Tak ada yang salah dengan mimpi. Selama yang kamu inginkan baik dan bermanfaat, kenapa tidak?
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, mimpi diartikan sebagai
mim.pi
- sesuatu yang terlihat atau dialami dalam tidur
- angan-angan
Sedangkan impian berarti
impi >> im.pi.an
(barang) yang diimpikan; barang yang sangat diinginkan.
Daaan... Ini tentang mimpi dan impian bagiku
Dulu ketika aku masih kecil sama seperti kebanyakan anak lainnya, aku juga pernah bingung dengan pertanyaan "Jika besar nanti kamu ingin jadi apa?" atau "Apa cita-citamu?". Tentu saja kala itu, selayaknya anak-anak aku ikut menjawab "GURU". Ya... jawaban klasik sejuta umat di usia sekolah selain pilihan tambahan seperti dokter, tentara dan polisi.
Menjelang dewasa, jawaban tentang pertanyaan tersebut terasa mudah bagiku. Setiap ada pertanyaan yang mengarah kepada mimpi atau cita-cita dengan tegas aku selalu menjawab -guru-. Secara kebetulan mimpi itu tampak semakin jelas dan spesifik. Ayah merupakan alumnus FKIP di kampus negeri di kotaku, Ibu juga salah satu lulusan Tarbiyah di kampus Islam negeri di kota ini. Mereka tak pernah mempengaruhi ku ini-itu. Melihat beberapa guru Sekolah Dasar yang baik hati menjadi motivasi tersendiri bagiku.
Motivator ku pun semakin hari semakin spesifik. Wali kelas enam yang mengajarkanku tentang cara menulis angka empat (4) dengan cara yang benar. Hingga beberapa kali penggaris kayu mendarat di tangan ku untuk itu. Minat akan angka yang memang mulai tumbuh sejak Taman Kanak-Kanak karena Ayah yang selalu mengajarkan berhitung dengan cara yang menarik. Di dukung lagi dengan 6 tahun Sekolah Menengah dengan wali kelas yang keseluruhannya guru matematika. Akhirnya, Guru dengan spesifikasi pengajar matematika adalah mimpiku.
Lulus di Sekolah Menengah Atas aku pun mendaftarkan diri di sebuah universitas negeri. Saat itulah upaya pencapaian mimpi di uji oleh Sang Maha Cipta. Keluarga besar yang menarik jauh mimpi ku dan menyodorkan mimpi baru yang sama sekali tak pernah ku inginkan. Dokter, Perawat, Rumah Sakit, Iodine dan segala kisah "berdarah" disana sama sekali bukan minatku. Mencoba menghindar dengan berbagai alasan namun takdir sepertinya ikut menyudutkanku. Hingga jadilah... Ilmu Keperawatan menjadi pilihan utama dan Pendidikan Matematika sebagai cadangannya. Dalam hati tetap saja aku meminta diluluskan di pilihan kedua meski mungkin nilai ujianku akan cukup untuk pilihan pertama.
"... Tetapi boleh jadi kamu tidak menyenangi sesuatu, padahal itu baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu tidak baik bagimu. Allah Mengetahui sedang kamu tidak mengetahui". (Q. S. Al-Baqarah : 216)
Begitulah, janji Allah dan pengumuman kelulusan yang terbaca saat itu adalah Ilmu Keperawatan. Meski cemberut, dengan beasiswa tentu aku harus terus menyupayakan nilai yang tak menyentuh batas minimal. Menjalani semuanya sebaik yang ku bisa hingga lulus dengan IPK yang cukup. Melelahkan memang, mencapai sarjana namun masih harus berstatus mahasiswa kepaniteraan. Menjelang kelulusan profesi aku mendapat informasi kegiatan volunteering yang menarik. Membutuhkan volunteer yang akan di tempatkan di beberapa desa terpencil di provinsiku sebagai pengajar.
Pengajar. Tentu aku berminat, langsung saja mendaftar. Mengajar meski tak di sekolah formal. Belajar tetap saja belajar walau dengan bermain. Membaca dan menulis dengan kurikulum menarik menjadi fokusku saat ini. Pastinya dalam setiap kesempatan aku menyelipkan berhitung sebagai kurikulum. Disinilah aku sekarang, mengikuti takdir yang tak pernah salah. Hanya perlu kesabaran dan kepercayaan. Aku, dengan Ns. yang selalu menjadi susunan huruf awal di nama akademik ku tapi di panggil Ibu Guru oleh masyarakat di desa. Dengan sebutan guru impian, dalam program ini. Semoga saja mimpi ini terus berjalan baik dan bermanfaat.
Janji Allah itu pasti. Tidak menjadi guru (yang ku sukai sejak awal) justru Allah jadikan mimpi yang ku punya sebagai pengantar untuk menghasilkan impian-impian yang semakin bermakna.