Kucing
(sumber gambar: annunaki.me)
Semakin sore. Terus gelap. Malam sudah. Moterr duduk di depan rumah. Secangkir kopi dan setumpuk lamunan. Ada masalah, mungkin. Seekor kucing berbulu tebal duduk di sebelahnya. Kucing itu bukan milik Moterr, tapi Moterr suka pada kucing itu, meski bulunya sedikit berdebu, tapi masih cukup lembut untuk dielus tangan Moterr yang kasar.
Tangan Moterr mencekik sebotol, mungkin sejenis air permantasi anggur. Moterr dibawa ke alam tidak sadar. Benar, Moterr sudah dikuasai air mabuk itu. Dalam keadaan yang tidak sadar, Moterr bercerita sebagai seorang yang sudah tidak waras. Omongannya mulai negelantur. Badannya mulai mengigil. Suaranya tinggi, kadang rendah, kadang tertawa, kadang menangis. Dia benar-benar lebih mabuk dari anggur itu.
Di sela-sela perbincangannnya pada kekosongan, awang-awang dan imajinya itu. Ternyata kucing yang dari tadi duduk di samping Moterr banyak mendapat cerita, tapi hanya potongan-potongan peristiwa saja. Sungguh, amat sukarlah bagi kucing untuk menyimpulkannya.
Kucing masih itu tetap duduk di sebelah Moterr. Sebagaimana kucing pada biasanya, akan diam ketika dibelai.
Beruntunglah si kucing malam itu, tidak retak kepalanya. Biasanya kalau sudah mabuk begitu, Moterr suka memukulkan botol anggur itu pada benda-benda hidup. Pernah suatu malam, Moterr menghabiskan lima botol anggur, dan terbunuhlah empat ekor kucing, beruntung kucing yang kelima berhasil melarikan diri.
**
“Bajingan. Kelembutan. Kebrutalan.” Sambil berteriak. Melompat-lompat. Plaak, tawas satu kucing. “Bajingan. Kelembutan. Sikasaan” sambil telanjang. Plaak, terbang sudah dua nyawa hewan bertaring itu. “Kau siksa aku dengan kelembutan” Plaak, mati satu lagi binatang itu. “Kau. Kau. Kau. Kaulah yang menyiksa aku dengan segala kata-katamu. Yang menjadi air. Menjadi mabuk. Menjadi rindu. Menjadi kau. Menjadi aku” Plaak, mampus sudah empat ekor kucing.
Mayat-mayat kucing itu bergelempangan di dalam kamar. “Kau membuat aku menjadi rindu. Kemarilah, sayangku” sambil mencekik kucing ke lima, traaap, Moteer tumbang, dan kucing berbulu hitam pekat itu menjadi saksi atas empat kawanannya yang tewas malam itu.
**
Beruntunglah kucing yang satu ini, hanya dielus-elus oleh Moterr. Syukurlah, selamatlah binatang berbulu itu.
Waktu terus berjalan. Kopi pun sudah hampir beku di dalam cangkir. Jangkrik mulai melengking di kesunyian. Kucing itu masih tetap duduk. Moterr terus mengelus-ngelus kucing itu. Kucing itu diam saja, sambil sesekali menguap.
Kucing itu mulai luntur dalam belaian Moterr. Bulu-bulu lembut itu berterbangan ke udara, lalu masuk dalam tubuh Moterr. Moter mengeliat ketika bulu-bulu itu masuk melalui pori-porinya. Nafasnya sesak ketika kulit kucing itu masuk melalui lubang hidungnya.
Kerokongannya terasa mampet, seperti tercekik ketika danging-daging kucing itu masuk melalui mulutnya. Telinganya tuli, tulang itu masuk lewat telinga. Darah-darah kucing itu mengalir masuk sela-sela kuku kaki dan tangannya. Tubuh kucing itu habis. Satu ekor kucing dalam tubuh Moterr.
Bulu, tulang, danging, darah kucing itu menyatu kembali membentuk seekor kucing sebagaimana adanya. Kucing itu terkulai lemas di atas urat nadi Moterr. Perlahan kucing itu membuka matanya, lalu ia terkejut ketika menyadari dirinya di dalam hutan yang merah. Sungai darah mengalir menghayutkan daun-daun merah. Di bawahnya juga ada batu-batu merah. Serba merah.
Kucing itu masih tidak sadar kalau ia berada dalam tubuh Moterr. Kucing itu mengira Moterr membuangnya ke sebuah tempat yang terasing dan serba merah, ketika tadi Moter mencekokinya dua gelas anggur. Untunglah kucing itu lekas sadar, tapi ia masih tidak mengira kalau-kalau ia berada dalam tubuh seorang manusia yang sedang mabuk.
Kucing itu menatapi aliran darah yang ia belum tahu kalau itu darah. Dia berharap, sekiranya ada ikan yang melomat-lompat, lumayanlah untuk mengganjal perutnya yang lapar. Lama ia menunggu, tapi ia tidak menumukan ada binatang yang hidup di aliran sungai merah itu. Kucing tidak suka berlama-lama menunggu, ia mencari di mana ia bisa menumukan sumber makanan.
Kucing itu terus berjalan dengan membawa serta rasa laparnya. Perbedaan waktu di dalam dan di luar tubuh ternyata sangat berbeda. Di sana di mana hitungan waktu konvensional sudah tidak relevan lagi.
Padahal baru sekitar setengah jam kucing itu dalam tubuh Moterr, tapi yang kucing rasakan satu hari. Artinya sudah satu harian kucing itu mencari-cari makanan, tapi ia tidak menemukan. Ia merasa dibuang ke hutan yang benar-benar tidak ada kehidupan. Tidak ada sumber makanan.
Kucing merasakan kerongkongannya tercekik, ia butuh minum setelah satu hari berjalan tanpa jelas arah tujuan. Untunglah si kucing tidak jauh-jauh dari sungai, yang sebenarnya aliran darah itu. Si kucingpun menjilat air itu. Sungguh mati. Ia merasakan rasa darah. Kucing itu hampir muntah, tapi kerena saking haus yang mematikan ia terpaksa meminum barang seteguk lagi. Ia terus berjalan, sampai ia hilang dalam rimba tubuh Moterr.
**
Guyuran air jatuh dari atas, “Ah, akhirnya hujang datang juga” kata kucing. Kucing membuka mulutnya, nampak gigi taring yang panjang dan lidah yang kasar itu mulai dijulurkannya. “Akkkh, kenapa aneh begini”. Dua teguk air anggur mengguyur si kucing. Untunglah si kucing cepat-cepat mengatupkan mulutnya ketika menyadari itu air anggur. Ia tidak ingin mabuk di hutan yang tidak jelas itu.
Si kucing terus berjalan sampai pada bagian tubuh yang lain. “Aiiss.. Apa pula benda itu?” kata si kucing ketika melihat jantung Moterr berdetak. “Balon jenis apa lagi ini?” ketika melihat paru-paru Moterr kembang-kempis. Asap keluar masuk. Air anggur itu semakin deras mengguyur.
Di dalam tubuh Moterr tidak ada cahaya matahari, beruntunglah kucing dibekali mata yang bisa terang dalam gelap. Kucing melanjutkan perjalanannya, ia masih belum sadar kalau dia berada dalam tubuh Moterr. Karena merasa letih, kucing itu duduk sejenak, sambil membersihkan bulunya. Ia masih bertanya-tanya, di mana sebenarnya dirinya dibuag Moterr, atau jangan-jangan ia hanya bermimpi. “Ahh, tidak. Tidak” katanya sambil menampar kedua pipinya yang berbulu.
Setelah merasa cukup tenaga untuk melanjutkan perjalanan, kucing itu bangkit kembali. Merengangkan otot-ototnya. Menguap. Sekali mengeoeng. Lalu bergegas melanjutkan perjalanannya. Belum lama ia berjalan, ia melihat semacam cahaya. “Inilah sumber makanan” si kucing tersenyum bahagia. Ia berlari menuju cahaya itu. Sesampainya di sana ia tidak menemukan apa yang ia cari. Hanya sebuah cahaya yang tidak bisa dimakan.
“Akhirnya... aku menemukan matarahi” ujarnya dalam hatinya. Ah, kucing, itu bukan matahari, itulah matahati. Ia akan terus bercahaya, itulah yang menerangi manusia dari kegelapan dirinya. Jangankan kau cing, manusia saja ada yang tidak sadar kalau dia memiliki matahati.
Perlahan-lahan cahaya itupun mulai redup. Kucing itu terus mendekati matahati yang dikiranya matahari itu. Sungguh. Si kucing mulai merasakan laparnya hilang, ia mulai merasakan kehangatan. Ia semakin mendekat. Semakin dekat.
Bah, betapa terkejutnya dia ketika menemukan banyak kantung yang berisi wajah-wajah, harapan-harapan, cinta, kasih, begitulah singkatnya. Kucing tidak punya kata-kata untuk mengungkapkan, selain termiau-miau sajalah yang ia tahu.
Lima jam sudah kucing itu terperangkap dalam tubuh Moterr. Artinya sudah lima hari yang ia rasakan dalam tubuh Moterr. Sebagaimana dasarnya sifat kucing adalah penasaran, kucing itu terus mencari tahu di mana sebenarnya ia berada. Ia bertanya pada wajah-wajah di dalam katung cahaya tadi itu. Dari situlah ia mengerti bahwa ia sedang terperangkap dalam tubuh Moterr.
Kucing itu kebingungan. Bagaimana bisa ia berada dalam tubuh Moterr, tapi rasa bingungnya tidak berlangsung lama. Ia lebih dirundung oleh rasa penasarannya. Ia berjalan ke lain tempat. Ia semakain terkejut ketika menemukan setiap peristiwa, kenangan, harapan, cinta, dendam, menjelma menjadi kucing-kucing yang saling menjelaskan dirinya, lalu saling berdebat.
Semakin lama perdebatan kucing-kucing dari segala jelmaan itu membuat si kucing kebingungan. “Betapa sengit hidupmu, kawan” kata si kucing pada Moterr.
Kucing itu mulai letih menyaksikan perdebatan antara kecemburuan dengan keikhalsan. Antara dendam dan maaf. Antara sifat baik dan sifat jahat. Kucing itu telah tahu semuanya. Kucing itu melihat di mana banyak sejarah yang telah membentuk diri Moterr. Kenangan. Kerinduan. Tangisan. Semuanya meluap, meribut di sana.
Kucing itu semakin letih. Kucing itu ingin keluar. Sambil mencari-cari jalan, di tepi-tepi sungai darah, di atas batu-batu daging yang licin, kucing itu tergelincir. Dengan sekuat ternaga kucing itu mencapkan kukunya pada urat-urat nadi Moterr, tapi deras aliran darah tetap lebih ganas, kucing itu hanyut sampai ke otak. Setibanya di otak ia menemukan berbagai mancam kucing jelmaan. Ia semakin tidak tahan berada dalam tubuh Moterr.
Kucing itu menyaksikan segala kegusaran yang menjelma menjadi kucing. Kerbutalan, menjelma menjadi kucing. Lalu kucing-kucing itulah yang membunuh kucing-kucing dari jelmaan kelembutan, cinta dan kasih. “Kucing-kucing setan itulah yang menguasai Moterr” kata si kucing.
Sebelum keluar lewat air seni atau ludah Moterr, kucing itu menyelipkan catatan-catatan hati Moterr di sela-sela bulunya. Di sudut sana, pertengkaran semakin mengerikan di dalam tubuh Moterr.
“di sudut diriku tersulut cumbu dan cemburu. Kucing kekasihku, kekasihku kucing kulepas dalam darahku, dalam lamunku, dalam amukku. Berjalanlah sesukamu, sayangku. Cabik retas segala aku. Hiduplah dalam dendamku, dalam igau demamku, dalam air risih risauku, dalam diriku. Meski kau tak di kuku cengkramku.”
Kucing itupun keluar melalui mulut Moterr bersama muntah. Kucing itu menatap wajah Moterr yang hancur. Segala yang ada dalam dirinya tergambar dari wajahnya. Si kucing tidak mengerti harus bagaimana menyelamatkan manusia yang hancur ini.
Semampunya, kucing terus memberi kelembutan, tak bosan-bosannya. “Aku hanya bisa memeberi sedikit kelembutan dari sifat buluku. Dan, dalam tubuhmu kuwariskan rasa penasaran yang mendalam. Dalam dirimu, tertakdir sebagai kucing yang berfikir, Moterr”. Kata kucing, lalu mati, tiba ajalnya, di tangan diamuk Moterr yang mabuk gila.
... Pada Tardji dan kucingnya
sampai padaku dan kucingku...
Yi Lawe.
Yogyakarta, 2018.
Cerpen rasa puisi
Terimakasih bang @sangdiyus, kritik sarannya sangat dibutuhkan. Hehe. Saya memang sedang kewalahan membuat cerpen, apalagi harus dengan alur, setting, konflik, penokohan yang apik. Hehe. Minta bantuannya. InsyaAllah, dalam beberapa hari ke depan saya post cerpen entah cerbung "Mad Banu" judulnya, dalam tiga sesi. Hehe. Terimakasih atas kunjungannya.
Terbalik, Bang...
Akulah yang justru mesti banyak belajar. Komentarku justru untuk mengagumi cerpen yang Abang tulis.