Dalam Pengajian Tastafi yang digelar di Masjid Agung Baiturrahim Lhoksukon pada Jumat, 9 Maret mulai jam 20.00 hingga jam 00.00 WIB menghadirkan 3 orang pemateri, yaitu; Abi Lueng Angen, Waled Sirajuddin Matang Kuli dan Abati Muchtar Bayeun.
Abi Lueng Angen bernama lengkap Tgk H. Muhammad Ja'far bin H. Sulaiman merupakan putra asli Matang Kuli yang menuntut ilmu di Dayah MUDI Samalanga dari 1970-1977 kemudian dari 1977-sekarang beliau di Dayah Darul Huda Lueng Angen. Abi pernah menjadi Wakil Ketua MPU Aceh Utara, Penasihat Tastafi dan sekarang dipercayakan sebagai Pimpinan Dayah Darul Huda.
Waled Sirajuddin bin Hanafi akrab disapa Waled Babussalam asli Matang Keh, Pirak Timu lahir pada 10 November 1965 dan sekarang berdomisili di Desa Blang, Matang Kuli. Waled merupakan alumni Dayah Darul Ulum Tanoh Mirah, Bireuen. Sekarang Pimpinan Dayah Babussalam Matang Kuli dan sebagai Ketua Tastafi Aceh Utara.
Abati Aramiyah, itu sapaan untuk Abati Muchtar bin Ibrahim yang lahir di Desa Blang Lancang pada 3 Mei 1972 dan menetap di Bayeun sekarang sebagai Pimpinan Dayah MUDA. Abati merupakan alumni MUDI Mesra Samalanga. Abati juga Penasihat Tastafi Aceh Timur.
Sebagaimana diketahui bahwa Tastafi adalah singkatan dari Tasawuf, Tauhid dan Fiqah, maka pengajian tadi malam diasuh oleh tiga pemateri. Taswuf diasuh oleh Abi Lueng Angen, Tauhid oleh Waled dan Fiqah oleh Abati.
Mula-mula acara dibuka oleh Tgk Zulfadli yang akrab disapa Waled Landeng dengan pembacaan Selawat Kubra yang beliau terima ijazah dari Abuya Jamaluddin Wali setelah solat isya berjamaah. Selesai baca selawat, Tgk Zulfadli yang bertidak sebagai MC dalam acara itu meminta kata sambutan dari Bupati Aceh Utara, Bapak Muhammad Thaib kemudian kata sambutan sekaligus perpisahan dari Kapolres Aceh Utara, Bapak Ir. Untung Sangaji.
Selesai itu, ketiga pemateri dipersilakan menaiki panggung utama di depan masjid dan acara pengajian dimulai. Pertama-tama, karena seawal-awal ilmu yang wajib dipelajari adalah tauhid, maka tauhid didahulukan dalam pengajian dan diasuh oleh Ketua Ikatan Alumni Tanoh Mirah, Waled Sirajuddin Hanafi.
Waled menjawab beberapa pertanyaan dari 7 pertanyaan yang diajukan oleh panitia terkait ilmu tauhid. Kenapa beberapa saja yang dijawab? Karena waktu hanya 20 menit bagi setiap pemateri.
Berikut ringkasan dari jawaban Waled yang al-Faqir simpulkan:
1. Kenapa perlu belajar ilmu tauhid?
Aneh, sungguh sangat aneh pertanyaan ini. Ilmu lain saja kita pelajari, untuk ilmu tauhid malah ditanya kenapa perlu. Ya perlu, jawab Waled disambut suara para pendengar tertawa dengan lelucon Waled.
Waled melanjutkan, tauhid adalah dasar semua ilmu. Ilmu lain dibinakan atas ilmu tauhid. Bahkan dianggap bersalah mempelajari ilmu lain sebelum kadar wajib mempelajari tauhid terselesaikan.
Awwaluddin ma'rifatuLlah, dan tidak akan kita mengenal Allah kecuali dengan ilmu. Maka inilah ilmu tauhid perlu. Namun demikian, dalam hal mengenal Allah ada batas-batasnya. Seandainya belum sampai batas, kita dianggap belum ma'rifah, pun jika lewat batas kita bukan ma'rifah.
Adapun batasnya adalah: Laisa kamitslihi syai-un, sekali-kali tidak pernah serupa Allah dengan sesuatu. Jika terbayang Allah serupa dengan sesuatu, belum ma'rifah. Karena batasannya adalah perbedaan antara Khaliq dan Makhluq itu 100%, ketika ada nash yang seakan Allah serupa dengan makhluk wajib ditakwil.
2. Kenapa Allah tidak bisa dilihat di dunia?
Sebenarnya mungkin. Nabi Musa, beliau diketahui Nabi yang pernah berkalam dengan Allah. Bagaimana beliau berkalam, berdialog kah? Rasanya rancu jika berkalam itu kita maknai "berdialog", demikian Waled menegaskan. Karena makna berkalam di situ adalah Allah hilangkan hijab sehingga Nabi Musa mampu mendengar kalam Allah dan memahaminya, kön meuseu-ôt sambôt.
Nah, setelah Nabi Musa berkalam dengan Allah. Nabi pulang hingga Nabi sakit. Kenapa? Karena Nabi Musa muak dan jijik mendengar suara manusia setelah itu. Begitulah kelezatan yang Nabi Musa dapatkan ketika berkalam. Hatta Allah melupakan Nabi Musa akan peristiwa itu, barulah Nabi Musa mampu berbiacara kembali dengan manusia.
Setelah berkalam, timbul pula keinginan melihat Zat Allah dan ini dikisahkan dalam QS Al-A'raf. Intinya, Nabi Musa saja tak akan kuat. Itulah sebabnya kenapa Allah tidak bisa dilihat di dunia.
3. Benarkah Allah di langit sebagaimana yang dituduhkan oleh sekelompok orang aneh itu?
Waled kembali menjelaskan batasan mengenal Allah seperti tadi. Tak pernah serupa dengan makhluk. Jika kita tuduh di langit, mana alasannya? Isra dan Mi'raj. Ini tidak pernah menjadi dalil akan pernyataan " Allah di langit".
Langit, ketika Nabi Muhammad SAW bermi'raj hanyalah sebuah rute perjalanan. Bukan akhir dari perjalannya berjumpa Allah. Karena di langit ke 7 saja untuk menuju Sidratul Muntaha tidak diketahui lagi sejauh mana perjalanannya, kira-kira langit ke 7 adalah pertengahan. Artinya, dari langit 7 ke Sidratul Muntaha itu sama jaraknya dengan langit 7 kembali ke bumi. Dan jarak satu lapisan langit adalah 500 tahun perjalanan unta.
Setelah menembus langit ke 7 dengan perjalanan yang (mungkin) sama jaraknya kembali ke bumi, bisakah kita katakan itu langit? Pun hendak kita katakan itu atas, jika bumi bulat, bagaimanakah kita tunjukkan atasnya setelah menembus langit? Makanya, langit hanyalah sebuah rute perjalanan. Seandainya Allah mengkehendaki lewat bumi, bisa saja. Namun, kenapa mesti langit? Hikmahnya adalah hendak menampakkan malakutis sama` kepada kekasihNya itu.
Kesimpulannya, Allah tidak bertempat.
Jika hendak dikatakan Allah berada di atas arasy, dan arasy berada di atas langit. Maka pernyataan ini membuat akal bisa menalar bagaimana Allah duduk di atas arasy itu, pernyataan ini fasid karena melewati batasan ma'rifah.
Demikian ringkasan dari apa yang Waled sampaikan. Waktu habis dan dilanjutkan ke pemateri ke-dua, Fiqah oleh Abati Muchtar Ibrahim. Akan saya tulis di post selanjutnya, in syaa Allah.
Keterangan foto:
1. Desain spanduk dan baliho acara.
2. Cek Mad sedang memberi kata sambutan.
3. Abi Lueng Angen dan Abati Muchtar sejenak sebelum mengisi acara sebagai pemateri.
Informasi yang sangat bermanfaat
Silakan di resteem jika ingin manfaat ini tersebar luas.