Memasuki lebaran Idulfitri hari yang ke 5, saya melanjutkan silaturahmi, berkunjung ke Gampong (Desa) Bugak Krueng guna menjenguk teman-teman kuliah dahulu yang sudah tidak lagi di Banda Aceh. Selepas kuliah, mereka langsung pulang kampung dengan ragam aktivitas masing-masing. Ada yang membuka toko, pun ada pula yang menjadi (pengusaha) toke reuteuk (kacang panjang)
Teman-teman sudah menunggu saya di salah satu kedai kopi di Gampong Bugak, setelah menikmati secangkir kopi masing-masing dengan berbagai obrolan kangen yang ngaral-ngidul, kamipun berinisiatif untuk menikmati kuliner rujak.
Rujak yang ingin kami cicipi berada tidak jauh dari tempat kampung teman-teman saya. Hanya berselang dua gampong saja, kita sudah tiba di TKP.
Rujak tersebut dikenal dengan sebutan "Rujak Cot Panah". Rujak ini termasuk lagenda dalam percaturan dunia per-rujak-a dan cukup terkenal pada era kejayaannya.
Adalah (Alm) Apa Syu'ib di masa dahulu merintis usaha salah satu jenis kuliner khas Aceh ini. Setelah ia berpulang ke haribaan-Nya, usaha keluarga ini pun estafetnya dilanjutkan secara turun-temurun. Saya tidak tahu pasti, saat ini generasi ke berapa dari keluarga Apa Syu'ib yang menjalankannya.
Kamipun sampai di TKP dan memesan 6 porsi rujak Aceh. Meskipun ramai pengunjung, tidak butuh waktu lama pesanan kita (sudah) siap dihidangkan. Selain rasa yang aduhai, ada dua kelebihan lain dari rujak Cot Panah ini; pertama, pelayanan yang baik lagi ramah dan kedua, terhampar pemandangan indah lagi asri di bagian belakangnya. Oya, ada satu lagi, tempatnya bersih.
Hamparan sawah luas menjadi pemikat yang meneduhkan mata, yang dapat membuat kita betah berlama-lama duduk di rujak Cot Panah. Selain itu, tempatnya juga strategis, berada di persimpangan antara jalan utama menuju Laut Jangka dan Gampong Alue U. Simpang tersebut memiliki nama; Simpang Cot Panah, maka wajar lakap rujak Cot Panah disematkan.
Perpaduan rasa manis, asam, kelat, dan gurih menjadi komposisi yang apik untuk memanjakan lidah penikmat rujak. Pun begitu, porsinya pun terbilang banyak. Saya melihat 5 teman saya habis melahapnya, hanya saya sendiri yang tidak mampu menghabisi santapan lezat ini. Bagi saya, seni menikmati rujak terdapat pada sedikitnya tapi ennak. Bukan banyak.
Setelah menghabiskan rujak, kami tidak serta merta langsung beranjak. Duduk bercengkrama sekitar 10-15 menit kemudian, sembari menikmati panorama sawah yang banyak disinggahi bangau putih. Seiring waktu berlalu, tampak seorang petani datang dan membersihkan pematang sawahnya. Dalam bahasa Aceh, proses ini lazim disebut dengan jak cah/tak ateung.
Melihat gelagat makin sore makin ramai saja para pengunjung yang datang silih berganti, kami sadar diri untuk segera beranjak. Jumlah tempat duduk yang terbilang terbatas, di tambah amino dan momen lebaran, menuntun kami untuk arif bersikap. Ada banyak orang-orang yang juga butuh tempat untuk menikmati kenikmatan yang sama, dengan apa yang telah kami rasakan.
Untuk soal harga, bagi teman-teman yang ingin menikmati rujak Cot Panah tidak perlu khawatir, harganya terjangkau dan ramah kantong. Untuk seporsi rujak, kita hanya perlu merogoh kocek sebesar Rp 7000 rupiah. Selamat penasaran dan silahkan datang untuk mencicipi rujak Cot Panah. Terlebih, momen lebaran sudah memasuki masa injury time.
Konon, saya sering nyeletuk kepada teman-teman: "Orang Aceh kalau lebaran, destinasi berpergian cuman dua; laut dan gunung. Kemanapun pergi, makannya tetap dua; rujak dan mie Aceh".
syyukurlah ada lontuanisme yang pandai meracik kata, maka cerita sepiring rujak ini tak berakhir begitu saja, kelak ia akan menjadi kenangan untuk dikenang-kenang.
Yang terkenang dalam genangan memori. Yang belum makan rujak Nibong Aceh Utara aja ini.
Ajak Ihan dong....