3 Oktober 1981 silam, ‘Singa’ kecil lahir di sebuah kota terbesar ke-3 di Swedia. Malmö, kota dengan hawa yang selalu hangat tak peduli pada musim, dingin atau panas. Kota yang berpenghuni hanya sepersepuluh penduduk Aceh. Namun, kandang singa tetaplah diisi singa.
Akhir 90-an, singa remaja mulai mengasah taring pada sebuah klub kota kelahirannya, Malmö FF. Ia berlatih dengan keras demi ambisi menjadi pesepakbola sejati. Berkah baginya, sebab tak berapa lama berada di sana, nun di seberang, pencari bakat dari negeri Tulip mengendus potensinya. Dengan bekal yang belum seberapa besar untuk ukuran pemain sepakbola, ia pun terbang sejauh 820 km dari Malmö demi membuka peluang menajamkan taring menuju Amsterdam. Ajax yang notabene merupakan satu dari sekian banyak klub yang memiliki akademi klub terbaik di Eropa mau pun dunia membangun mimpi besar seorang Zlatan Ibrahimović.
Melalui asahan Ronald Koeman di Amsterdam, taringnya mulai tampak menjulur, menjadikannya predator buas di depan gawang sebagai striker. Lagi-lagi, aroma buasnya tercium oleh pencari bakat dari negeri Eropa lainnya. Ya, ia hanya bertahan beberapa saat saja di Amsterdam layaknya di kota kelahirannya. Kali ini ia menuju negeri Pizza, Italia.
Nilai transfer £12 juta amat besar pada tahun 2004 mengingat Eredevise hanya liga kasta kedua Eropa, yang punya nilai jual siaran rata-rata. Namun, di Serie A, jumlah tersebut hanya setahi kuku jari mengingat Serie A amat tersohor saat itu. Dan, Juventus sangat memanfaatkan talenta Singa Remaja hingga mereka meraih gelar scudetto walau akhirnya mesti diserahkan ke Internazionale Milan akibat tersangkut calciopoli. Akibatnya, Juventus mesti turun kasta ke Serie B.
Jungkir Balik Nasib
Naluri singa memang tak pernah mau berada di bawah. Ibrahimović memutuskan bergabung ke Internazionale Milan pada tahun 2006 yang meraih scudetto iseng-iseng berhadiah dari Juventus. Di sana, ia meraih scudetto murni 3 tahun berturut-turut yang kemudian semakin melambungkan namanya di dunia sepakbola.
Namun, seiring rasa penasarannya terhadap gelar bergengsi di Eropa sekelas Liga Champions, ia eksodus lagi. Kali ini, negeri Matador menjadi destinasi lanjutan karirnya. Ia bergabung ke FC Barcelona dengan nilai transfer £56,5 juta yang menjadikannya pemain sepak bola termahal kedua sepanjang sejarah saat itu. Transfer musim panas 2009 yang kemudian sangat disesalinya. Bagaimana tidak, dengan catatan panjang Barcelona sebagai langganan final Liga Champions, ia berharap mampu menuntaskan rasa penasarannya.
Harapannya jungkir-balik. Ingat saja, pertengkaran dengan Guardiola yang menangani klub saat itu, ditambah gelar yang hanyut justru diraih oleh Internazionale Milan, mantan klub yang ditinggalkannya tepat setahun lalu. Miris, di semifinal Internazionale Milan mengandaskan Barcelona dengan agregat 3-2. Di depan publik San Siro yang sempat mengelu-elukan namanya, Barcelona terkapar dengan skor 3-1 meski sebenarnya mereka mampu menang di Camp Nou 1-0. Ibrahimović sakit kepala! Bayangkan saat ia berada di kamar mandi dengan bathtube seluas ranjang tidurmu, Ibrahimović koprol berharap kepalanya kembali jernih. Maka, bayangkan saja itu benar-benar terjadi padanya.
Dengan kepala yang mulai sedikit jernih, ia melupakan pertemuan yang terjadi secara biadab dengan Guardiola. Petualangannya mengarah kembalike Serie A menuju AC Milan pada tahun 2010. Ia dijadikan sebagai pemain pinjaman yang kemudian dibeli secara permanen dengan nilai transfer £24 juta pada tahun 2011. AC Milan hanya memilikinya semusim saja.
Juli 2012, ia bergabung ke Paris Saint-Germain yang mulai membangun kekuatan baru di sepakbola Eropa. Nilai transfer £15,7 juta saat itu dirasa sangat kecil mengingat kontribusinya menghadirkan gelar yang sudah lama dinantikan publik Paris sejak 1986 dan 1994. Tak tanggung-tanggung, 4 gelar liga dalam 4 tahun secara beruntun membuat Paris gemerlap. Menara Eiffel malam hari bermandikan bintang...
(bersambung)