“When you’re first thinking through an idea, it’s important not to get bogged down in complexity. Thinking simply and clearly is hard to do.”
Richard Branson – Virgin Group
From the time that goods and services began to be traded in early civilizations, people have been thinking about Business. The emergence of specialized producers and the use of money as a means of exchange were methods by which individuals and societies could, in modern terms, gain a “business edge.” The ancient Egyptians, the Mayans, the Greeks, and the Romans all knew that wealth creation through the mechanism of commerce was fundamental to the acquisition of power, and formed the base on which civilization could prosper.
Sejak awal barang dan jasa diperdagangkan di awal peradaban, manusia sudah mulai berpikir tentang bisnis. Kelahiran produsen spesialis dan penggunaan uang sebagai alat tukar adalah metode baik bagi individu maupun masyarakat untuk meraih “keunggulan bisnis”. Bangsa Mesir kuno, Bangsa Maya, Bangsa Yunani dan Bangsa Romawi semua mengetahui bahwa kekayaan yang didapatkan dari menggunakan mekanisme perdagangan adalah hal yang fundamental untuk mendapatkan kekuasaan, dan membentuk dasar bagi peradaban agar bisa sejahtera.
The lessons of the early traders resonate even today. Specialism revealed the benefits of economies of scale—that production costs fall as more items are produced. Money gave rise to the concept of “value added”—selling an item for more than it cost to produce. Even when barter was the norm, producers still knew it was advantageous to lower costs and raise the value of goods. Today’s companies may use different technologies and trade on a global scale, but the essence of business has changed little in millennia.
Pelajaran bagi para pedagang jaman awal masih berlaku bahkan hingga zaman sekarang. Spesialisasi menunjukkan skala keunggulan ekonomi (semakin banyak barang yang diproduksi, maka harga produksi semakin rendah). Uang memunculkan konsep “nilai tambah” dimana ini berarti menjual item lebih tinggi dari harga produksinya. Bahkan saat zaman barter, produsen sudah mengetahui bahwa akan sangat menguntungkan untuk menurunkan arga dan meningkatkan “value” nilai dari barang tersebut. Perusahaan masa kini menggunakan teknologi yang berbeda dan berdagang pada skala global, namun esensi dari bisnis tidak banyak berubah selama 1000 tahun.
An era of change
However, the study of business as an activity in its own right emerged relatively recently. The terms “manager” and “management” did not appear in the English language until the late 16th century. In his 1977 text The Visible Hand, Dr. Alfred Chandler divided business history into two periods: pre-1850 and post-1850. Before 1850 local, family-owned firms dominated the business environment. With commerce operating on a relatively small scale, little thought was given to the wider disciplines of business.
Akan tetapi, studi bisnis yang dipandang sebagai sebuah aktivitas tersendiri baru muncul belakangan ini. Kosakata “manajer” dan “manajemen” belum dikenal pada Bahasa Inggris hingga akhir abad 16. Pada bukunyaThe Visible Hand” karya Dr. Alfred Chandler pada tahun 1977, ia membagi sejarah bisnis menjadi 2 periode: pra 1980 dan post-1850. Sebelum 1850 firma-firma yang dimiliki oleh keluarga (Lokal) mendominasi dunia bisnis. Penggunaan periklanan skala kecil, memberikan sedikit pandangan terhadap disiplin ilmu bisnis yang lebih luas.
The growth of the railroads in the mid-1800s, followed by the Industrial Revolution, enabled businesses to grow beyond the immediate gaze of friends or family, and outside the immediate locale. To prosper in this new (and increasingly international) environment businesses needed different, and more rigorous, processes and structures. The geographic scope and ever-growing size of these evolving businesses required new levels of coordination and communication—in short, businesses needed management.
Perkembangan jalur perkereta apian pada pertengahan 1800an, diikuti dengan Revolusi Industri, mejadikan bisnis tumbuh melebihi lingkaran keluarga dan teman, terlebih lagi penduduk lokal. Agar bisa sukses di dunia bisnis model baru ini, dibutuhkan proses dan struktur yang lebih teliti dan berbeda. Dipandang dari segi geografis dan ukuran pertumbuhannya, bisnis ini membutuhkan level koordinasi dan komunikasi yang baru. Singkatnya, bisnis membutuhkan manajemen.
Managing production
The initial focus of the new breed of manager was on production. As manufacturing moved from individual craftsmen to machinery, and as ever-greater scale was required, theorists such as Henri Fayol examined ever-more-efficient ways of operating. The theories of Scientific Management, chiefly formulated by Frederick Taylor, suggested that there was “one best way” to perform a task. Businesses were organized by precise routines, and the role of the worker was simply to supervise and “feed” machinery, as though they were part of it. With the advent of production lines in the early 1900s, business was characterized by standardization and mass production.
Fokus awal dari manajer jenis baru ini adalah pada segi produksi. Seiring perubahan manufaktur dari individu menjadi mesin-mesin, pertambahan skala usaha dibutuhkan. Ahli teori seperti Henri Fayol bahkan mempelajari cara operasional yang lebih efisien. Teori-teori Scientific Management, yang dibuat oleh Frederick Taylor, mengusulkan ada satu “cara terbaik” untuk melakukan sebuah kerja. Bisnis dilakukan secara terorganisir dengan rutinitas yang lebih pasti, dan peran dari pekerja adalah untuk mensupervisi mesin-mesin tersebut, seolah-olah mereka adalah bagian dari mesin-mesin tersebut. Dengan adanya lini produksi pada awal tahun 1900an, karakter bisnis dilihat dari standarisasi dan juga produksi secara massal.
While Henry Ford’s Model T car is seen as a major accomplishment of industrialization, Ford also remarked “why is it every time I ask for a pair of hands, they come with a brain attached?” Output may have increased, but so too did conflict between management and staff. Working conditions were poor and businesses ignored the sociological context of work—productivity mattered more than people.
Saat mobil Model T milik Henry Ford adalah pencapaian penting dalam dunia industrialisasi, Ford juga menekankan “Kenapa setiap kali aku meminta sepasang tangan, [mereka] datang dengan otak juga?” Keluaran yang dihasilkan bisa jadi meningkat, namun begitu juga dengan konflik antara manajemen dengan staf. Kondisi kerja yang buruk dan bisnis mengesampingkan konteks sosial dari pekerjaan ( produktivitas lebih penting daripada manusia).
Studying people
In the 1920s a new influence on business thinking emerged - the Human Relations Movement of behavioral studies. Through the work of psychologists Elton Mayo and Abraham Maslow, businesses began to recognize the value of human relations. Workers were no longer seen as simply “cogs in the machine,” but as individuals with unique needs. Managers still focused on efficiency, but realized that workers were more productive when their social and emotional needs were taken care of. For the first time, job design, workplace environments, teamwork, remuneration, and nonfinancial benefits were all considered important to staff motivation.
Pada tahun 1920an, pengaruh baru pada pemikiran bisnis muncul, studi perilaku Human Relation Movement (Gerakan Hubungan Manusia). Melalui kerja psikolog seperti Elton Mayo dan Abraham Maslow, dunia bisnis mulai mengenali nilai dari pentingnya hubungan antar manusia. Para pekerja tidak lagi hanya dilihat sebagai “bagian dari mesin”, tetapi sebagai individu yang dengan kebutuhan yang unik. Para manejer masih fokus kepada efisiensi, namun kemudian menyadari bahwa pekerja jadi lebih produktif saat kebutuhan sosial dan emosional mereka terpenuhi. Untuk pertama kalinya, desain pekerjaan, lingkungan kerja, kerjasama tim, remunerasi dan keuntungan-keuntungan nonfinansial dianggap penting bagi motivasi pekerja.
In the period following World War II, business practice shifted again. Wartime innovation had yielded significant technological advances that could be applied to commerce. Managers began to utilize quantitative analysis, and were able to make use of computers to help solve operational problems. Human relations were not forgotten, but in management thinking, measurability returned to the fore.
Periode setelah Perang Dunia II, praktik bisnis mengalami perubahan lagi. Inovasi pada masa perang menghasilkan kemajuan teknologi yang signifikan yang dapat diaplikasikan pada dunia perdagangan. Manajer mulai menggunakan analisis kuantitatif, dan menggunakan komputer untuk menyelesaikan masalah operasional. Hubungan antar manusia tidak dilupakan, namun pada pemikiran manajemen, keterukuran lebih diutamakan.
Global brands
The postwar period saw the growth of multinationals and conglomerates -- businesses with multiple and diverse interests across the globe. The war had made the world seem smaller, and had paved the way for the global brand. These newly emerging global brands grew as a result of a media revolution - television, magazines, and newspapers gave businesses the means to reach a mass audience. Businesses had always used advertising to inform customers about products and to persuade them to buy, but mass media provided the platform for a new, and much broader, field - marketing. In the 1940s US advertising executive Rosser Reeves promoted the value of a Unique Selling Proposition. By the 1960s, marketing methods had shifted from simply telling customers about products to listening to what customers wanted, and adapting products and services to suit that.
Periode paska perang menumbuhkan konglomerat dan perusahaan multi-nasional (perusahaan dengan kepentingan bervariasi pada skala global). Perang membuat dunia ini terlihat lebih kecil, dan telah membuka jalan bagi kehadiran merek-merek global. Merek-merek global ini tumbuh karena revolusi media – televisi, majalah, koran – dan memberikan jalan bagi bisnis sarana untuk meraih atensi secara massal. Bisnis sudah sejak lama menggunakan periklanan untuk memberitahu pelanggan tenang produk yang mereke miliki dan membujuk mereka untuk membelinya, namun media massa menyediakan platform marketing yang baru dan dengan jangkauan yang lebih luas – pemasaran. Pada tahun 1940an, Rosser Reeves seorang Eksekutif Periklanan mempromosikan nilai dari Unique Selling Proposition. Dan pada tahun 1960an, metode pemasaran sudah berubah dari sekedar hanya memberitahukan pelanggan tentang produk, jadi mendengarkan apa yang diinginkan oleh pelanggan. Pada akhirnya produk dan jasa beradaptasi untuk menyesuaikan hal itu.
Richard Bronson - image from virgin.com
Initially, marketing had its critics. In the early 1960s hype about the product became more important than quality, and customers grew dissatisfied with empty claims. This, and competition from Japanese manufacturers, had Western companies embracing a new form of business thinking: Total Quality Management (TQM) and Zero Defects management. Guided by management theorists, such as W. Edwards Demming and Philip B. Crosby, quality was seen as the responsibility of the entire company, not just those on the production line. Combining Human Relations thinking and the customer-focused approach of marketing, many companies adopted the Japanese philosophy of kaizen: “continuous improvement of everything, by everyone.” Staff at all levels was tasked with improving processes and products through “quality circles.” While TQM is no longer the buzzword it once was, quality remains important. The modern iteration of TQM is Six Sigma, an approach to process improvement that was developed by Motorola in 1986 and adapted by Jack Welch during his time as CEO of General Electric. ...
Pada awal permulaannya, pemasaran memiliki kritiknya sendiri. Pada awal tahun 1960an, kehebohan tentang produk menjadi lebih penting dibandingkan dengan kualitasnya, dan pelanggan jadi tidak puas dengan klaim palsu yang diberikan. Hal tersebut dan ditambah dengan kompetisi dari manufaktur dari Jepang, membuat perusahaan dunia barat membuat benutk baru dari pemikiran bisnis mereka: Total Quality Manajement (TQM) dan Zero Defect Management. Dipandu oleh pakar teori manajemen seperti W. Edwards Demming dan Phillip B. Crosby, kualitas produk adalah tanggung jawab perusahaan secara keseluruhan, bukan hanya tanggung jawab lini produksi. Mengkombinasikan pemikiran tentang Hubungan Antar Manusia dan pendekatan pemasaran yang fokus pada pelanggan, banyak perusahaan dunia barat kemudian mengadopsi filosifi Kaizen Jepang: “pengembangan berkelanjutan tentang semuanya, oleh semua orang.” Staff dari seluruh tingkatan ditugaskan untuk meningkatkan proses dan produk melalui “lingkungan kualitas”. Walaupun TQM (Manajemen Kualitas Total) sudah tidak sepopuler pada zamannya, kualitas tetap terpenting. Pelafalan terbaru TQM adalah Six Sigma, pendekatan peningkatan proses yang dikembangkan oleh Motorola pada tahun 1986 dan diadaptasi oleh Jack Welch pada masanya sebagai CEO General Electric ...
To be continued to: Second Part