Aku dan Mustafa Ismail telah berkenalan sejak tahun 90-an. Lelaki ini kelahiran Aceh, tepatnya di Trienggadeng 1971. Penyair yang juga menulis cerpen, esai dan resensi buku, serta agenda-agenda pertunjukan teater yang sering dimuat di Kompas juga pernah memakai nama pena Muista Fahendra. Taman Budaya Aceh pada masa itu menjadi rumah bagi setiap seniman termasuk penyair. Ia aktif juga di teater Bola pimpinan Junaidi Yacob.
Sejak tahun 1996 ia menetap di Jakarta. Tahun 1996 itu Mustafa dan beberapa penyair lainnya dari Aceh mengikuti perhelatan Mimbar Penyair Abad 21, usai acara Mustafa tak kembali ke Aceh, ia memilih bertarung di ibu kota negara. Sedangkan Aku tahun 1997 diajak Prof. Dr. Mursal Esten (Direktur ASKI Padangpanjang masa itu. Kini telah jadi ISI Padangpanjang) ke Padangpanjang untuk jadi Dosen. Lalu tahun 2001 aku pernah menulis puisi yang saya tujukan untuknya dimuat disalah satu media nasional.
PULANG
-Bagi Penyair Mustafa Ismail
sudah waktunya kita pulang. Mengetuk pintu
menata pekarangan rumah dengan cinta
biar gerimis masih mengurung perjalanan.
sudah waktunya kita pulang. Mengusir pipit
sedang makan padi muda agar tak menghitung
nama-nama di koran pagi dalam warung kopi. Lalu
menggantikannya dengan pertunjukan seudati selepas panen.
sudah waktunya kita pulang. Rakyat
di kampung-kampung menjawab keraguan sendirian. Kita ganti
warna hitam jadi putih antar ke pintu surga.
(mari jemput waktu lewat senyum di kening bulan)
-Padangpanjang, 2001-
28-30 Juni 2018. Melalui UPT. Pusindok ISI Padangpanjang, mempertemukan kami kembali. Mustafa kini telah menjadi Redaktur Budaya Koran Tempo. Lalu Pusindok mengundangnya untuk menjadi narasumber dalam pelatihan jurnalistik. Maka, bersualah kami, lalu kami bernostalgia tentang masa-masa di Taman Budaya Aceh. Baca puisi, diskusi, pertunjukan teater dan sampai pada polemik di Koran tentang kesenian sering terjadi antara kami berdua, ini menjadi kerinduan.
Berdasarkan kerinduan itu pula, pada saat mengantar Mustafa Ismail dan Gunawan Wicaksono ke Bandara Minangkabau 30 Juni 2018 (sabtu, malam minggu) kami singgah ke Taman Budaya Sumatera Barat di Padang. Sesungguhnya singgah ke Taman Budaya Sumatera Barat ini untuk mengenang masa-masa produktif dan kreatif kala di Banda Aceh yang posko kami adalah Taman Budaya Aceh. Beginilah cara kami mengenang aktivitas masa lalu yang luar biasa. Teruslah adikku, sahabatku kita telah memilih jalan untuk menentukan rumah masa depan. (***)
Iya, berada di Taman Budaya Sumatera Barat bersama Bang @sulaimanjuned serasa berada di Taman Budaya Aceh. Sungguh kenangan luar biasa. Kita tidak pernah menyangka pada suatu waktu --- kini -- justru bertemu di tempat yang tidak pernah kita bayangkan pada waktu itu. Beribu kilometer dari Aceh. Apalagi saya, tidak pernah bermimpi untuk pergi ke Jakarta, apalagi tinggal dan bekerja di kota itu. Terima kasih Bang Soel telah menulis ini dan membangkitkan kenangan yang tak terkira.
Begitulah adinda. Seperti kembali membaca peristiwa-peristiwa di Taman Budaya Aceh yang pada masa itu pernah kita lakoni ketika berada di Taman Budaya Sumatera Barat. Sama-sama adinda, kita memang harus menuliskan catatan ini. Salam
Wah ....persahabatan yang abadi karena ketulusan. Jadi terharu abangnda Ana membacanya. Sukses dan penuh berkah untuk kedua abang Ana yang baik ini. Saleum hormat selalu abangnda
Sama-sama adinda. Persahabatan itu memang harus dan terus dirawat agar abadi disetiap diri, karena sesunguhnya kita adalah saudara. Salam kembali adikku Ana. Salam