Dear Steemian fellow..
Indonesia is an archipelago consisting of several different cultures, and diversity of traditions, yet so almost all Indonesians have a tradition of wandering out their area and also of the country to seek a better life. Starting from the island of Sumatra, Java, Bali, Sulawesi, Kalimantan and even Papua, the community has a habit of wandering to a region or out of the country
Indonesia merupakan sebuah Negara kepulauan yang terdiri dari beberapa budaya,kultur dan keberagaman tradisi yang berbeda-beda, namun begitu hampir seluruh masyarakat Indonesia memiliki tradisi merantau ke luar daerah untuk mencari kelayakan hidup yang lebih baik. Mulai dari pulau Sumatra, Jawa, Bali, Sulawesi, Kalimantan dan bahkan Papua, masyarakatnya memiliki kebiasaan merantau ke suatu daerah maupun keluar Negeri.
Being outside of my own region certainly makes Indonesia people struggle for a better life for success, in my own region of Aceh province, many also find other Indonesian people who wander to seek a better life, they come from various regions in the archipelago such as West sumatra, Java island and so on.
Berada di luar daerah sendiri tentu menjadikan masyarakat nya harus berdikari untuk keberhasilan hidup yang lebih baik, di daerah saya sendiri Aceh banyak juga saya dapati masyarakat Indonesia lainnya yang merantau untuk mencari kehidupan yang lebih baik, mereka berasal dari berbagai daerah di Nusantara seperti Sumatra Barat, Pulau jawa dan lain sebagainya.
In Indonesia the "West Sumatran" community is known as the resident monarch of nomads in the archipelago, why do I assume so? Almost in all parts of Indonesia they have a large settle foreigners community. In the province of Aceh, the people of West sumatra known as the nomads who opened a business traditional food stall , "Nasi Padang" its name, and some of them opened a garment / textile business. This is not just in Aceh, almost in all parts of Indonesia "Warung Nasi Padang" is so well known, and it becomes a traditional food stall sought by almost all Sumatran people when they are outside of the region.
Di Indonesia masyarakat "Sumatera Barat" dikenal sebagai raja-nya perantau di nusantara, mengapa saya berasumsi demikian? Hampir di seluruh wilayah Indonesia mereka memiliki komunitas serantau yang besar. di provinsi Aceh sendiri masyarakat Sumatera Barat dikenal dengan perantau yang membuka usaha warung Nasi, “Nasi Padang” namanya, dan beberapa dari mereka membuka usaha garment/textile. Ini bukan hanya di Aceh saja, hampir di seluruh wilayah Indonesia "Warung Nasi Padang" begitu dikenal, dan menjadi warung makan yang dicari oleh hampir seluruh masyarakat Sumatra bila sedang berada di luar daerah.
They survive today, not even a few owners of "Warung Nasi Padang" and other businesses are already also achieving success. That is one example of the tradition of wandering to succeed and to have a better life done by the Indonesian people in general.
Mereka bertahan hingga saat ini,bahkan tidak sedikit pemilik "Warung Nasi Padang" dan usaha lainnya sudah dan sedang meraih kesuksesan, Itu merupakan salah satu contoh tradisi merantau untuk sukses dan memiliki kehidupan yang lebih baik yang dilakukan masyarakat Indonesia pada umumnya.
One Indonesian movie above is a proof of "The Wandering" is a tradition that is still entrenched among the people of Indonesia, and this film is dedicated to the immigrants who do not fate lucky
Satu film Indonesia diatas adalah bukti "Merantau" adalah sebuah tradisi yang masih membudaya di kalangan masyarakat Indonesia, dan film ini didedikasikan bagi perantau yang kurang beruntung di Indonesia
The people of Aceh are also familiar with the tradition of wandering, not a few of Acehness who are in other areas and abroad wander to make life better. For the people of Aceh, the Pidie community (one of the districts in Aceh) are the King of the overseas/nomads, very large Pidie community we meet almost in the entire region of Aceh, even other regions in Indonesia and abroad.
Masyarakat Aceh juga tidak asing dengan tradisi merantau, tidak sedikit pula warga Aceh yang berada di daerah lain maupun diluar negeri merantau untuk menjadikan hidup lebih baik. Untuk masyarakat Aceh, Orang-orang Pidie (salah satu Kabupaten di Aceh) merupakan Raja-nya perantauan, tidak sedikit masyarakat Pidie kita temui berada hampir diseluruh wilayah Aceh, Bahkan daerah lain di Indonesia maupun luar negeri.
The spirit of the Pidie People to wander and succeed can be said to be unique and reckless, the average of them do not go carry a lot of money, but only simple equipment, such as clothing and so on. In Aceh the reckless traditions of the Pidie community are often made a joke "Awak Pidie, Jak ba baje, wo puwoe moto (Pidie's, go carrying clothes, drive home, car !!!)", so do not be surprised when many of the Pidie's people are successful people from overseas.
Semangat Orang-orang Pidie untuk merantau dan sukses bisa dikatakan unik dan nekat, rata-rata dari mereka tidak pergi membawa uang banyak, namun hanya perlengkapan seadanya, seperti pakaian dan lain sebagainya. Di Aceh tradisi nekat masyarakat Pidie ini sering dijadikan aneukdot “Awak Pidie, Jak ba baje, wo puwoe moto (Orang Pidie, pergi bawa baju, pulang bawa mobil)”, maka jangan heran ketika banyak dari masyarakat Pidie merupakan orang-orang sukses di perantauan.
A few days ago, my self and my colleague @my451r had the opportunity to be in the Capital of Jakarta, Being outside of the area of course I and my friends are looking for Acehnese who have long been in the capital, and we found them many who opened the business of "Warung Mie Aceh" in the Capital. Acehness noodles and other Acehness foods have been also are well known in Indonesia, making the Acehnese easier to open their own businesses than working overseas.
Beberapa hari yang lalu saya dan sejawat @my451r berkesempatan berada di Ibukota Jakarta, Berada diluar daerah tentu saya dan sahabat mencari warga Aceh yang sudah lama berada di Ibukota, dan kami menemukan mereka banyak yang membuka usaha Warung Mie Aceh di Ibukota. Mie Aceh dan makanan Aceh lainnya sudah dan sangat dikenal di Indonesia, Hal ini menjadikan perantau dari Aceh lebih mudah membuka usaha sendiri ketimbang bekerja pada orang lain di perantauan.
Prices Acehness typical food is relatively more expensive in the capital than in Aceh, for one portion of Mie Aceh in the capital is priced at IDR. 20.000, - (may change if you want to add mixture such as meat, eggs, squid and shrimp). Aceh fried rice also has a more expensive price than in Aceh, IDR. 35.000, - for one portion. With a relatively higher price than in the traditional food business district of Aceh has a better future prospects for Acehnese migrants who make it as their livelihood in the overseas.
Harga Makanan khas Aceh ini relatif lebih mahal di Ibukota ketimbang di Aceh, untuk satu porsi Mie Aceh di Ibukota dibanderol seharga Rp. 20.000,- (bisa berubah jika ingin ditambah campuran seperti daging,telur, cumi dan udang). Nasi goreng Aceh juga memiliki harga yang lebih mahal ketimbang di Aceh, Seharga Rp. 35.000,- untuk satu porsinya. Dengan harga yang relatif lebih tinggi dibanding di daerah tentu usaha makanan tradisional Aceh memiliki prospek masa depan yang lebih baik bagi perantau Aceh yang menjadikan hal tersebut sebagai mata pencaharian mereka di perantauan.
In the capital they have to make their own materials, ranging from the process of making noodles, traditional ingredients and spices are also sent directly from Aceh, because the price of ingredients for spices in Jakarta is more expensive, than ordering in the hometown still give more cost for their business. There are three places of business migrants from Aceh that I had visited while in the capital, ranging from standard class, middle to exclusive to the top presents a variety of hometown menu that makes me feel more at home when outside with friends.
Di Ibukota mereka harus membuat bahan sendiri, mulai dari proses pembuatan Mie, Alat dan bumbu tradisional juga dikirim langsung dari Aceh, dikarenakan harga racikan bahan untuk bumbu di Jakarta lebih mahal, maka memesan di kampung halaman masih memberi cost lebih bagi usaha mereka. Ada tiga tempat usaha perantau dari Aceh yang sempat saya kunjungi ketika berada di Ibukota,mulai kelas standart, menengah hingga ekslusif ke atas menyajikan berbagai menu kampung halaman yang menjadikan saya semakin betah berada diluar kota bersama sahabat.
Mie Aceh “Sabang Baru” Ciledug Raya Kota Tangerang,Jakarta Barat.
Public stalls from Acehness are still very simple, no exclusive impression, arrived here I was like being in Aceh, here usually we can meet Acehness community from various circles who wander to the Capital to enjoy a variety of traditional culinary areas themselves.
Warung masyarakat perantau dari Aceh ini masih terbilang sangat sederhana sekali, tidak ada kesan eksklusif, tiba disini saya seperti sedang berada di Aceh, di sini biasanya bisa kita temui masyarakat dari Aceh berbagai kalangan yang merantau ke Ibukota untuk menikmati berbagai kuliner tradisional daerah sendiri.
In addition to mie Aceh, nasi goreng Aceh and Martabak telor here also available a variety of Acehness coffee that has been worldwide, the price is also still very affordable, for mie Aceh "Sabang Baru" in the official price of IDR. 15.000, - and various Acehness coffe such as Pancung coffe, Sanger (coffee milk) is still at the price of IDR. 8.000, - IDR. 10,000, - per glass. Although this shop looks simple, but Acehness traditional food "Sabang Baru" already has the including of Go-food (delivery food application) and this allows customers to be able to enjoy mie Aceh without being stuck in traffic jam of Jakarta.
Selain Mie Aceh, Nasi Goreng Aceh dan Martabak Telur disini juga tersedia berbagai Kopi Aceh yang sudah mendunia, harganya juga masih sangat terjangkau sekali, untuk Mie Aceh “Sabang Baru” di banderol seharga Rp. 15.000,- dan berbagai kpoi Aceh seperti Kopi Pancung, Sanger (Kopi Susu) masih di harga Rp. 8.000,- Rp. 10.000,- per gelas-nya. Meskipun warung ini terlihat sederhana, namun Mie Aceh “Sabang Baru” sudah memiliki sarana Go-food (dilevery food aplikasi) dan ini memudahkan pelanggan untuk bisa menikmati Mie Aceh tanpa harus terjebak kemacetan Kota Jakarta.
The workers here are migrants from different parts of Aceh, such as norther Aceh, eastern Aceh and Pidie, all of whom choose to be in the Capital to be successful and make a better life for their future and family.
Para pekerja disini merupakan perantau dari berbagai wilayah Aceh, seperti Aceh utara, Aceh timur dan Pidie, semua mereka memilih berada di Ibukota untuk dapat sukses dan menjadikan kehidupan yang lebih baik untuk masa depan mereka dan keluarga.
Mie Aceh “Nyak Lin” Kebon Jeruk, Jakarta Barat
The Acehness food stall Mie Aceh is quite big place of business rather than Mie Aceh "Sabang Baru", seen from the decoration and its interior is more presented to the upper middle class, Mie Aceh prices here are also different from the previous stalls, Rp. 20.000, - Rp. 35.000, - (according to additional menu tastes for mixed orders, meat, eggs and seafood).
Warung Mie Aceh ini lumayan lebih besar tempat usahanya ketimbang Mie Aceh ”Sabang Baru”, terlihat dari dekorasi dan interior nya lebih tersaji bagi kalangan menengah ke atas, harga Mie Aceh disini juga berbeda dari warung sebelumnya, Rp. 20.000,- Rp. 35.000,- (sesuai selera menu tambahan untuk pesanan campuran, daging,telur dan seafood).
Workers here are migrants from Pidie and northern Aceh areas, they are average already married, but the economy in the Capital nor guarantee their future and family so wander into one of the alternatives to achieve success life.
Pekerja disini merupakan para perantau dari wilayah Pidie dan Aceh utara, mereka rata-rata sudah berkeluarga,namun perekonomian di Ibukota lebih menjamin masa depan mereka dan keluarga sehingga merantau menjadi salah satu alternatif untuk mencapai kesuksesan.
They on average only have the opportunity to return home once a year when Idul Fitri holidays arrive, so far they only send money to the family spending in the hometown and away from family but it all does not reduce the spirit of those living overseas
Mereka rata-rata hanya berkesempatan pulang ke kampung halaman seminggu sekali ketika liburan idul fitri tiba, selama ini mereka hanya mengirim uang belanja kepada keluarga di kampung halaman dan jauh dari sanak famili namun itu semua tidak meyurutkan semangat mereka yang hidup di perantauan.
I myself and @my451r had interacted with some of them interrupted during busyness, they present various menu that has been waiting for the customers, the atmosphere must be felt when one of them pleaded homesickness. ..
Saya dan @my451r sempat berinteraksi dengan beberapa dari mereka disela sela kesibukan mereka menyajikan berbagai menu yang sudah dinanti para pelanggan, suasana haru sempat terasa ketika seorang dari mereka mengaku rindu akan kampung halaman.
“Asai na troeh ureung getanjoe Aceh, geujak pajoeh Mie, Loen meurasa geusaweu le ureung Gampong bang (Everytime the Acehnese come here, to enjoy Mie Aceh, I feel in visit by my own brother) "he said to us while looking at the sky and take a deep breath.
“Asai na troeh ureung getanjoe Aceh, geujak pajoeh Mie, Loen meurasa geusaweu le ureung Gampong bang (Setiap kedatangan orang Aceh kemari, untuk menikmati Mie Aceh, Saya merasa di jenguk oleh saudara sendiri bang)” tuturnya kepada kami sambil melihat langit dan menghela nafas panjangnya.
Atjeh Connection Jalan Sabang dan Atjeh Connection Sarinah, Jakarta.
The exclusive impression of the Acehness in the overseas you can see in the restaurant and cafe owned by one of the Acehness Entrepreneurs in the Capital of Jakarta, the various Aceh menus is presented here exclusively, starting Mie Aceh, Oysters of Aceh, Sanger coffe, Acehness coffe untill to Timphan (Aceh traditional cake).
Kesan eksklusif masyarakat Aceh di perantauan bisa Anda lihat di resto dan cafe yang di miliki salah satu Pengusaha Aceh di Ibukota Jakarta ini, berbagai menu Aceh disajikan disini secara eksklusif, mulai Mie Aceh, Masak Tiram Aceh, Kopi sanger Aceh hingga Timphan (Kue tradisional Aceh).
Another look, another price is certainly, the price of food and beverages typical of Aceh here quite exclusive than the two previous overseas Aceh community efforts. But it has also become a tradition for the people of Aceh who are outside the region stop here and chatting with friends and colleagues who have been and are settled in the capital.
Lain tampilan,lain harga itu sudah tentu, harga makanan dan minuman khas Aceh disini lumayan eksklusif dibanding kedua usaha masyarakat Aceh perantauan sebelumnya. Namun sudah menjadi tradisi pula bagi masyarakat Aceh yang sedang berada di luar daerah mampir disini dan bercengkrama bersama teman dan para sejawat yang sudah dan sedang menetap di Ibukota.
With the owner of The Atjeh Connection Resto and Cafe, He was an Acehness successful wanderman
I and my colleagues met with various people of Aceh here, from Aceh photographers who have long lived in Jakarta, Until the owner of the Atjeh Connection restaurant and cafe itself is also a son of Aceh who has now become a successful entrepreneur in Jakarta, although basically he is also a nomads in the Capital.
Saya dan sejawat bertemu dengan berbagai kalangan masyarakat Aceh disini, mulai photografer Aceh yang sudah lama menetap di Jakarta, Hingga pemilik Atjeh Connection resto dan cafe sendiri yang juga merupakan Putra Aceh yang kini telah menjadi pengusaha sukses di Jakarta, meskipun pada dasarnya beliau juga seorang perantau di Ibukota.
Well steemian, The tradition of wander still entrapment among the people of Indonesia, this is evidence that traditions still entrust among the people of Indonesia, not only from the people of the province of Aceh, wander is also still entrusted to others diverse Indonesian society.
Nah steemian, sudah Anda lihat sendiri bukan tradisi merantau masih membudaya dikalangan masyarakat Indonesia, ini adalah sebahagian bukti bahwa tradisi merantau masih membudaya dikalangan masyarakat Indonesia, tidak hanya dari kalangan masyarakat provinsi Aceh saja, merantau juga masih membudaya bagi sebahagian masyarakat Indonesia yang beragam lainnya.
Aceh sumatra, Indonesia
Thank you for taking part in this months #culturevulture challenge. Good Luck.
My pleasure :)
Dimana langit dipijak,, disitu langit kita junjung, saudara ku,, sukses terus bersama,,!!!
Dimana ada diriku.. Disitu ada dirimu @abieikram.. Ha ha ha ha
Meuseu kheun abie.. bungkoh aneeuk a**ee.. berngkat... he he he...
Beu jelas.. Bek pakek kode HTML..
Haaa Haaaa Bungkoh Aneuk a**ee haa haa that paloe teuh,, :D
Proud to be a part of Aceh after all
Must be proud be an Acehness :)
merantau is moving forward for your bright future..
I think that a good Word for title, but Still confuse the reader ha ha ha ha.. I would like to correct it.. :D
Saya tetap menagih mie aceh buatan adikku sendiri! Hahaha
Ea ntar di Aceh aja, susah cari bahan di Bandung.. Ha ha ha ha
Bereh Bajaj jenis shukoi. 👍
Wkwkkwkwkkwkw.. Turbo..
And... I am also one of the Pidienese who is in this nomads tradition, dear! Haha.
Glad to read to article, bro. Nice share!
Pidie selalu menjadi motivasi bagi orang orang Aceh lainnya cut kak ku.. :)