Islam dalam melihat kualitas manusia bukan semata-mata dari jumlah penghasilan yang diperoleh pada setiap bulan, melainkan dari akhlak yang ditampakkan sehari-hari. Orang yang berakhlak mulia akan dipandang lebih terhormat dan dianggap berkualitas secara kemanusiaan dari pada pejabat tinggi yang sehari-hari menyimpangkan uang rakyat untuk kepentingan dirinya sendiri.
Mencari rezeki dengan cara menjual tenaga ditempat-tempat tertentu disebut buruh. Maka muncullah istilah buruh pabrik, buruh tani, buruh perkebunan, dan seterusnya. Ditempat lain penjual tenaga seperti itu disebut kuli. Maka kemudian juga muncul istilah kuli pasar, kuli kapal, kuli bangunan dan lain-lain. Istilah-istilah lain serupa itu kiranya masih ada, sesuai kebiasaan masyarakat setempat menyebutnya.
Pekerjaan sebagai buruh atau kuli, bagi siapa pun bukan pilihan ideal. Mereka bekerja ditempat itu oleh karena tidak ada pilihan lain yang bisa diperoleh, baik itu pekerjaan yang bergengsi atau berpenghasilan tinggi. Bekerja sebagai buruh biasa tidak memerlukan persyaratan pendidikan yang tinggi, hanya dibutuhkan keterampilan dari hasil latihan atau pengalaman. Oleh karena itu, semua orang bisa menjadi buruh asalkan mau bekerja keras dengan imbalan yang biasanya tidak terlalu tinggi.
Menyangkut persoalan gaji dan kesejahteraan buruh yang tidak terlalu tinggi itu, seringkali memunculkan persoalan yang tidak mudah diselesaikan. Demontrasi, unjuk rasa dan pemogokan yang dilakukan oleh buruh adalah cara yang bisa mereka lakukan untuk menuntut haknya, agar gajinya dinaikkan dan diberi tunjangan lainnya. Konflik antara buruh dan majikan, terjadi karena dipicu oleh upah yang terbatas.
Sebaliknya, majikan tidak selalu mudah menaikkan upah Karena dia harus menjaga keberlangsungan perusahaan. Upah buruh tidak dinaikkan jika hal itu mengganggu kehidupan perusahaan. Atau, tuntutan buruh tidak akan dikabulkan manakala akan merugikan perusahaan. Namun untuk melindungi hak buruh, pemerintah menentukan upah minimal di daerahnya masing-masing. Itulah sebabnya, kadang kala kenaikan upah buruh juga ditujukan kepada pemerintah.
Posisi buruh ditengah-tengah masyarakat dipandang rendah, namun masih lebih tinggi daripada pengangguran. Orang menganggur berkonotasi sebagai pemalas, tidak mau beusaha, atau karena tidak ada orang lagi yang mau menggunakan tenaganya, sementara yang bersangkutan belum bisa mandiri. Oleh karena itu, status sebagai buruh adalah pilihan daripada menganggur. Sebenarnya rendah gaji itulah yang menjadikan buruh dipandang tidak bergengsi. Pandangan seperti itu sebagai konsekuensi dari masyarakat yang melihat seseorang hanya dari harta kekayaan yang dimilikinya.
Islam dalam melihat seseorang bukan dari jenis pekerjaan, jumlah penghasilan, tinggi atau rendahnya jabatan, melainkan dari kualitas keimanan, ketakwaan dan akhlaknya. Apa pun pekerjaan dan berapa pun penghasilannya, asalkan halal, akan dipandang mulia manakala seseorang itu ampuh menjaga keimanan, ketakwaan dan akhlaknya. Seseorang pejabat yang berpendidikan tinggi tapi tidak amanah dan melakukan korupsi misalnya, akan dipandang jauh lebih rendah dari pada buruh tani yang berpendapatan seadanya.
Islam dalam melihat kualitas manusia bukan semata-mata dari jumlah penghasilan yang diperoleh pada setiap bulan, melainkan dari akhlak yang ditampakkan sehari-hari. Orang yang berakhlak mulia akan dipandang lebih terhormat dan dianggap berkualitas secara kemanusiaan dari pada pejabat tinggi yang sehari-hari menyimpangkan uang rakyat untuk kepentingan dirinya sendiri.
Menurut pandangan Islam, bekerja sebagai buruh dan berpenghasilan rendah, justru lebih beekualitas, dibandingakan menjadi pejabat atau majikan yang tidak menunaikan amanah yang diembannya. Namun jika bisa memilih, maka pilihan ideal itu adalah menjadi pejabat atau majikanyang adil, amanah dan berakhlakulkarimah. (sumber : Masyarakat Tanpa Rangking)
Artikel yang bermanfaat .... Thanks for sharing @samsulrizall
Terimong geunaseh karena ka neusinggah inoe @jasmadiyunus