Kalau ada yang bertanya, apa yang paling berkesan tentang Bireuen bagi saya? Jawabannya ialah rumah almarhum Pak Saifannur, pengusaha konstruksi paling masyur di Bireuen yang terpilih menjadi bupati dan tutup usia awal tahun ini. Rumahnya yang mirip masjid itu sudah menarik perhatian saya sejak masih bocah. Dulu, setiap kali pulang ke tempat nenek di Teupin Raya dari Aceh Timur dengan mobil BE, saya pasti akan berdiri setiap kali sampai di kawasan rumah Pak Saifannur yang megah. Waktu itu belum tahu kalau itu adalah rumah. Alhamdulillah, Allah beri kesempatan untuk bisa bertemu dengan pemiliknya beberapa bulan sebelum beliau berpulang.
Dan orang yang diceritakan dalam biografi ini adalah adiknya Pak Saifannur: Mukhlis Takabeya. Juga seorang pengusaha konstruksi sukses dengan aset miliaran rupiah.
Suatu kebahagiaan tersendiri bagi saya dipercayakan menjadi penyunting buku ini. Itu artinya, selain penulisnya, saya adalah orang kedua yang mengetahui seluk-beluk cerita kehidupannya yang berkelok-kelok seperti Krueng Peusangan.
Dari sekian bab cerita yang ada di dalam buku ini, ada beberapa bagian yang menjadi favorit saya ketika menyuntingnya. Bahkan, ada satu bagian yang membuat saya sampai menangis saking menghayati alur kisah kehidupannya. Ketika Mukhlis dewasa menatap jauh ke sungai, melihat kembali masa kecilnya yang sedang berlomba lari dengan matahari yang akan tenggelam saat pulang dari sekolah. Atau saat ia mengejar-ngejar temannya yang mengayuh sepeda sambil berlari dengan napas tersengal-sengal. Mukhlis tahu kaki kecilnya lelah, tetapi ia tetap berlari agar tak sendirian di perjalanan pulang dari sekolahnya. Kisah satir tentang kehidupan seorang anak yang berasal dari keluarga sederhana. Lazim kita lihat. Bedanya, Mukhlis berhasil mengalahkan kesatiran itu.
Bagian lain yaitu ketika Mukhlis nekat "mencuri" aspal demi memperbaiki jalan di Tiro, Pidie saat situasi Aceh sedang panas-panasnya. Saya pikir, hanya orang-orang "gila" saja yang mau bertaruh nyawa demi sesuatu yang diyakininya benar.
Menyunting buku ini memberikan energi positif yang luar biasa bagi saya. Salah satu kunci sukses yang sudah lama saya pahami ialah, orang sukses melakukan hal-hal berbeda yang dilakukan oleh orang kebanyakan. Mukhlis melakukan itu. Banyak alasan yang membuatnya bisa saja berhenti sekolah, tetapi ia selalu memilih untuk melanjutkan. Banyak alasan pula untuk ia bermalas-malasan, tetapi ia memilih untuk menjadi anak muda yang rajin. Termasuk menjadi pengepul kulit lembu saat makmeugang tiba. Ketika ia juga punya alasan agar bisa selalu bersama abangnya yang notabenenya adalah seorang pengusaha sukses, Mukhlis malah membuat keputusan untuk mengibarkan benderanya sendiri: Takabeya Grup.
Kita perlu banyak membaca biografi orang-orang sukses, tetapi buku ini menurut saya istimewa. Bukan karena saya yang menyuntingnya, melainkan Mukhlis adalah orang sukses dari "kalangan" kita sendiri (baca: Aceh). Ia hidup di tengah-tengah kita. Gerak-geriknya, tingkah lakunya, kerja kerasnya, bisa kita lihat dari dekat. Tanpa terhalang jarak yang begitu jauh. Semakin banyak orang-orang seperti Mukhlis yang bersedia kisah hidupnya ditulis, akan semakin bertebaranlah aura positif di tanah Aceh ini. Lebih dari itu, Mukhlis sudah meninggalkan jejak yang akan selalu membuatnya "ada".[]