Revolusi Industri 4.0 bukan hanya masalah teknologi baru, tetapi masalah gagasan baru. Berbeda dengan pemahaman banyak orang tentang disrupsi Industri 4.0, disrupsi tersebut tidak terjadi dengan acak. Disrupsi menyasar industri yang tidak efisien, contohnya industri transportasi, pemesanan tiket dan hotel dan sebentar lagi perbankan dan pendidikan. Customer sekarang berpikir mengapa saya harus membayar mahal, menunggu lama dan repot repot untuk hal hal yang bisa saya dapat lebih murah, cepat dan tidak repot.
Pebisnis lama, terjebak pada keyakinan-keyakinan usang. Bisnis hotel perlu modal besar, naik pesawat terbang memang biayanya mahal, buat supermarket perlu gudang besar. Keyakinan-keyakinan usang itu yang "membunuh" bisnis pemain-pemain lama.
Hal yang sama terjadi di desa. Berbeda dengan keyakinan banyak orang bahwa Revolusi Industri 4.0 akan menyulitkan desa, justru Revolusi Industri 4.0 akan membuka banyak peluang bagi desa.
Saat ini banyak start up didukung kemampuan teknologi tinggi dan pendanaan besar siap masuk desa. Mereka mengembangkan drone, dengan kemampuan pencitraan dan sensor yang super sensitif, sehingga bisa memotret warna daun, mengukur suhu, kelembapan dan mengkonversinya, dengan bantuan kecerdasan buatan, untuk menghitung jenis pupuk, komposisi dan takaran yang tepat untuk tiap pohon ! Sistem mekanisasi pengairan yang terhubung dengan kendali elektronik jarak jauh, bisa dikendalikan secara otomatis atau dimodifikasi lewat tablet/handphone. Hasil pertaniannya sudah terkoneksi dengan pasar nasional dan global lewat e-commerce. Inilah pola pertanian para millenial, mereka bertani dengan gadget.
Akan semakin banyak anak muda millenial, membawa teknologi digital untuk masuk ke desa, khususnya pertanian. Mereka melihat inefisensi terbesar industri di Indonesia ada di pertanian. Mengapa harga Alpokat Soe di NTT hanya Rp3.600 per kg dan menjadi Rp50.000 per kg di Jakarta ?
Desa bukan miskin potensi, ataupun sumber daya manusia. Desa hanya tidak memiliki konektivitas yang tepat. Infrastrukur yang jelek, skala produksi yang kecil-kecil dan menyebar, membuat produk desa kalah bersaing atau tidak menemukan ceruk pasar yang tepat. Sebesar-besarnya potensi di desa, tetapi kalau tidak konek dengan pasar yang membutuhkan maka akan sia-sia. Disinilah peluang terbesar generasi millenial dan teknologi digital untuk melakukan intervensi. Argumen kami yang terakhir disinilah peran strategis Bumdes. Bumdes bisa menjadi konektor, untuk menghubungkan potensi desa yang belom optimal dengan yang pasar, anak muda, teknologi digital dan jejaring pemasaran nasional. Inilah yang kami sebut Bumdes sebagai Konektor 4.0
Catatan penutup, jangan sampai dengan hadirnya Revolusi Industri masuk ke desa, desa menjadi maju teapi kehilangan jati dirinya. Harga itu akan menjadi sangat mahal di masa depan, karena selama ratusan tahun desa sudah mengajarkan pada Indonesia, bahwa kearifan lokal, semangat persatuan dan gotong royong, serta konsisten menjaga kelestarian alam adalah modal terbesar untuk bertahan dan berkelanjutan.
Rudy Suryanto
Founder Bumdes.id
Ringkasan materi yang disampaikan di "Konferensi Pembangunan Jawa Barat 4.0" memperingati Dies Natalis Unpad ke 61. Dari desa, untuk Indonesia, menuju pentas dunia.
Congratulations @azzuka! You received a personal award!
Click here to view your Board
Do not miss the last post from @steemitboard:
Congratulations @azzuka! You received a personal award!
You can view your badges on your Steem Board and compare to others on the Steem Ranking
Do not miss the last post from @steemitboard:
Vote for @Steemitboard as a witness to get one more award and increased upvotes!