Al-Qur'anul Karim yang diwahyukan Allah Swt kepada Nabi Muhammad Saw merupakan dasar hukum yang pertama dan utama dalam menetapkan hukum Islam agar dapat membedakan yang halal dan haram. Sedangkan hadits Nabi Muhammad saw merupakan sumber yang kedua. Dengan memperhatikan kedua surnber tersebut serta menerapkannya dalam kehidupan niscaya kita akan terlepas dari siksa Allah Swt.
Praktek riba yang telah mendarah daging dalam kehidupan manusia sekarang, bahkan sejak zaman dahulu semasa pra Islam riba juga merupakan pekerlaan yang sangat digemari walaupun sangat dilarang oleh Allah Swt. Oleh karena itu penulis mencoba untuk membahas tentang masalah yang timbul akibat praktek riba tersebut, baik terhadap individu, keluarga maupun masyarakat.
Praktek riba yang notabene memakan harta orang dengan tidak wajar menurut syara' sangat membahayakan hidup manusia bahkan turut mempengaruhi pendidikan anak, baik secara langsung maupun tidak langsung. Dalam hal ini anak sebagai amanah Allah Sw merupakan tanggung jawab orang tua untuk mendidiknya. Sementara tujuan pendidikan Islam itu sendiri adalah untuk membentuk manusia yang muttaqien, sedangkan riba hanya menjadikan menjadi egois dan materialistis.
Menurut Syeh Mahmud Syaltout, Riba menurut pengertian 'uruf pada waktu turunnya Al-Qur'an adalah hutang yang terjadi antara seseorang dengan orang lain, lalu yang berpiutang menagih hutangnya tatkala sampai masa tangguhannya lantas si berhutang mengatakan pada si pemberi hutang untuk meminta tangguh atas hutangnya "hutangku akan saya tambah". Maka kedua belah pihak melakukan hal yang demikian itu. Sedangkan Riba menurut istilah syara' ialah '. “ 'Akad yang terjadi dengan penukaran tertentu, yang tidak diketahui sama atau tidaknya menurut aturan syara' atau terlambat untuk menerimanya.”
Dari beberapa pengertian di atas kita dapat menyimpulkan bahwa yang dimaksud dengan riba disini adalah melakukan suatu transaksi dengan syarat tambah diatas modal atau ketentuan yang didasarkan atas waktu atau yang disyaratkan dalam 'akad. Dengan kata lain, mencari keuntungan dalam suatu transaksi dengan cara yang dilarang oleh syara'.
Masalah riba disebutkan dalam Al-Qur'an di beberapa tempat secara berkelompok, yaitu surah ar-Rum : 39, surah an-Nisa:160-161, surah Ali ‘Imran : 130, dan surah al-Baqarah: 275-280. Untuk menjelaskan pengertian riba dan hukumnya, para ‘ulama fiqh menjadikan surah Ali 'Imran dan surah al-Baqarah tersebut sebagai dasar berpijak. Hal ini disebabkan karena dalam kedua surah tersebut ditegaskan hukum riba.
Larangan riba dalam Islam dapat diketahui dengan mempelajari Syari’atnya. Oleh karena itu Islam menyuruh manusia untuk terus mempelajari berbagai ilmu pengetahuan agar dapat mengetahui cara-cara berhubungan dengan Allah Swt, berinteraksi dengan sesama ummat dan juga dengan lingkungannya.
Dalam Tulisan ini, penulis ingin menganalisa tentang pengaruh riba terhadup pendidikan anak, Pengaruh dalam pengertian bahasa Indonesia adalah: "Daya yang timbul atau yang ada dari sesuatu, baik dari manusia, benda dan lain sebagainya. Pengaruh yang penulis maksudkan disini adalah suatu akibat yang dapat timbul dari praktek riba terhadap proses pendidikan anak. Pengertian pendidikan dalam arti yang lebih luas adalah:”.....semua perbuatan dan usaha dari generasi tua untuk mengalihkan pengetahuan, pengalaman, kecakapan serta ketrampilan.....Dalam hubungan ini maka pendidikan adalah suatu usaha untuk membawa si anak yang belum dewasa ke tingkat kedewasaan dalam arti sadar dan mampu untuk memikul tanggung jawab atas segala perbuatannya baik secara moril maupun spirituil.”
Dari paparan pengantar di atas penulis ingin meagetahui sejauh mana pengaruh riba dalam pembentukan jiwa anak pada umumnya dan pendidikan anak pada khususnya dan penulis mengharapkan supaya dapat memberikan sekelumit pemikiran kepada ummat Islam tentang keberadaan praktek riba yang sangat membahayakan kehidupan manusia baik kehidupan duniawi maupun ukhrawi.
Riba Dalam Lintasan Sejarah
Bila dikaji tentang masalah riba, maka akan didapati bahwa prakteknya sudah lama sekali berkembang, namun dalam sejumlah literatur hanya dimulai dari kelakuan orang-orang Yahudi. Orang Yahudi tetap mempraktekkan riba walaupun dalam agamanya juga dilarang. Mengenai tingkah laku ummat Yahudi ini dapat dilihat pada firman Allah Swt dalam Al-Qur’an surah An-Nisa’ yang artinya “Dan karena mereka mengambil riba, padahal mereka dilarang mengambilnya dan karena memakan harta orang dengan jalan yang batil. Kami sediakan untuk orang orang yang kafir itu siksaan yang pedih (QS An Nisa’:161).
Pembicaraan tentang riba pada surah an-Nisa' tersebut berupa informasi bahwa diantara kezaliman orang Yahudi dulu adalah melakukan riba padahal mereka sudah dilarang untuk itu. Pada surah ini tidak terdapat adanya ketegasan mengenai larangan riba. Di Madinah, riba dipraktekkan oleh orang Yahudi, kendati mereka sendiri tahu bahwa riba itu dilarang oleh agama mereka. Agaknya orang Yahudi sadar bahwa praktek riba merupakan senjata untuk melumpuhkan ekonomi kelompok lain, termasuk kelompok Islam.
Sesudah itu agama Nasrani datang ke dunia ini dan turut melarang riba tetapi ummatnya membangkang. Para pedagang (ummat Nashrani) mempraktekkan riba dengan sistim dua sukatan, satu sukatan untuk membeli barang dan yang lain untuk menjualnya. Sukatan pertama lebih besar sisinya sedangkan yang kedua lebih kecil. Pada mulanya sistim ini ditentang oleh yang teraniaya akan tetapi lama kelamaan sudah menjadi kebiasaan mereka.
Di zaman Jahiliyah juga terjadi riba, seperti Thaif dengan sistim bila seseorang meminjamkan uang kepada yang lain untuk suatu jangka waktu tertentu. Setelah tiba janji tersebut, si peminjam memintakan kembali utangrya dan ditambah dengan kelebihan (riba). Bila pada waktu itu yang meminjam tidak melunaskan, maka hutang tersebut terus bertambah, sampai yang meminjam menjadi budak si peminjam. Di kota Mekkah pada masa Jahiliyah juga banyak terjadinya praktek riba. Banyak diantara penduduk yang terlibat didalamnya, diantaranya adalah Abbas (paman Nabi), Khalid bin Walid dan Usman bin Affan (sebelum mereka memeluk agama Islam).
Khudlary Beik dalam bukunya mengatakan bahwa : di Madinah juga terjadi hal yang sama (riba). Seseorang memberi pinjaman kepada orang lain sejumlah uang untuk jangka waktu tertentu. Kemudian pinjaman itu terus menerus bertambah (bila tidak dibayar) sampai akhirnya harta benda yang meminjam itu habis.
Seperti halnya di Arabia, di sana terdapat banyak suku (tribe) dan cabang-cabangnya (clan). Quraisy nama suku dimana Muhammad Saw berada di dalamnya, adalah "penguasa" Makkah menjelang Islam. Untuk mengarungi padang pasir yang amat luas di Arab, solidaritas kesukuan mutlak diperlukan. Meskipun solidaritas suku dan klen manjadi dasar stabilitas sosial mereka, tapi pertengkaran antar suku bahkan antar klen sering kali tidak dapat dihindarkan. Dalam hal tertentu, individualisme muncul.
Disini dapat dilihat bahwa warga klen yang ekonominya membaik, menjadi kaya, cenderung mengabaikan kewajiban solidaritas tersebut. Kemudian mereka menempatkan harta sebagai tempat bergantung untuk kehidupan mereka. Karena itu, penumpukan harta harus mereka kerjakan walaupun Allah Swt melaknati mereka yang mengumpulkan harta tersebut.
Hal ini dijelaskan Allah Swt dalam Al-Qur’an surah al-Humazah ayat 2-4 yang menjelaskan “Yang mengumpulkan harta benda dan menghitung-hitungnya. Ia mengira. bahwa hartanya itu akan mengekalkannya (buat hidup di dunia). Tidak, sekali-kali tidak, sesungguhnya dia akan dilemparkan ke dalam neraka (hutamah)”.
Dalam bukunya Watt menyebutkan bahwa dalam masyarakat Makkah tempo dulu, yang melatar belakangi sifat individualisme dan melepaskan diri dari solidaritas kesukuan adalah kehidupan komersil. Hubungan bisnis sering kali memisahkan orang dari hubungan klen.
Untuk memperoleh harta, segala cara mereka tempuh; seperti tidak jujur, praktek riba, dan lain-lain. Riba yang dipraktekkan pada masa Jahiliyah itu adalah “peminjaman berjangka waktu dengan kelebihan yang disyaratkan. . . kelebihan itu adalah ganti daripada jangka waktu itu” Pada permulaan Islam berkembang, riba masih juga terbayang oleh kaum muslimin. Hal ini dapat diketahui dari Asbabun Nuzul ayat yang mengharamkan riba (Surat Ali Imran, 130). Menurut Al-Quffal : Sebab ayat ini didatangkan Tuhan di tempat ini, adalah karena kaum muslimin melihat kaum musyrikin Mekkah dapan menyusun suatu angkatan perang yang besar untuk memukul kaum muslimin dengan hasil riba dan sebagainya. Allah Swt tidak suka manakala kaum muslimin berpikir pula hendak mencari perbekalan perang dengan memakai riba sistim.
Walau sudah ada suatu ketentuan hukum dalam syari'at Islam sebagaimana tersebut diatas, tetapi riba juga masih saja dipraktekkan oleh kaum muslimin hampir di segenap penjuru dunia. Di lndonesia saja menurut penelitian dari LP3ES (Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial) :
Riba masih banyak dipraktekkan baik di kota-kota maupun di desa-desa, misalnya seseorang meminjamkan uang sebesar Rp. 100.000,- maka dalam waktu sebulan uang tersebut harus dikembalikan Rp. 110.000,-. Bila masa pengembaliannya masih tertunda, maka jumlahnya semakin membengkak.
Di Aceh misalnya, daerah yang akan diterapkan Syari'at Islam, masalah riba juga masih sedang mekar-mekarnya hingga merata ke pelosok- pelosok desa. Hal ini lebih kentara terlihat saat orang miskin yang membutuhkan uang dan meminjamkannya pada orang kaya (yang mau melakukan riba).
Berdasarkan uraian-uraian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa : riba merupakan penyakit sosial yang dilarang oleh Allah Swt walaupun sudah sangat lama dipraktekkan. Sejarah membuktikan bahwa jauh sebelum kedatangan Islam, praktek riba sudah menjadi suatu kebiasaan dan merupakan jalan termudah untuk mengumpulkan kekayaan. Kurangnya keimanan merupakan faktor yang menyebabkan manusia dengan mudahnya berbuat ingkar kepada Allah Swt, dalam hal ini pelaksanaan praktek riba.
Dasar Hukum Riba
Al-Qur’an merupakan yang terpokok dan meqjadi sumber hukum yang utama sebelum Hadits Rasulullah Saw dalam menetapkan hukum Islam. Demikian juga halnya dengan masalah pelarangan riba, selain Al-Qur’an sebagai dasar hukum utamanya, hadits Rasulullah Saw juga merupakan dasar hukum yang menjelaskan tentang larangan riba tersebut. Dalam Al-Qur'an surah Ali Imran ayat 130 dijelaskan “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba yang berlipat-lipat ganda dan takutlah kepada Allah, mudah-mudahan kamu mendapat kemenangan”.
Selain terdapat dalam Al-Qur'an, larangan perbuatan riba juga disebutkan dalam beberapa hadits Rasulullah Saw, diantaranya adalah: “Rasulullah Saw telah melaknat orang makan riba, yang memberi makannya, penulis dan saksinya, mereka itu sama (menanggungnya)”. Dan Hadist “Riba itu mempunyai 73 pintu, sedang yang paling ringan ialah seperti seseorang bersetubuh dengan ibunya, tapi sejahat-jahatnya ialah mengganggu kehormatan seseorang muslim”.
Dari beberapa ayat dan hadits yang tersebut di atas dapat mempertegas kepada kita bahwa yang termasuk kedalam katagori riba hukumnya haram dan mendapat kutukan (laknat) terhadap pelakunya baik pemberi, penerima, penulis maupun saksinya.
Macam Riba
Sebagaimana tersebut di atas bahwa perbuatan riba hukumnya haram, maka sebelum penulis membicarakan tentang jenis-jenis riba, terlebih dahulu penulis kemukakan beberapa benda yang dalam prakteknya sering menimbulkan riba. H.A. Halim Hasan, dkk dalam bukunya menyebutkan bahwa : “diantara benda-benda yang selalu mengandung terjadinya riba ialah emas, perak, burr (gandum), sya'ir (beras), tamar dan garam.”
Imam Nawawy membagikan keenam macam benda tersebut kepada dua bagian, yaitu :
Pertama emas dan perak, satu macam illat hukumnya, yaitu mata uang dan alat penukaran. Kedua, gandum, beras, tamar dan garam, keempat illatnya sama yaitu bahan makanan.
Apabila penukaran jual beli itu terjadi antara salah satu materi bagian pertama, yaitu antara emas dan perak dengan salah satu materi yang ke dua, yaitu satu dari tamar, gandum, beras dan garam, umpamanya emas dengan tamar dan sebagainya, maka illatnya yang terlarang yaitu hanya dua perkara : pertama; tambahan materi dan yang ke-dua tambahan waktu, sama sekali illatnya ini tidak berlaku lagi.
(Pendapat ulama yang lain) :
Imam Daud El-Zahiry (Imam mazhab Zahiry) dengan sekalian ahli zahir, demikian juga orang syi'ah, Al-Qassany dan sekalian orang kepercayaannya mengatakan : tidak haram riba pada materi yang lain daripada enam perkara tersebut. Demikian juga pendapat yang dihikayahkan oleh pengarang kitab Al-Hawy dari Thawus, Masyruq, El-Sya’by, Qatadah dan Usman Al-Bauty. Tetapi lain ulama berkata : Pengharaman riba itu tidak terbatas pada materi yang enam perkara tersebut, tapi juga mencapai yang lainnya yang mengandung illat riba yang menyebabkan riba itu terlarang. Dalam penentuan ini mereka tidak tidak mempunyai satu pendapat.
Emas dan perak menurut Imam Syafi’ie karena keduanya jenis uang (harga) illat ini tidak terdapat pada benda-benda yang lain. Menurut pendapat Imam Abu Hanifah : illat riba pada emas dan perak bukan bukan karena harga, bukan karena sukatan (timbangannya). Oleh karena itu segala apa yang dapat ditimbang seperti besi, tembaga, timah, kapas, linun, wol dan segalanya yang biasa ditimbang, juga disamakan dengan emas dan perak. Kendatipun demikian, Imam Abu Hanifah mufakat tidak berlaku hukum riba dalam materi besi, tembaga dan yang seperti itu, tapi haram pada tibri (tembikar).
Demikianlah beberapa pendapat ulama tentang barang-barang yang termasuk dalam jenis riba yang sering dipraktekkan oleh manusia.
Adapun pembagian (jenis-jenis) riba, para ulama berbeda pendapat. Diantaranya; Jumhur ulama membedakan kepada dua jenis, yaitu:
a. Riba Nasi-ah, yaitu riba tangguhan waktu yang berakibat juga penambahan dari modal. Misalnya, apabila seseorang meminjamkan gandum satu irdab (24 gantang) maka waktu mengembalikannya kemudian menjadi satu setengah irdab (36 gantang).
b. Riba Fadlal, yaitu menjual belikan suatu benda yang sama jenisnya tetapi berbeda sukatan atau timbangannya. Misalnya, menukar 10. kg gandum Hindia dengan 13 kg gandum lain, sedangkan mutunya sama.
Menurut lbnu qaiyyim, jenis-jenis riba itu dibagi dua yaitu:
a. Riba Jali, yaitu transaksi yang diharamkan karena mengandung kemudharatan yang besar. Riba ini merupakan inti dari persoalan riba. Riba ini sering dipraktekkan oleh masyarakat Jahiliyah dan sering disebut dengan riba Nasi'ah. Misalnya, seseorang meminjamkan uang sebanyak Rp.100,- dengan syarat harus dilunasi dalam waktu sebulan sebanyak Rp. 110,-. Jika dalam waktu itu belum dapat dilunasi, maka penambahan itu terus meningkat.
b. Riba Khafi, yaitu transaksi yang diharamkan karena mempunya wasilah (jalan) untuk terjerumus ke dalam riba jali. Dengan kata lain; Riba Khafi ini merupakan tindakan prefentif untuk menghindari dari riba jali. Riba Khafi ini juga dikenaldengan riba Fadlal. Larangan ini semata-mata karena adanya kekhawatiran jatuhnya ke dalam riba jali. Kalau di misalkan riba ini dengan adanya larangan melihat aurat wanita, karena menutupi terjadinya zina.
Menurut golongan Syafi'ie, membagi jenis-jenis riba itu kepada tiga, yaitu:
a. Riba Fadlal, seperti tersebut diatas.
b. Riba Nasi'ah, seperti tersebut diatas.
c. Riba Yad, yaitu menukar dua jenis barang yang berlainan jenis dengan bercerai pada tempat aqad. Seperti, menukar padi dengan garam yang salah satu dari keduanya ditukar (diserahkan) setelah bercerai ditempat aqad.
Menurut T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy juga membagi riba itu kepada dua jenis, yaitu:
a. Riba Fadlal, yaitu adanya unsur keuntungan kepada pihak penjual, seperti: membeli segoni gandum dengan satu setengah goni gandum lain secara tunai. Praktek ini adanya suatu unsur penipuan dari pihak penjual, baik secara rayuan ataupun kecohan lainnya.
b. Riba Nasi-ah, riba ini sering dipraktekkan oleh masyarakat Jahiliyah dulu.
Bebarapa nrmusan riba nasi'ah telah dikemukakan dalam mazhab-mazhab Fiqh. Dari berbagai rumusan tersebut, Wahbah al-Zuhaili, penulis buku Fiqh Perbandingan, menyimpulkan rumusan riba nasi'ah yaitu: “mengakhirkan pembayaran hutang dengan tambahan dari jumlah hutang pokok (dan ini adalah riba Jahiliyah)”.
Sedangkan 'Abd al-Rahman Al-Jazin, setelah mengatakan bahwa riba itu tambahan atas salah satu diantara jenis benda yang dipertukarkan tanpa imbalan, ia menyebutkan bahwa tambahan dalam riba nasi'ah itu imbalan bagi tenggang waktu.
Dari beberapa pendapat dan penjelasan tersebut, maka dapat memperjelas mengenai jenis-jenis riba yang sering dipraktekkan oleh ummat manusia. Walaupun dalam pembagian jenis-jenis riba tersebut masih terdapat perbedaan pendapat dikalangan ulama, namun pada hakekatnya semua bentuk (jenis) riba itu tetap diharamkan dalam agama Islam.
Sedangkan unsur-usur atau subjek dalam penggadaian adalah “rahin (yang menggadaikan barang) dan murtahin (yang menahan barang gadai). Objeknya adalah marhun (barang gadai) dan utang yang diterima rahin.”
Dengan adanya keterangan-keterangan di atas menunjukkan bahwa padadasarnva mu’amalah gadai ini dibolehkan dalam sayari’at Islam, sejauh tidak memungkinkan terjadinya riba. Karena dalam perjanjiannya dapat pula terjadinya riba sebagaimana dikemukakan oleh Azhar Basyir, MA, riba terjadi apabila dalam perjanjian gadai ditentukan bahwa rahin harus memberikan tambahan sejumlah uang atau prosentase tertentu dari pokok hutang pada waktu membayar hutang. Oleh kerena itu ada pendapat sementara ulama di Indonesia yang berkeberatan tehadap sistim Sarem dalam rumah-rumah gadai di Indonesia, sebab sudah dipandang sebagai riba yang dilarang’.
Tapi ada pula pendapat lain yang tidak berkeberatan terhadap sistim Sarem itu, karena memandang sebagai biaya pemeliharaan barang gadai; pertimbangan lain, rumah rumah gadai itu diselenggarakan oleh pemerintah dan prosentase Sarem itu relatif kecil, rasional apabila dipandang biaya pemeliharaan bagi barang gadai.
Dengan penjelasan tersebut dapat diketahui bahwa dalam praktek gadai juga tidak tertutup kemungkinan tedadinya riba. Bila gadai itu mempraktekkan riba maka gadai itu jelas diharamkan.
Pengaruh Riba
Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya bahwa riba termasuk salah satu perbuatan yang diharamkan dalam Syari'at Islam dan tidak diinginkan prakteknya dalam kehidupan bermasyarakat. Larangan terhadap praktek riba ini tentunya mempunyai nilai-nilai pendidikan yang tinggi, baik terhadap individu pelakunya maupun keturunannya.
Pengaruh yang merupakan daya yang timbul atau yang ada dari sesuatu, baik dari manusia, benda dan lain sebagainya. Tentunya dalam hal ini penulis akan menjelaskan tentang pengaruh praktek riba terhadap mental anak dan juga pengaruh riba terhadap keturunan.
Pengaruh Riba Terhadap Keturunan
Rasulullah Saw Bersabda: “Tidak masuk surga daging yang tumbuh dari jenis harta haram, tetapi nerakalah yang lebih berhak atasnya”. (HR Thabrani) . Adapun proses kejadian manusia (keturunan) di permukaan bumi ini dapat dilihat dari firman Allah Swt yang maksudnya “Dan sesungguhnya telah Kami ciptakan manusia dari sari pati (berasal) dari tanah, Kemudian Kami jadikan sari pati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal daging dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang. Tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami Jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha Suci Allah Pencipta yang paling baik” (Q.S. Al Mu’minun : 12- l4).
Jadi mengenai kejadian manusia sebagaiman digambarkan dalam firman Allah Swt tersebut bahwa manusia itu diciptakan dari tanah, kemudian mani, kemudian menjadi segumpal daging dan tulang belulang yang dibungkus dengan daging Akhirnya menjadi manusia dalam bentuk yang lebih sempurna.
Dalam proses kejadian tersebut, makanan yang dimakan oleh orang tuanya akan sangat mempengaruhi jiwa si anak. Untuk itu Allah Swt memerintahkan kepada ummat-Nya untuk memakan makan yang baik dan halal, sebagaimana firman-Nya dalam Al-Qur'an yang maksudnya “Hai Rasul-rasul, makanlah dari makanan yang baik, dan kerjakanlah amal shalih. Sesungguhnya Aku maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan” (Q.S. Al-Mu’minun : 51).
Perintah Allah Swt itu justru mempunyai pengertian bahwa dari hasil memakan makanan yang baik dan halal itu akan membuahkan keturunan yang baik pula. Sebaliknya dengan melarang memakan makanan yang dari harta yang haram itu disebabkan karena akan mempunyai pengaruh yang tidak baik terhadap keturunannya.
Akta, M dalam bukunya menyatakan bahwa: “ ...perkembangan manusia terpengaruh oleh kwalitas dan kwantitas makanan... “. Makanan bukan saja dapat mempengaruhi perkembangan phisik manusia, namun juga mempunyai kepentingan psychologis, sebab makanan merupakan unsur utama untuk mengadakan hubungan antara anak dengan ibunya. Dan Ibu merupakan kebutuhan sekunder makanan anak.
Dalam masalah adanya pengaruh jasmaniah dan rohaniah ibu terhadap perkembangan janinnya dapat dipelajari oleh ahli biologi atau psychologi. Ini karena adanya pengaruh kesehatan ibu terhadap perkembangan/pertumbuhan embrio (janin) dalam kandungan.
Mengenai pengaruh terhadap keturunan ini para ahli masih berbeda pendapat. Sebahagiannya menyetujui adanya pengaruh terhadap keturunan dan Sebahagiannya lagi menolaknya. Namun demikian pendapat yang paling tepat ialah walaupun keturunan banyak mempengaruhi segi pertumbuhan tubuh, sedikit banyaknya juga turut mempengaruhi pertumbuhan akhlak dan tingkah laku .
Selanjutnya K. Pearson mengemukakan pendapatnya bahwa “...setiap orang rnewariskan dari orang tuanya kemampuan, rasa malu dan bermacam- macam sifat dan keadaan kejiwaan seperti halnya ia mewariskan rupa, wama, tinggi dan sebagainya.
Untuk memperkuat argumentasi tentang pengaruh keturunan ini kita akan melihat beberapa pendapat ahli. H.C. witherington mengemukakan bahwa : “anak pada umumnya dijadikan dalam kemungkinan-kemungkinan bersamaan dengan orang tuanya, tapi mereka bukan merupakan kutipan dari orang tuanya. Anak lebih banyak mewarisi sifat-sifat dari orang tuanya.
Kemudian M.C. dougall menyatakan bahwa : “Naluri itu salah satu keturunan, maka manusia mewariskan naluri berbagai tingkat. Oleh karena itu kadang-kadang terjadi persamaan kejahatan antara orang tua dan anaknya.” Demikian juga dengan pendapat Arthur Schoupenhour (teori Nativisme), yang menyatakan bahwa : “perkembangan jiwa manusia itu tergantung sangat pada apa yang diturunkan melalui heredity orang tuanya.”
Jadi dengan demikian, anak sejak lahir telah membawa bentuk dan sifat tertentu yang kemudian dari sifat inilah akan menentukan keadaan individu yang bersangkutan. Bahkan orang Aceh pun mengakui adanya pengaruh keturunan terhadap pembentukan watak anak kelak, seperti pepatah yang mengatakan “ban u meunan minyeuk, ban ku meunan aneuk (bagaimana kelapa begitulah minyak, bagaimana ayah begitulah anaknya) Demikian juga “golongan Behaviouristen di Amerika yang menentang adanya pengaruh keturunan ini terpaksa juga mengakui kebenaran pendapat di atas pada manusia.”
Dengan rnelihat beberapat keterangan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa keturunan memegang peranan penting dalam menentukan watak anak kelak. Bagi orang yang selalu makan makanan yang baik dan halal, anaknya cendrung baik pula. Sebaliknya bagi mereka yang selalu makan makanan yang tidak baik atau haram misalnya dari hasil riba, maka anaknya akan cendrung kepada yang tidak baik.
Sesudah anak lahir ke dunia, lingkungan pertama yang dikenalnya adalah keluarga. Dari situlah mulai terjadi interaksi yang menentukan dalam pertumbuhan dan perkembangan seorang anak. Oleh karena ini ikatan sosial dan kejiwaan dalam keluarga akan membentuk pola kehidupannya. Sikap dan tingkah laku seseorang anak dibentuk oleh hubungan tersebut (aturan dan sebagainya). Karena pada dasarnya manusia ini adalah makhluk yang dinamis dan dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitamya. Dalam masalah pengaruh lingkungan ini H.C. Watherington mengemukakan bahwa, Suatu teori pendidikan yang berdasarkan doktrin tingkah kebudayaan ialah teori yang beranggapan bahwa sifat-sifat psikis adalah daya yang berkembang secara berturut-turut. Teori ini menganggap bahwa dalam pertumbuhan anak terdapat suatu periode yang disebut periode sensoris, ialah periode ini dimana anak mengumpulkan dan menyimpan kesan-kesan sensorisnya atau daya-daya inderanya atau kesan-kesan keinderaan.
Berdasarkan keterangan-keterangan di atas dapat diketahui bahwa kebiasaan lingkungan anak (rumah tangga, sekolah dan rnasyarakat) menjadi contoh teladan bagi sikap anak yang sedang tumbuh dan berkembang itu. Perkembangan watak itu melalui penglihatan, perlakuan dan tingkah laku lingkungannya. Kesan-kesan yang diperoleh itu membentuk kebudayaannya sendiri pada masa yang akan datang, karena tempaan melalui tradisi, adat istiadat dan norma- norma akhlak, larangan-larangan dan sebagainya. Begitulah anak berkembang dalam lingkungan sosial kulturalnya sampai ia dewasa, dan akhirnya akan membentuk kebudayaannya sendiri dengan cara meniru kebudayaan lainnya.
Dari penjelasan-penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa manusia adalah makhluk sosial yang dinamis dan cenderung mengikuti setiap perkembangan dalam suatu komunitas sosial seperti selalu meniru tradisi, adat istiadat. akhlak, kebudayaan dan sebagainya. Lingkungan masyarakat yang pola budayanya selalu melakukan perbuatan haram seperti riba, korupsi dan sebagainya akan membentuk wataknya yang sesuai dengan hasil sensoris dirinya. Dengan demikian sistem riba ini dapat mengakibatkan pengaruh yang tidak baik terhadap generasi yang akan datang.
2.2. Pengaruh Riba Terhadap Mental Anak
Praktek riba bukan saja dapat berpengaruh terhadap keturunan seperti yang telah diuraikan di atas, tapi juga dapat mempengaruhi mental dan tingkah laku. Pengaruh ini lebih disebabkan karena sifat manusia itu sendiri yang pada dasarnya cenderung kepada kebenaran dan kebaikan. Sedangkan perbuatan riba itu merupakan perbuatan yang mengarah kepada kejahatan dan penindasan terhadap kaum yang lemah. Kecenderungan kepada kebenaran ini disebabkan oleh factor, dalam diri manusia terdapat suatu kekuatan yang sewaktu-waktu memberi peringatan (isyarat) jika tingkah laku manusia berada diambang bahaya dan keburukan. Kekuatan-kekuatan tersebut adalah suara batin atau suara hati yang dalam bahasa Arab disebut dengan Dlammir, dalam bahasa Inggns disebut consience.
Suara batin atau kata hati dipengaruhi oleh norma kesusilaan, aturan-aturan tentang kebaikan atau kejahatan. “Adanya kata hati kita rasakan sebagai suatu rasa tanggung jawab terhadap sesuatu. Biasanya kalau kita langgar kita merasa bersalah atau berdosa.”
Sebaliknya dalam diri manusiapun ada suatu bisikan yang menggoda untuk berbuat kejahatan dan lazim disebut dengan hawa nafsu. Mengenai hal ini Allah Swlt dalam Al-Qur'an yang artinya “Dan aku (Nabi Yusuf) tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha penyayang” (Q.S. Yusuf : 53).
Dengan demikian jelaslah bahwa suara hati (suara batin) ini selalu senang kepada perbuatan baik dan merasa tidak senang (gelisah), cemas dan menyesal dari perbuatan keji dan mungkar. Melakukan perbuatan baik karena dorongan suara hati itu bukan karena takut kepada sesuatu ancaman atau mengharapkan sesuatu yang menguntungkannya ataupun sebaliknya; meninggalkan perbuatan keji dan mungkar karena takut, akan tetapi dilakukan atau ditinggalkannya karena mempunvai nilai-nilai positif, baik untuk diri pribadi maupun untuk masyarakat.
Oleh karena itu suara hati memegang peranan penting dalam kehidupan ummat manusia. Bila suara hati itu baik, maka baiklah tingkah lakunya, namun bila suara hati itu tidak baik maka akan mempengaruhi tingkah lakunya menjadi tidak baik pula
Dalam sebuah hadits Rasulullah Saw bersabda, ketahuilah bahwasanya dalam tubuh itu ada sepotong daging yang apabila baik, baik pula seluruh tubuhnya dan apabila rusak, rusak pula tubuh itu seluruhnya, yaitu hati (qalbu).
Dari pengertian hadits tersebut dapat diketahui bahwa pada setiap manusia itu mempunyai kata hati. Disebabkan ia mempunyai keterbatasan, maka disinilah diperlukan agama sebagai penuntunnya ke arah yang lebih baik dan sempurna. Oleh karena itu, agama dan suara hati ini membuat manusia hidup dengan aman lahir dan batin. Melawan agama dan kata hati hanya akan membuat manusia merasa cemas dan sengsara lahir batin.
Salah satu perbuatan yang melanggar agama dan kata hati itu adalah riba. Kontrakdiksi antara nilai tersebut dengan prakteknya dapat mengakibatkan gangguan kejiwaan. Hal ini disebabkan karena adanya: “..dua macam dorongan, di satu pihak larangan agama dan kata hati dengan dorongan nafsu kepada harta dan kesenangan dilain pihak.”
Kegoncangan jiwa dan mental ini akan mempengaruhi tingkah lakunya. Manifestasi dari kegoncangan itu terlihat adakalanya dalam bentuk phisik seperti berkeringat, kurang nafsu makan dan badan menjadi kurus. Dalam bentuk mental seperti rasa takut dan hilang kepercayaan kepada diri sendiri.
Demikian pula akibat dari kegoncangan jiwa dapat menimbulkan efek yaitu : Perasaan tegang dalam hidup kejiwaannya, seperti : marah, terkejut, cinta atau benci yang berlebih-lebihan. Biasanya efek disertai dengan peristiwa- peristiwa jasmaniyah seperti mencucurkan air mata, menggepalkan tangan, menggaruk-garuk muka dan sebagainya, sehingga kadang-kadang daya berpikirnya jadi lumpuh dan menyebabkan manusia tidak sadar terhadap apa yang diperbuatnya.
Praktek riba dapat menimbulkan rasa penyesalan dan rasa berdosa, karena pelanggaran yang dilakukan tersebut disebut dengan feeling. Feeling yaitu “merasakan keadaan yang menyenangkan atau tidak menyenagkan.” Dan riba ini jelas menimbulkan perasaan tidak menyenagkan, karena rasa berdosa dan malu. Perasaan berdosa itu timbul karena “menyadari bahwa sikapnya tidak sejalan dengan nilai moral yang seharusnya diikuti. Sedangkan perasaan malu disebabkan karena tidak menyenangkan tatkala berhadapan dengan suatu kenyataan dimana mendapat celaan.” Akibat-akibat dari perasaan tersebut akhirnva dapat menimbulkan perasaan khawatir sebagai reaksi dari takut terhadap peristiwa yang kemungkinan terjadi padanya.
Perasaan berdosa dan malu karena melakukan riba itu selalu membayang-bayangi dan akhirnya mengarah kepada prasangka sosial. Ia menyangka akan adanva hukuman kepadanya baik langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu dalam setiap kegiatan kemasyarakatan, seperti; berkumpul, bermusyawarah dan sebagainya, dia merasa seakan-akan merupakan ancaman yang diarahkan kepadanya. Akibatnya ia pun selalu menekan perasaannya dari ketakutan. Tekanan perasan itu adakalanya dalam bentuk represi, yaitu “suatu tekanan untuk melupakan hal-hal atau keinginan-keinginan yang tidak sesuai dengan hatinya.” Usaha-usaha seperti ini kadang-kadang mengakibatkan pada Kejang Hysteri, Yaitu: “badan menjadi kaku, disertai dengan teriakan-teriakan dan keluhan- keluhan.”
Demikian juga akibat dari riba itu dapat menimbulkan perasaan gelisah, kareena setelah menyerahkan pinjamannya ia selalu ragu-ragu apakah menguntungkan atau merugikan, sehingga ia tidak mempunyai ketentraman jiwa.
Dari uraian-uraian di atas dapat disimpulkan bahwa riba dapat mempengaruhi mental, baik penerima maupun perantaranya. Akibat gangguan mental kejiwaan itu, mempengaruhi tingkah lakunya. Dengan kata lain manifestasi dari gangguan mental, kejiwaan itu tercermin pada sikap dan tingkah lakunya.
Orang yang terlibat dalam kejahatan itu mempunyai hal-hal yang tidak beres dalarn jiwanya atau dengan kata lain ada gangguan kejiwaan. Setiap perbuatan yang dilakukan (kejahatan) sudah pasti tidak bisa dipertanggung jawabkan baik secara agama, moral dan sosial. Oleh karena itu Allah Swt mengumpamakan orang yang melakukan riba itu seperti berdiri syeitan.
PENUTUP
Penulis akan mencoba menarik kesimpulan dari pembahasan yang telah penulis uraikan, selanjutnya penulis ingin mengajukan beberapa saran yang kiranya dapat berguna bagi bahan pertimbangan dan mungkin dapat dipergunakan dalam upaya mencegah perbuatan riba yang tentunya dapat mempengaruhi pendidikan anak.
Riba adalah aqad yang terjadi dengan penukaran tertentu yang tidak diketahui sama atau tidaknya menurut ketentuan syara’ atau terlambat menerimanya. Riba merupakan sub sistem ekonomi yang berprinsip menguntungkan kelompok orang tertentu tetapi mengabaikan kepentingan masyarakat luas. Hal ini telah menyebabkan terjadinya berbagai kesenjangan sosial dalam masyarakat. Kemudian AI-Qur'an datang dengan seperangkat prinsip untuk membawa kesejahteraan ummat manusia di dunia dan akhirat.
Riba disebabkan karena lemahnya iman, zalim terhadap hukum, besarnya nafsu serakah dan juga tingkat perekonomian yang tidak stabil dan merata. Larangan Allah Swt terhadap pra}tek riba mengandung berbagai hikmah yang antara lain adalah dapat terjalinnya hubungan baik dalam masyarakat, dapat terhindar dari memakan harta yang tidak halal, terhindar dari sifat menindas yang lemah dan dapat meningkatkan amal ibadah dengan sifat saling tolong menolong. Menghindari perbuatan riba merupakan bagian dari pengamalan perintah Allah Swt dan Rasul-Nya seperti yang terdapat dalam Al-Qur'an dan Hadits. Namun sebaliknya, lebih tegas lagi Allah Swt mengatakan bahwa orang yang melakukan riba seolah-olah menyatakan perang terhadap Allah dan Rasul-Nya.
Riba merupakan perbuatan yang dapat mempengaruhi pendidikan anak baik secara langsung maupun tidak langsung. Makanan hasil perbuatan riba yang diberikan kepada anak akan menyebabkan si anak tumbuh dan berkembang dengan jiwa yang egois dan materialis yang pada akhirnya akan mempengaruhi mental dan tingkah laku yang bersangkutan. Riba dapat menurunkan bahkan menghilangkan kesadaran hukum dalam bermasyarakat sehingga dapat mengancam keharmonisan dalam hidup bermasyarakat serta putusnya hubungan silaturahmi antar sesama manusia.
Menyadari besarnya akibat yang ditimbulkan dari perbuatan riba, maka diharapkan kepada seluruh ummat Islam untuk menghindari semua perbuatan riba. Untuk menghindari terjadinya praktek riba, kepada ummat Islam khususnya dan masyarakat umumnya untuk lebih meningkatkan kwalitas sumberdaya manusia melalui pendidikan terutama pendidikan agama serta lebih meningkatkan sikap saling tolong menolong.
Demikianlah beberapa kesimpulan dan saran yang dapat penulis kemukakan dalam pembahasan ini dengan harapan dapat memberikan manfaat bagi penulis sendiri juga bagi para pembaca sehingga dapat menambah wawasan dan ilmu pengetahuan khususnya mengenai praktek riba dan pengaruhnya terhadap pendidikan anak.
Kiranya dengan pembahasan ini dapat mendorong kita untuk terus berusaha menghindari praktek riba dalam kehidupan bermasyarakat. Pada kesempatan ini penulis sangat mengharapkan kritikan yang membangun dari para pembaca demi kesempurnaan penulisan ini.
Congratulations @yusfriadi: this post has been upvoted by @minnowhelpme!!
This is a free upvote bot, part of the project called @steemrepo , made for you by the witness @yanosh01.
Thanks for being here!!