are located in Aceh Timur.
Relevant indeed, because according to data released by the Leuser Conservation Forum (FKL), for the year 2016 alone there are about 1.870 hectares of lost Aceh Timur forest.
Okay, after I write a little view that accompanied some of the above facts, have you understand why elephant and human conflict often occur in Aceh, especially in Aceh Timur?
No need to blame anyone, because in fact it will not be able to solve the current problem.
Please votes, comment and resteem this post. Thank you.
CONTINUED
By: @zamzamiali
Mantap @zamzamiali
Terima kasih kanda @ilyasismail atas kunjungannya. Semoga kita selalu diberikan kesehatan dan kekuatan untuk meraih kesuksesan. Amin.
Sangat menarik bg @zamzamiali
Terima kasih sudah berkunjung bg @munandar. Semoga sukses selalu ya