Antara Tradisi Bemaling Masyarakat Rejang dan Lagu Samana

in #essay6 years ago (edited)


Sumber Gambar

Bemaling (bmaling) merupakan sebuah tradisi pranikah yang pernah hidup dalam masyarakat Rejang. Walaupun pada masa sekarang tradisi ini tidak begitu banyak terdengar lagi, namun masih ada pasangan laki-laki dan perempuan di beberapa tempat di daerah-daerah masyarakat Rejang yang melakukannya. Satu alasan terpenting pasangan tersebut melakukan bemaling, karena hubungan mereka tidak disetujui atau direstui orang tua, terutama dari orang tua perempuan. Laki-laki yang ditolak pinangannya, atau karena permintaan mahar yang terlalu tinggi dari pihak perempuan juga menjadi sebab laki-laki dan wanita sepakat untuk bemaling. Namun, sangat jarang terjadi, bemaling dilakukan sebagai akibat dari perbuatan yang melanggar tata susila.

Dalam melakukan bemaling, biasanya pihak laki-laki akan membawa lari wanita ke rumah orang tuanya atau kerabatnya. Saat membawa wanita itu pun, sang lelaki akan meninggalkan sebuah atau beberapa benda miliknya di rumah orang tua wanita itu, sebagai penanda, bahwa salah satu anggota keluarga dalam rumah itu telah dilarikan. Tanda itu mungkin bisa berupa cuk uleu/ulau (ikat kepala), baju atau juga berupa surat yang memberitahukan jika sang wanita telah dilarikan.

Bemaling ditujukan untuk “memaksa” orang tua wanita merestui hubungan mereka. Memang, yang sering terjadi, setelah peristiwa bemaling, biasanya laki-laki dan wanita akan “terpaksa” direstui dan segera setelah itu mereka akan menikah secara resmi.

Bemaling adalah laki-laki mencuri wanita. Pelaku utamanya laki-laki dengan subyek sasaran adalah wanita. Tapi adakah peristiwa yang sebaliknya, di mana seorang wanita “mencuri” laki-laki?

Dalam tradisi perkawinan masyarakat Rejang, pihak wanita adalah pihak yang menunggu lamaran. Wanita berdiri sebagai subyek yang pasif. Norma adat istiadat masyarakat Rejang tidak memberi ruang yang luas bagi wanita untuk menjadi pribadi yang mengambil keputusan. Sekilas ini seperti suatu kekangan, namun dalam norma adat, beginilah cara orang Rejang menempatkan wanita dalam posisi yang terhormat, yakni dengan memprivasikan diri wanita itu. Di rumah pun, lumrah terdapat ruang khusus bagi wanita, yang terlarang dimasuki laki-laki, bahkan ayah dan saudara laki-lakinya sekalipun.

Karena itu, bisa dikatakan peristiwa wanita “mencuri” laki-laki ini tidak akan pernah terjadi. Namun, sebuah lagu rakyat Rejang yang berjudul Samana menjadi sebuah rekaman peristiwa yang dikatakan tidak akan pernah terjadi ini. Wanita yang menjadi pelaku utama bemaling

Samana

Samana bemaling coa lak belek
Samana bemaling coa lak belek
(Samana, bemaling tidak mau pulang)

Dengan menggunakan pendekatan estetika reseptif, sebuah karya sastra atau juga folklor di balik teks-teks obyektifnya yang fiktif akan dipandang sebagai pancaran sejarah atau realitas suatu masyarakat. Struktur teks yang otonomi terjadi secara dialektis, dimana melalui teks dapat diverifikasi suatu konteks peristiwa di mana teks itu berasal dan oleh siapa teks dilahirkan.

Berdasarkan pandangan estetika reseptif di atas, berangkat dari pemahanan dan wawasan subyektif tentang tradisi masyarakat Rejang, maka secara heuristik, interpretasi bebas peristiwa di balik teks-teks lagu Samana adalah: ada seorang wanita yang jatuh cinta kepada seorang lelaki. Namun ternyata, cinta bertepuk sebelah tangan, karena lelaki sama sekali tidak menyukainya, atau juga karena lelaki itu sendiri telah punya wanita pilihan. Si wanita pun kemudian nekad mendatangi rumah laki-laki, yang kemudian bertahan tidak akan pulang, kecuali sang lelaki bersedia menikah dengannya.

Atau, dalam versi lain, ketidakpastian janji dari seorang pria untuk menikahinya, membuat sang wanita pun nekad mendatangi dan bertahan di rumah orang tua laki-laki, demi memaksakan janji untuk menikah itu segera dipenuhi. Walaupun telah diusir dan dijemput oleh keluarganya, wanita itu tetap bertahan tidak mau pulang, sebelum sang lelaki bersedia untuk menikahinya.

Apa yang dilakukan wanita tersebut tentu saja sebuah skandal yang menimbulkan pergunjingan dan menjadi bahan ejekan dalam masyarakat. Apa yang dilakukan oleh sang wanita dinilai sangat tidak pantas, menyalahi tradisi dan melanggar tata nilai adat yang berlaku.

Pergunjingan panjang dalam masyarakat berangkat dari motif utama, bahwa Samana melakukan bemaling kemudian tidak mau pulang dari rumah laki-laki, Samana bemaling coa lak belek. Motif ini begitu khas, sehingga mudah diucapkan dan diingat. Kekhasan ini tersosialisasikan secara luas, hingga kepada anak-anak.

Teks “samana bemaling coa lak belek” telah menggeneralisasi peristiwa apa (ontologis) yang telah terjadi, sekaligus juga sebagai ejekan kepada Samana. Akibat dari generalisasi ini juga, maka lagu Samana pun kemudian terciptakan. Pun sangat mungkin terciptakan secara anonimous.

Berbeda dengan lagu Samana yang berkembang sekarang, lagu Samana aslinya bisa dipastikan hanyalah sebuah lagu anak-anak dengan teks pendek dan berirama acak, tak beda dengan irama-irama ejekan lainnya. Kata-kata pendek yang diulang-ulang dan diteriakkan dengan sedikit berirama. Lagu Samana sama saja dengan irama-irama lagu sejenis hompimpah, atau irama anak-anak kecil mengejek: “orang gila! orang gila!”.

Saat lewat depan rumah Samana untuk pergi mengambil air di sungai atau pancuran, anak-anak sambil menenteng beberapa batang gerigik kosong akan menyanyikannya dengan maksud mengejek atas apa yang telah dilakukan Samana. Dalam istilah sekarang Samana dirundung atau di-bully. Gerigik yang masih kosong itu dipukul-pukul, sehingga menciptakan irama-irama yang juga acak sebagai musik untuk mengiringi lagu itu. Irama-irama acak itu selanjutnya dengan beberapa improvisasi tahap demi tahap menjadi harmonis sebagai sebuah musik yang teratur.

Gerigik sendiri adalah sebuah tabung bambu sepanjang 1 atau 2 ruas yang dipergunakan untuk mengambil air, sebagaimana fungsi ember pada masa sekarang. Air yang diambil dengan gerigik biasanya dipergunakan untuk air minum, menanak nasi, atau pun berwudu, sedangkan untuk mandi atau mencuci pakaian dan perabotan dapur masyarakat memanfaatkan sungai atau pancuran. Jika di masyarakat Rejang di wilayah pegunungan atau pedalaman gerigik terbuat dari bambu, maka di wilayah Rejang dataran rendah atau wilayah pantai gerigiknya terbuat dari buah berenuk (Crescentia cujete).

Bisa dipastikan, dengan adanya lagu ejekan ini, bahwa usaha bemaling yang dilakukan wanita itu gagal. Ia tetap tidak berhasil menjadi pasangan hidup sang lelaki. Namun, dengan lagu ini juga masyarakat melanggengkan kisahnya yang sangat kontras dengan tradisi yang berlaku di masyarakatnya itu. Juga dengan lagu ini, secara tidak langsung menjadi sebuah peringatan kepada anggota masyarakat lainnya agar tidak melanggar tradisi.


Sumber Gambar: Dokumentasi Sanggar Bumei Bermanei Merigi Kepahiang

Pada masa-masa berikutnya, dengan kreativitas seorang seniman, lagu yang berirama acak ini kemudian mendapat sentuhan estetis, sehingga dapat menjadi sebuah lagu yang “kaya”, sebagaimana yang berkembang saat ini. Bahkan kemudian diciptakan pula sebuah tarian rakyat yang berjudul “Gerigik”, di mana penari-penarinya membawa gerigik yang diiringi dengan lagu Samana. Telah terjadi transformasi atau alih wahana dari satu bentuk folklor ke bentuk foklor yang lain, dalam hal ini sebuah tradisi tutur menjadi tarian.

Tari Gerigik yang dimainkan oleh berapa orang anak-anak laki-laki dan perempuan, menggambarkan keceriaan anak-anak pergi ke sungai untuk bermain atau mandi, kemudian pulang ke rumah sambil membawa gerigik yang sudah penuh dengan air bersih. Apa yang tergambarkan ini, persis seperti dalam peristiwa yang melatarbelakangi lagu Samana, sebagaimana telah ditulis di atas tadi. Maka, lengkaplah sudah, integrasi lagu Samana dan tari Gerigik telah menjadi semacam proyeksi untuk mementasulangkan sebuah peristiwa unik yang pernah terjadi dalam masyarakat Rejang.

Lagu Samana secara de dicto telah mengabadikan sebuah peristiwa yang berkenaan dengan sebuah sistem sosial yang berlaku dalam sebuah masyarakat, dalam hal ini masyarakat Rejang. Di balik teks sederhana dalam lagu itu tersimpan enigma, yang hanya bisa dipahami dengan memahami juga konteks budaya yang melingkupinya. Namun, lebih dari itu, saya pribadi melihat, bahwa lewat lagu ini telah terekam juga sebuah upaya pemberontakan terhadap tradisi yang dilakukan oleh seorang wanita Rejang. Demi sebuah hasrat manusiawi, atau juga pemenuhan eksistensinya, telah terjadi peristiwa seorang wanita dengan berani melawan sebuah dominasi. Mencoba untuk keluar dari bingkai obyek lalu mau menjadi subyek, sang wanita sangat sadar, bahwa apa yang dilakukannya merupakan violensi yang akan menghadapkannya kepada sebuah resiko hukuman, minimal hukuman sosial dari masyarakat kepadanya.