Kisah ini dimulai saat aku masih kecil, aku adalah anak ibuku satu-satunya, kami hidup di keluarga yang sangat miskin, bahkan terkadang untuk makan sehari-hari saja susah. Tetapi, ibuku suka berbohong padaku. Suatu ketika kami memiliki beras untuk makan, aku dan ibuku makan, melihatku makan dengan lahap ibuku memindahkan nasi dalam piringnya ke piringku, dan berkata “Makanlah, nak. Ibu tidak lapar”. Ini kebohongan pertama Ibuku.
Ketika aku sudah sedikit besar, ibuku pergi memancing di sungai tidak jauh dari rumah, sepulangnya membawa dua ekor ikan dan dimasak, kamipun makan bersama, aku makan ikan tetapi ibuku hanya makan sisa-sisa daging ikan yang ada di tulang dan kepala ikan. Hatiku tersentuh, akupun memberikan ikanku pada ibuku, tapi ibuku tidak mau dan mengatakan, “Nak, apa kamu tidak tahu kalau ibu tidak suka ikan?”. Ini kebohongan kedua ibuku.
Ketika aku sudah besar dan harus masuk sekolah, ibuku tidak punya biaya yang cukup. Ibuku memutuskan untuk menjual pakaian keliling dari rumah ke rumah. Sampai suatu malam yang dingin, ditemani hujan deras, ibuku belum pulang.
Akupun mencarinya di jalanan. Dari kejauhan aku melihatnya membawa dagangan sambil berjalan tergopoh-gopoh, akupun memanggilnya dan mengajaknya pulang karena malam sudah larut dan dingin, ibuku hanya tersenyum dan berkata, “Ibu tidak capek, nak”. Ini kebohongan ketiga ibuku.
Suatu hari ketika aku ujian di sekolah, ibuku memaksakan dirinya untuk menemaniku ujian. Aku di ruangan dan ibuku menunggu di luar sekolah di tengah terik matahari. Ketika aku keluar ujian, ibuku menyambutku dengan segelas jus yang dibelinya. Aku pun meminumnya dengan nikmat saking hausnya karena panas. Seketika aku melihat wajah ibuku penuh keringat, akupun memberikan sisa jus itu kepadanya, dengan senyum dia berkata, “ Habiskan minumannya, nak. Ibu tidak haus”. Ini kebohongan keempat ibuku.
Setelah ayahku meninggal, ibuku memilih hidup sebagai janda. Meskipun banyak orang menyuruh ibuku menikah lagi, supaya ada yang membiayai hidup kami, apalagi ibuku masih muda, tetapi ibuku selalu menolak dan mengatakan, “Aku tidak butuh cinta siapapun!”. Ini kebohongan kelima ibuku.
Setelah aku lulus dari kuliah, akupun mendapatkan pekerjaan. Ku kira inilah saatnya ibuku istirahat dan aku yang akan membiayai hidup kami. Kondisi ibuku juga tidak seperti dulu, sekarang beliau sudah tua, pekerjaannya sehari-hari menggelar lapak menjual sayur-sayuran di pasar. Ketika beliau menolak untuk istirahat dan memilih tetap bekerja, aku sisakan setengah gajiku untuknya, tapi ibuku menolak dan berkata, “Tabung saja uangmu, Nak. Ibu punya uang yang cukup”. Ini kebohongan keenam ibuku.
Sambil bekerja, aku meneruskan kuliahku, setelah aku lulus gajikupun bertambah. Perusahaan tempatku bekerja mempercayaiku untuk memimpin cabang perusahaan kami di Eropa, akupun sangat bahagia. Aku berharap ini adalah awal kehidupan baruku. Setelah beberapa waktu aku di Eropa, akupun mengajak ibuku untuk tinggal bersamaku di Eropa, tetapi ibuku menolak dan tidak mau merepotkanku, “Nak, ibu tidak biasa dengan kehidupan mewah”. Ini kebohongan ketujuh ibuku.
Kini ibuku telah sepuh, ibuku terkena kanker, seharusnya aku berada disampingnya dan merawatnya, tapi apa boleh buat ruang memisahkan kami. Akhirnya aku meninggalkan pekerjaanku dan pulang melihat ibuku. Sampai di rumah, aku melihat ibuku di atas tempat tidur setelah menjalani operasi. Ketika melihatku datang, ibuku berusaha tersenyum dan menunjukkan kekuatannya di tengah kerapuhan badannya, tetapi ibuku sudah sangat lelah dengan kehidupan dunia.
Melihat kondisi ibuku, hatiku menjerit terbakar, air matapun tak mampu terbendung. Tetapi ibuku menghiburku dan berkata, “Tidak usah menangis, Nak. Ibu baik-baik saja, ibu tidak merasa sakit!”. Ini adalah kebohongan ke delapan ibuku!
Setelah mengatakan itu, ibuku menutup kedua matanya penuh kedamaian dan tidak pernah membukanya kembali untuk selamanya.
Buat semua yang masih memiliki ibu, jagalah nikmat itu sebelum hilang. Buat yang tidak memiliki ibunya lagi, ingatlah selalu mereka dalam doamu….Selamat Hari Ibu buat semua ibu Indonesia. (Dr. Musthafa Aqqad).