Sore itu, mata ku sibuk membaca sejumlah laman browsing, jari telunjuk menari di atas kursor laptop. Tiba-tiba, terdengar suara ucapan salam sayup-sayup. Langsung ku membuang pandangan ke arah pintu masuk.
Ternyata menjelang Ashar itu, @habilrazali29 baru tiba dari kampungnya Keumala, Pidie. Dengan ciri khas senyuman diwajahnya, mahasiswa semester dua ilmu Komunikasi, Unsyiah itu, dengan spontan meletakan tiga bungkusan dalam satu kantong plastik di atas meja.
“Ruti sele Samahani,” spontan aku berucap.
Habil biasanya sepulangan dari kampung halamannya menyempatkan diri singgah di kantor AJI (Aliansi Jurnalis Independen) Banda Aceh. Apalagi anak muda yang satu ini, sudah menulis di sebuah media online berbasis di Filipina.
Namun di markas Angsa 23 itu, aku tidak sendirian. Di ruangan tempat kami berselancarkan internet, juga ada Khithati duduk di sebelah kanan ku yang sibuk menatap layar laptop dengan handsfree di kupingnya, serta kak Yayan sebelah kiri di hadapan ku.
Melirik bungkusan di kantong plastik itu, tak menunggu lama ku bergegas mencuci tangan. “Ayok Thati makan roti bawaan Habil ini,” ajak ku.
Satu bungkus langsung ku buka, dan menyobek sepotong roti selai itu. “Lezat,” ucap ku dalam hati. Padahal, aku masih kekenyangan sehabis makan siang hari itu.
Namun, kelezatan roti khas Aceh Besar itu membuat ku tergoda untuk mencicipinya. Hmmm.
Berbahan utama roti tawar dengan teksturnya yang lembut, diisi selai srikaya yang menggunakan telur dan tepung sebagai bahan utamanya itu, membuat citarasanya manis dan gurih. Sehingga kita tergoda untuk mencicipinya.
Kosong
no problem @toshare :D
kosong lom
haha, hana peu2 bang, ka dua kosong kameunang lon. Tq @rjannah
Cok sineuk. Bereh that.
tq @habilrazali29
Bak arie steem yue culok sige. Langsong meuasoe... hehee
haha, nyan payah tayeu loby bak @toshare le bang