(sumber gambar: togerjacobsen.no)
Sebutlah wajah, untuk sebuah gambar dengan tingkat abstraksi yang amat. Sebutlah api yang padam dalam tubuh kayu. Pada sebuah tumpukan jerami, yang ditanyakan siapa merangkainya menjadi kubus-kubus pentas. Seorang bocah menari dengan badan berlumpur, kering di wajah hari.
Di depan sini, seorang tua dan topi yang menyembunyikan kerut matanya. Baju dengan kantung lebih banyak dari pada trend yang sedang marak. Lebih lawas dan lebih klasikal. Sebuah penokohan; sesorang yang tabah menyaksikan perjalanan dari masa lalu yang tak kalah runyamnya, di mata tua hanya untuk tarian bocah yang mungkin jadi cucunya sekiranya ia memilih menikah, beranak dan anaknya beranak, dari pada menyungsang menentang alam dengan mengurung diri demi sebuah persepsi yang utuh.
Seperti malam di antara cahaya bulan yang sebentar lagi akan genap dalam hitungan setengahnya. Saat itu anjuran yang baru aku dengar dari seorang perempuan tanpa bertanya dan menyata aku percaya kegadisannya. Memejamkan mata untuk menatap warna purnama dalam penampakan lebih sempurna dari sebelum dan biasanya, atau mungkin pula selanjutnya. Atau memilih meringkuk dalam penjara buku Jean-Paul Sartre, seperti yang malam membungkus bungkam dalam dialog, sempat menjadi anjuranmu.
Ada sebuah pertanyaan yang luput; mengapa engkau berhasil berdebat dengan kesendirianmu? Lalu sebagai imbalannya kau boleh berjalan dengan sepatu yang kau tenteng di tangah kerumunan, di sepanjang Malioboro, mengarah ke arah lapangan keraton. Kesendirian mendidikmu atau mungkin kau yang mendidik kesendirianmu dalam kadarnya, sehingga saat kita bertemu maupun sebelum itu; aku sudah pernah melihat kau melahirkan keunikan dan watak yang tegas. Dan, tentunya kau mengerti batas sebuah paham negasi.
Untuk pertanyaan yang belum pernah dan sangat ingin aku tanyakan, sangat mungkin jawaban yang bersileweran itulah salah satu dari kesalahan sebuah persepsi. Tidak ada lagi kopi yang membuatku lebih banyak mengagumi pekat, tentang tumpahnya sebuah resah. Tinggal barang selinting kelingking saja yang tak sinting, dan musik yang membongkar kobaran bara yang kuinjak malam itu di depan wajahmu yang kubelakangi.
Seperti katamu, dan Iwan Simatupang juga hampir sama. “Bahaya terlalu banyak membaca”. Benar. Bagiku setiap timeline yang lewat, yang bahkan bukan untukku adalah untukku, artinya aku harus merespon dengan harmonica yang entah kapan bisa kutiup untuk sekedar memerdukan di daunmu. Atau setidaknya untuk kau tahu sajalah, bahwa aku sudah banyak kehilangan bahasa untuk lebih ringan dalam bercerita, ber… dan cinta.
Empat atau lima tahun tanpa bercerita, ternyata sangat membahayakan. Ya, mungkin itulah gunanya sahabat seorang perempuan untuk lelaki, sesama atau sebaliknya. Empat tahun lebih, jelas lebih. Mungkin hampir seumur hidup. Sekitar dua puluh tahun, aku tidak pernah bercerita tentang cinta, ternyata lebih bahaya untuk proses menuju tahun yang ke dua puluh satunya. Mengapa? Kurasa engkau telah menjawabnya tempo hari, saat pertama kalinya dua buku beradu, dan dua mata saling berangkulan.
Pada tapak sandal dan sepatu sepeda, yang berkeling di kelingking kita adalah kemesraan yang imaji, dan mungkin kau tidak pernah, atau juga pernah; maka senyum adalah jawaban; bahwa bibir pernah berdekatan tanpa wajah bibir, dan mata yang menyatukan nafas yang bertengger dan yang bertengkar di jarak. Hanya imaji. Semakin kacau kalau sebuah bahasa jatuh dari langit tengkorak yang tumpul, lalu disajikan tanpa sebuah formulasi yang setidaknya mendekati sebuah ketepatan, ketepatan yang sudah ditolak sekalipun.
Sisanya, hanya tinggal beberapa purnama yang belum pernah. Aku harus menatapnya, lalu menggulingkannya dalam kamar tidur dan bacaku sampai aku benar-benar mengerti maksud pembicaraan temanmu itu; yang oleh sebab aku sedang berputar-putar di lingkar pertanyaan yang hampir sama, maka boleh jadi kau berikan anjuran itu bagiku sebagai sebuah jawaban.
Hanya tinggal purnama yang belum aku lihat, ketika ia kembali mengecil menjadi sabit atau sedikit gemuk. Sedikitnya Jean Paul Sartre, sudah sekira seratus halaman, meski tanpa sebuah arti kecuali aku semakin individualis dalam bercerita, tanpa kau mengertipun tak masalah lagi, walaupun masih menjadi masalah juga. Ini murni karena akibat dari sebab, aku membaca hanya untuk lari. Seperti dulu. Karena sedikit kemelut masih belum mampu tulisanku melerainya.
Untukmu, yang aku rasa telah menyungsangkan dunia kesungsangan. Kapan waktu, kita berdiri atau berlari, atau duduk di sejenis taman atau lautan bibir halaman yang luas, seperti pantai dan ekor kuda yang mengibas dan kanak-kanak dalam siluet yang menjadi pencahayaan orkes ombak dan anak udang, kepiting yang malu-malu; untuk saling bertanya, mengapa kita saling menjawab.
Sejauh ini dan sedekat itu, aku masih menunjukmu sebagai seorang yang mengerti tentang bahasa eksistensialisme. Tentunya, selain lelaki peniup suling di depan aula, di depan kayu dan di bawah daun yang gugur, sampai pecah dalam sebuah emosional yang entah bagaimana cara yang tepat untuk menempatkannya dalam sebuah rekaman yang untuh, mewakili apa yang nanti kita sebut-sebut sebagai; komprehensifisme, barangkali.
Seorang tua yang duduk di depan pentas jerami pulang tanpa arah yang jelas dengan sebuah tujuan yang pasti, dan tidak mungkin tidak pasti. Pertunjukan sudah selesai, sebuah seni tari eksistensialisme yang menampakkan kesialannya dalam kadar lebih dominan, tanpa panggung yang cukup dikenali, dan tokoh yang samar, pengulangan yang percuma.
Bocah berlumpur kering mengeras, tanpa esensi tanpa ruh, tanpa ada yang bisa ditangkap sebagai sebuah penghayatan umumnya. Seorang tua kembali duduk di antara jerami yang kaku, rumput yang bisu. Mencari tari kolektivitas yang sempat dikoleksinya.
Yi Lawe.
Yogyakarta, 25 Februari 2018.
Baik sekali kalau abang mau mendiskusikannya
Haha. . Apalah yang bisa kita diskusikan
Wah ini....perlu kopi dan tembakau ne
wadow.. Ada tuan guru.. Kopi dan tembakau hijau. .