Sumber: Al Makin, 2014
Salah satu sarjana yang mengubah saya seumur hidup menjadi penulis adalah (alm.) Prof. M. Nourouzzaman Shiddiqi, anak dari (alm.) Prof T. M. Hasbi Ash-Shiddieqy, salah seorang ulama dari Acehyang paling paling produktif di Indonesia. Saya sangat beruntung dapat menimba ilmu dari Prof. Nourouzzaman pada tahun 1997.
Saat itu, saya mengambil mata kuliah Sejarah Kebudayaan Islam, yang diampu oleh Prof Nourouzzaman dan asistennya. Sebagai mahasiswa dari Aceh, bukan main bangganya bisa masuk dan mendengarkan kuliah dari seorang profesor. Sosok Prof. Noer tinggi dan besar. Persis seperti orang Arab. Dalam perkenalan, saya mengatakan berasal dari Aceh. Begitu dia tahu dari Aceh, langsung dia katakan: 'Panggil Abu saja.'
Suaranya yg besar menggema ke seluruh ruangan. Rasa kagum saya tidak pernah sedemikian besar. Setelah masuk kuliah, saya langsung mencari buku yg dikarang oleh Prof. Nourouzzaman. Karena mata kuliah SKI, maka bukunya menjadi buku wajib. Sesampai di Kopma, saya membeli buku Jeram-Jeram Peradaban Muslim. Buku inilah yang membuka cakrawala tentang studi Islam. Saya membaca buku terbitan Pustaka Pelajar ini dengan penuh semangat. Bab favorit saya adalah tentang Riam Sungai Pemikiran Islam dan bab-bab tentang Aceh. Buku ini selalu menjadi rujukan saya untuk mendalami Pemikiran Islam. Singkat kata, saya mengenal Pemikiran Islam dari penulis Aceh.
Begitu saya pulang ke kost, saya melapor pada salah seorang mahasiswa doktoral dari Aceh, yaitu Abdul Mukti. Saat ini, Abdul Mukti adalah dosen Aceh yang mengabdi UIN Sumatra Utara. Begitu Bapak Mukti tahu, dia langsung mengajak saya ke rumahnya. Dia mengatakan, kalau Prof. Noer menyuruh memanggil nya sebagai Abu, itu merupakan panggilan anak kepada orang tua. Artinya, saya dianggap sebagai anaknya. Lantas, kami bertandang ke rumah Prof. Noer. Kami diterima dengan penuh kesahajaan. Dia menceritakan bagaimana ayahandanya menulis buku.
Salah satu pesannya kepada saya adalah meneruskan semangat menulis dari Ayahandanya kepada kami. Beliau mengatakan bahwa banyak ulama Aceh yang menjadi penulis terkenal. Itulah awal saya diberikan semangat dari seorang Abu Noer. Itu adalah pertemuan terakhir saya dengan Abu Noer. Karena selepas itu, yang masuk ke kelas kami adalah asistennya. Kalau saya tidak salah ingat, asistennya adalah Dr. Ahmad Patiroy, seolah dosen yang juga sangat bersahaja dan sederhana di UIN Sunan Kalijaga.
Setelah membaca buku Jeram-Jeram Peradaban Muslim, saya baru mengerti akan aliran pemikiran Islam. Buku ini bolak Balik saya baca. Poin-poin penting saya tandai. Buku ini benar mencerahkan saya sebagai mahasiswa semester 2 di Fakultas Syari'ah. Beberapa bulan setelah itu, saya membeli buku kedua Abu Noer yang berjudul Fiqh Indonesia. Buku ini adalah disertasi Abu Noer terhadap ayahnya. Adapun yang memberikan Kata Pengantar adalah Abdul Mukti, mantan menteri agama Republik Indonesia.
Buku ini pun saya baca secara seksama. Saya baru paham bahwa ide Fiqh Indonesia adalah karya putra Aceh untuk Nusantara dan dunia. Kisah Prof. Hasbi diceritakan sangat detail. Saya ikut bangga karena dalam buku itu disebut nama kampung halaman saya, Krueng Mane. Buku ini juga menceritakan berbagai gagasan Prof. Hasbi dalam bidang hukum Islam. Sesungguhnya, karya Prof. Hasbi sangat banyak. Belum ada sarjana Muslim di Indonesia yang menyamai karya dan pengaruhnya. Murid Prof. Hasbi tersebar di seluruh Indonesia. Karyanya diterbitkan di negeri tetangga.
Abu Noer betul-betul memberikan narasi yang sangat komprehensif tentang ayahnya. Buku Fiqh Indonesia adalah salah satu karya terbaik tentang bagaimana tokoh dan idenya disajikan secara utuh. Secara umum, dua karya Abu Noer telah memperlihatkan bahwa keistiqamahan dalam dunia intelektual merupakan perjuangan yang tidak berujung. Sosok Abu Noer dan ayahnya membuat semakin yakin bahwa menulis adalah proyek peradaban. Apa yang akan terjadi di Indonesia, kalau Prof. Hasbi tidak menulis, yang merupakan bahan ajarnya.
Begitu juga sosok Abu Noer telah mewariskan spirit kepenulisan kepada saya. Setelah berjumpa dengan Abu Noer, saya mulai menyadari bahwa menulis itu penting. Tepat tahun 1998, guru untuk menulis tersebut saya jumpai, yaitu Prof. Akh. Minhaji. Tahun 1999, saya pun kemudian berjumpa dengan Prof. Azra. Pertemuan dengan begawan ilmu ini memberikan gambaran tentang spirit, metodologi, dan pendekatan sejarah.
Karya-karya Abu Noer memang banyak berkutat pada sejarah. Prof. Akh. Minhaji dan Prof. Azra juga sarjana Muslim yang piawai dalam pendekatan sejarah sosial. Sebagai orang Aceh saya juga suka dengan sejarah. Pertemuan dengan Abu Noer adalah momen penting bagaimana saya utk istiqamah dalam dunia kepenulisan. Kita kadang-kadamg memerlukan guru rohani dan guru ideologi. Dugaan saya, keturunan Abu Bakar Ash-Shiddiq ini benar-benar hadir sebagai guru rohani dan guru ideologi.
![image](
Sumber: Nourouzzaman Shiddiqi, 1997.
Akhirnya, tulisan singkat ini bisa memberikan inspirasi bagi kita semua bahwa sesuatu pekerjaan harus dimulai dari spirit.
Ini tokoh yang harus kita kenang, jasanya besar untuk pendidikan! Salam secangkir kopi pak @kba13
Benar Bang. Mereka generasi awal sarjana yg menghiasi sejarah intelektual di Kota Pelajar....
Beruntung saya sempat diajar oleh Prof Nuruzzaman, meskipun satu semester. Dari beliau lah kami diajarkan bagaimana menalar sejarah secara rasional, tidak mistikal.
Benar Bang. Prof. Noer menampilkan sejarah sangat rasional. Riam Sungai Pemikiran Islam adalah bab favorit saya.
Lon pike soe @kba13, rupanya Tuanku lagoe. Saleum takzim ulon
Saleum Meusyen Kanda Adi.
Postingan yang sangat baik, Sebagai warga Krueng Mane Loen ikut bangga juga.
Dalam Fiqh Indonesia dijelaskan ttg madrasah yg ada di Krueng Mane. Begitulah sejarah jih.