Lahir tahun 1920, ketika negara ini belum merdeka membuatnya sama sekali tak dididik untuk bisa baca tulis huruf latin. Sekedar mengenal tulisan arab-melayu, beliau sukses dengan bisnis tokonya.
Sampai pada sekitar tahun 80-an, ketika usianya sudah 60 sekian, mulai banyak toko serupa yang menyediakan nota. Beliau selalu memanggil anak-mantunya ketika pelanggan di tokonya menginginkan Nota juga. Kemudian terpikir olehnya jika ia ingin juga bisa baca tulis latin. Ia ke balai desa ikut kelas buta huruf, tapi tak bertahan. Orang-orang bilang padanya tak apa tak bisa baca tulis di usia segitu, udah susah. Kesal, beliau bertambah semangat kemudian meminta anaknya mengajari. Perlahan, sulit, tapi keras kepala tak mau mendengar pribahasa "belajar di waktu tua seperti menulis di atas air,".
.
Surat pertama dengan tulisan tangannya sendiri menggunakan abjad latin ia tujukan untuk anaknya, meminta dikoreksi. Anaknya tersenyum, ia bangga. "Jadi, kata siapa orang tua ga bisa belajar? Kata siapa kaya nulis di atas batu?," Katanya setiap kali berada di ujung pengakhir kisahnya. "Yang penting harus ingat! Kalau dimana ada kemauan, di situ pasti ada jalan," lanjutnya.
Ini adalah kisah yang beliau ceritakan padaku tidak sekali dua kali. Ketika duduk di toko sambil menyaksikan mobil lewat di jalanan, ketika menunggu ku selesai menyalin tulisan tangannya dengan tulisan yang lebih besar agar bisa dibaca mata rabunnya ketika berusia 90an, ketika sekedar ingin bernostalgia mengingat perjuangan, atau ketika menasihatiku untuk terus bergerak maju tanpa pantang mundur seperti ia dulu.
Wanita itu biasa kupanggil Jidah, dia adalah nenekku. Suatu hari, dia berkata padaku, "Kalau kamu mau sekolah terus, ga papa. Nanti Jidah tanggung setinggi-tinginya juga. Asal syaratnya satu, jangan pernah main cowok!". Sayang, dia bahkan tidak sempat tahu kalau akhirnya aku bisa kuliah.
Hello, You just received an upvote via the
Steemit Information Browser Bot
Automatically, vote, follow and comment on posts in your favourite tag.