Saya, Totong, Yunus, Ginta, Abu Bakar, Benyamin, Ilyas, Pak Maryo, dan Dedi telah berangkat ke Kota Malang untuk berkunjung pada saudara-saudara di sana. Sebelum berangkat ke kota tersebut, kami mampir terlebih dahulu di kota Jogjakarta selama 20 hari. Awalnya, kami berjumlah 16 orang, namun delapan orang telah kembali setelah 20 hari lantaran kehabisan bekal dalam perjalanan.
Sesampainya di Kota Malang, dikarenakan bekal kami sudah menipis, kamipun mulai mengencangkan ikat pinggang mengingat jangka waktu untuk kembali ke kota asal masih cukup lama. Makan seadanya dan memakai nampan agar terlihat banyak serta dapat merasakan semua lauk-pauk hari itu. Hampir sepuluh hari kami makan dengan lauk dan sayur yang sama, kangkung dan ikan asin. Kalau ada ikan asin masih untung, sepuluh hari berikutnya kami hanya makan dengan sayur berlauk terasi atau garam cabe ditumbuk halus.
***
Peristiwa semalam belum hilang dari ingatanku, kami makan sangat banyak hingga kekenyangan. Tiba-tiba, Yunus dan Ilyas pulang dari undangan hajatan tetangga di kampung tempat kami bersilaturahmi. Mereka membawa makanan begitu banyak termasuk juga makanan pencuci mulut.
"Makanan ini harus habis," kata Yunus sesampainya di masjid kepada kami semua. Ginta menggeleng-gelengkan kepala. Petanda perutnya sudah tidak mampu memasukkan makanan tersebut. Tetapi, lantaran melihat pisang dan buah semangka, liurnya amat keras melintas di tenggorokannya. Rasa laparnya terhadap makanan pencuci mulut itu kambuh lagi. Secepat kilat, ia menyambar pisang. Selain itu, ia juga dengan rakusnya mengambil makanan yang baru tiba itu. Kedua tangannya penuh dengan makanan, termasuk mulutnya. Belum selesai memakan makanan pertama, sudah mengambil yang lainnya. Melihat itu, Yunus melarangnya, habiskan dulu makanan yang ada, baru memakan makanan pencuci mulut.
"Kalau makanan ini tidak dihabiskan, bisa-bisa besok basi," sambung Ilyas kepada kami.
"Dihangatkan saja, untuk makan kita besok pagi," timpal Dedi.
"Hangatkan?" Maryo nyeletuk mengangkat dahi menunjukkan rasa enggan, "Aku malas. Sudah terlalu malam dan aku lelah," Ia memberi alasan, karena petugas masak hari itu kebetulan jatuh pada Maryo. "Sudah! Habiskan saja."
Mendengar alasan Maryo seperti itu, daripada makanan tersebut basi keesokan harinya, apa boleh buat, kami harus melahapnya sampai habis. Satu persatu dari kami memakan-makanan yang dibawa Yunus secara perlahan-lahan. Rupanya, cicil demi mencicil, makanan tersebut habis juga. Aku dan Ginta yang paling banyak makan. Karena sebelumnya kami telah dikenyangkan oleh masakan Maryo hingga perut kami tidak memiliki udara lagi. Seluruh perut terasa berisi makanan. Kurasa, makanan itu sudah sampai tenggorokan.
***
Sungguh lama jarak antara azan subuh sampai ke iqomat, sampai-sampai aku menggerutu dalam hati. Menggerutu lantaran menahan isi perut yang nyaris keluar dari sarangnya. Jika saja di masjid ada kakusnya, aku masih senang. Tapi ini, jarak antara kakus dan masjid kira-kira 300 meter. Seandainya terlebih dahulu pergi ke kakus, bisa-bisa salat subuh sendiri di masjid ini, aku pasti merasa malu dengan teman-teman. Maka, solusinya, sembari menanti iqomat dikumandangkan, aku duduk seraya berusaha tidur, disamping menahan dentuman-dentuman keras dari lubang yang selalu kududuki. Aku terbangun dari tidur duduk saat iqomat melesat di telingaku. Kuhitung jarak antara azan dan iqomat selama dua puluh sembilan menit. Rasa dentuman-dentuman yang tadi terus mendesak tidak ada lagi.
Namun, tiba-tiba mereka kembali memberikan pukulan-pukulan dahsyat saat aku berbaris untuk salat. Pertahanan-pertahanan pun kembali kubuat, berusaha agar dentuman-dentuman itu tidak menjebol keluar dan memberikan aroma tidak mengenakkan. Akhirnya, aku berhasil membuat pertahanan sampai imam mengucapkan salam.
Aku tidak tahan lagi, sepertinya pertahanan yang kubuat bakal kebobolan. Untuk menghindari hal-hal tidak diinginkan, aku segera bangkit dan jalan perlahan-lahan keluar masjid. Berjalan perlahan-lahan lantaran jika berlari pasti mereka yang di dalam perut ini berceceran. Kalau berceceran, panjang sekali urusannya.
Sendal sudah tersarung. Kurayapi tangga menuruni jalan raya menuju rumah tempat kakus berada. Rumah tersebut kami gunakan sebagai tempat mandi, masak, buang air, dan sebagainya. Remangnya boklam menerangi jalan sehingga tidak menyulitkan langkahku. Berhati-hati dengan berjinjit dan mengangkang karena mempertahankan bentengku. Beberapa saat kemudian, telingaku mendengar langkah seseorang terburu-buru. Aku tidak mau menoleh sebab bisa mengurangi energi.
"Wui, sorry, gua duluan!" ujar Ginta menyalibku cepat. Melangkah terburu-buru sekali, setengah berlari. Aku berteriak dengan mengayun tangan kanan "Tunggu Gin, gua duluan dong!" ia meneruskan langkahnya tanpa menoleh dan meningkatkan kecepatan langkahnya.
Aku gundah dan tak keruan. Tidak tahu harus berbuat apa jika sampai rumah nanti. Kakusnya hanya cukup satu orang. Kalau menunggu Ginta keluar kakus, bisa gawat. Mau tak mau aku terus menggenjot langkah memasuki simpangan menuju rumah yang dituju. Kendatipun jalan gelap, aku masih ingat lobang-lobang di jalan ini.
Aku nyaris tiba di ambang pintu rumah, masih dengan langkah berjinjit dan sedikit mengangkang. Teringat olehku bahwa tidak jauh dari rumah ini ada kali kecil. Segera tubuhku berputar empat puluh lima derajat. Bersamaan dengan perputaran haluan, tiba-tiba para penyerang dalam perut berhasil menjebol pertahanan. Jarak sungai tidak jauh dan jalannya gelap. Gerak refleksku muncul dan tanpa kusadari kaki telah melesat menuju kali kecil yang terputar di memoriku sembari terus menampung serangan-serangan yang sudah menjebol pertahananku. Untung di luar pertahanan tubuh, ada pertahanan lainnya. Kalian pasti tahu, sehingga mereka tidak berceceran di jalan.
Sesampainya di sungai, aku membukanya. Cepraakk!! Yeahh!! Gagal. Tersangkut di batu. Membiarkannya dan segera menceburkan diri di sungai lantas berjongkok. Penyerang berikutnya barhasil dihindari dengan bantuan air sungai. Pantulan sisa bintang malam dan boklam rumah dekat sungai membuat air berkilat-kilat. Kilatan sinar bintang di sungai dan buramnya cahaya boklam membantuku melihat sesuatu di atas batu sekitar satu meter dekatku berjongkok. "Waw, mirip candi," kata hatiku, "Ya!!" inilah candi emas buatanku," sambungku sembari menjentikkan jempol dengan ibu jari. Bau busuk luar biasa menusuk hidungku. Namun, sebusuk apapun bau tersebut, hatiku terasa puas karena para penyerang tersebut tidak lagi menyerang.
Aku segera menyiram candi emas yang telah tercipta. Kalau tidak, siang nanti pasti banyak orang menggerutu. Selain membersihkan candi emas, aku juga secepatnya mencuci pakaian dalam dan sarung sekenanya karena mataku tak mampu menerangkan gelap.
* * *
Di rumah, aku mencuci semuanya. Aku tahu peristiwa ini tidak mudah untuk dilupakan. Peristiwa yang cukup untuk membuatku tertawa terbahak-bahak bila mengingatnya pada masa mendatang. Agar teman tidak merasa jijik pada hari itu, tentu aku tidak menceritkannya. Dalam hatiku berucap, kelak, kendatipun peristiwa ini terdengar sangat menjijikkan dan bisa membuat perut mual, pasti akan aku ceritakan supaya orang-orang bisa tertawa.
Makan bersama telah usai. Cukup nikmat dan lahap sekali kami pagi itu. Rupanya makanan semalam telah habis direproduksi oleh perut. Kami pergi ke masjid untuk mengadakan pengajian. Sebelum pengajian dimulai, aku masih mencium bau yang tidak enak sekali, yakni bau para penyerang tadi pagi.
Seingatku semua pakaian sudah diganti. Tapi dari mana bau ini berasal. Terus-menerus menghantui sejak kejadian candi emas itu. Ketika makan, bercakap-cakap, sampai duduk-duduk di masjid ini, bau itu terus menggerayangi hidungku. Berulang kali aku berkeliling menciumi pakaianku, siapa tahu masih ada yang menempel. Hasilnya tak ada, bau itu hilang saat aku mencium pakaian yang kukenakan.
"Ini apa?" ujar Ilyas sembari menunjuk mata kakiku. Menunjuk sebuah benda menyerupai tanah liat kering menempel pada mata kaki sebelah kananku. Aku segera mendekatkan hidung ke benda tersebut. Wow, ini dia rupanya. Aku kelabakan luar biasa. Malu bukan kepalang. Rupanya para penyerang itu masih menempel dan sudah mongering pada tubuhku. Tolong... Tolong... Tolong... Tolong... Tolong...!! Binatang kalian semua!! Caciku dalam hati. Ikmal Komputer. Bumimanti II 23. Kpbr. Kdt. Bdl. 31122002. 22.54.
Sort: Trending
[-]
iloveupvotes (-9)(1) 8 years ago
$0.00
Reveal Comment