Memahami dalil Al-Quran.

in #esteem7 years ago

Memahami dalil al-Quran dan Sunnah tidak bisa asal maen comot lalu disimpulkan akan tetapi harus lewat penjelasan para Ulama yang kompeten dalam hal ini ulama salaf serta melalui disiplin Ilmu yang ketat...
image
Penggunaan Dalil Dalam Istidlal

Oleh: Bahrul Ulum
SAAT ini ada sebagian kelompok mengaku golongannya saja yang mengikuti Al-Qur’an dan Sunnah sebagaimana dipahami oleh salafus shalih.
Mereka juga mengkampanyekan agar umat Islam hanya berpegang pada Al-Qur’an dan Sunnah dengan meninggalkan pendapat para ulama. Sebab menurut mereka, pendapat ulama tidak bisa dijadikan hujah untuk diikuti.
Untuk memperkuat pendapat tersebut, mereka kemudian mengambil pendapat Imam Hanafi yang pernah berkata,

ﻻ ﻳﺤﻞ ﻷﺣﺪ ﺃﻥ ﻳﺄﺧﺬ ﺑﻘﻮﻟﻨﺎ ﻣﺎ ﻟﻢ ﻳﻌﻠﻢ ﻣﻦ ﺃﻳﻦ ﺃﺧﺬﻧﺎﻩ
“Tidak halal bagi siapapun untuk mengambil pendapat kami, selama dia tidak mengetahui darimana kami mengambil (dalil)nya.” (Irsyad al -Nuqqad
ila Taisir al – Ijtihad , I/145).
Demikian juga pendapat Imam Ahmad bin Hanbal yang berbunyi:

ﻻَ ﺗُﻘَﻠِﺪْﻧِﻲْ، ﻭَﻻَ ﺗُﻘَﻠِّﺪْ ﻣَﺎﻟِﻜًﺎ، ﻭَﻻَ ﺍﻟﺸَّﺎﻓِﻌِﻲَّ، ﻭَﻻَ ﺍﻷَﻭْﺯَﺍﻋِﻲَّ، ﻭَﻻَ ﺍﻟﺜَّﻮْﺭِﻱَّ ! ﻭَﺧُﺬْ ﻣِﻦْ ﺣَﻴْﺚُ ﺃَﺧَﺬُﻭْﺍ
“Janganlah engkau taqlid kepadaku, jangan pula kepada Malik, Asy-Syafi’i, Al-Auza’i, ataupun Ats-Tsauri! Ambillah (hukum) dari sumber yang mereka mengambil darinya (yakni: dalil-dalil)!!” [Lihat: Muqaddimah Shifatush Shalaatin Nabiyy , karya Imam Al-Albani).

Berdasar pendapat tersebut mereka kemudian menyatakan bahwa kebenaran hanya ada dalam Al-Quran dan Sunnah karena keduanya merupakan dalil. Sedang pendapat ulama tidak layak diikuti karena ia bukan dalil.

Tentu pemikiran seperti ini terkesan benar, padahal sangat menyesatkan. Sebab kebenaran tidak hanya diukur dengan adanya dalil, tetapi juga perlu
istidlal (cara menggunakan dalil). Artinya, jika pengambilan dalil sudah benar, maka cara menggunakan dalil juga harus tepat sehingga pemahaman dan pengamalan terhadap dalil tidak keliru. Inilah yang dimaksud oleh Imam Hanafi dan Imam Hanbali di atas.
Sebab kalau hanya berpatokan pada dalil, kaum Syi’ah, Khawarij dan aliran sesat lainnya jika ditanya juga menggunakan dalil Al-Qur’an dan Sunnah.
Mereka sesat bukan karena dalilnya yang salah, melainkan cara menggunakan dalil yang keliru.
Karena itu kemudian para ulama membuat metode tertentu dalam menggali hukum syariah yang bersifat praktis dari dalil-dalilnya yang bersifat kasuistik.
Dari sinilah kemudian muncul apa yang dinamakan mazhab, baik dalam bidang aqidah maupun fiqih.
Meski mazhab Islam tersebut banyak, bukan berarti umat Islam tidak lagi memiliki kesatuan akidah, sistem dan politik. Perbedaan itu merupakan keniscayaan karena tidak semua orang sama ketika menarik kesimpulan ketika berhadapan dengan dalil.

Untuk konteks dalil qathi tentu tidak ada perbedaan terkait dengan penggunaannya untuk membangun argumen (istidlal). Yang berbeda ketika dihadapkan pada dalil yang zhanni . Hal yang sama juga terjadi dalam konteks dilalah nash-nash syariah tersebut. Sekalipun nashh-nashh tersebut qathi dari aspek sumbernya, dilalah-nya tidak selalu qathi. Sebab, ada juga yang qathi, dan ada yang zhanni . Dalam konteks
dzilalah qath’iyyah , tentu tidak ada perbedaan pendapat tentang maknanya. Yang berbeda hanya dalam dilalah
zhanniyyah.

Para ulama sepakat bahwa dalam konteks nashh-nashh syariah yang
qath’i tsubut dan qath’i dilalah , seperti al-Quran dan Hadis Mutawatir yang maknanya qathi, baik dalam masalah akidah maupun hukum syariah, atau
ushul dan furu’ , tidak boleh ada perbedaan pendapat. Dengan kata lain, berbeda pendapat dalam konteks ini hukumnya haram.

Adapun berbeda pendapat dibolehkan dalam konteks nash-nash yang zhanni , baik dengan qathi tsubut dengan zhanni dilalah, seperti al-Quran dan Hadis Mutawatir yang maknanya zhanni, maupun zhanni tsubut dengan qath’i dilalah, seperti Hadis Ahad yang bermakna qathi.
Karena itu salah besar jika ada kelompok tidak mau mengambil pendapat ulama karena dianggap bertentangan dengan dalil.

Perlu Banyak Piknik

Kita harus sadar bahwa terjadinya perbedaan dalam memahami dalil yang
zhanni sudah terjadi di kalangan sahabat, setelah Rasulullah wafat. Ketika beliau masih hidup, adanya perbedaan tersebut langsung diputuskan oleh Rasulullah, baik melalui wahyu maupun ijtihad beliau yang dibenarkan oleh wahyu.
Namun setelah beliau meninggal, berbagai persoalan yang dihadapi sahabat, berkaitan dengan berbagai permasalahan muncul. Untuk menjawab berbagai persoalan itu, para sahabat mengembalikan kepada Al-Qur’an dan Sunnah. Namun jika tidak menemukan di kedua kitab tersebut, mereka kemudian melakukan ijtihad. Dari ijtihad inilah kemudian muncul perbedaaan pendapat di kalangan mereka.

Perbedaan semacam itu kemudian juga terjadi pada generasi berikutnya. Namun perlu diketahui bahwa perbedaan (khilafiyah) itu terjadi dalam masalah furuiyah , bukan masalah yang prinsip atau ushuliyah.

Perkara-perkara khilafiyyah atau fiqiyah yang muncul di kalangan kaum Muslimin, tidak mungkin diselesaikan hari ini, sebab hal itu juga tidak mampu dilakukan oleh para ulama terdahulu yang jauh lebih paham dibanding ulama-ulama sekarang, sebab mereka lebih dekat dengan Rasulullah dan generasi Salaf.

Imam Malik dan Imam Syafi’i yang sama-sama dikenal ulama yang memahami Al-Qur’an dan Sunnah secara baik, masih terjadi perbedaan pendapat dalam mengambil kesimpulan hukum dalam beberapa hal yang bersifat zhanniyah.

Namun yang perlu kita pahami bahwa hasil ijtihad mereka jauh lebih tepat dibanding ijtihadnya orang yang tidak memiliki ilmu seperti mereka. Karena itulah para ulama setelahnya mengakui mereka sebagai seorang mujtahid yang layak mengeluarkan hukum-hukum (fiqh) berdasar kaedah (metodologi) yang mereka buat. Dari sinilah muncul mazhab yang dinisbatkan kepada mereka berdua. Demikian juga hal yang sama terjadi pada mazhab lainnya.

Yang juga perlu dipahami bahwa yang disebut ‘bermazhab’ bukan berarti
ta’asub (fanatik) kepada pandangan atau akal para imam-imam mazhab. Sebab pada dasarnya pandangan mereka didasarkan pada al-Quran dan al-Sunnah. Bahkan mazhab itu sendiri bukanlah pandangan seorang individu atau imam mazhab semata.

Dikatakan mengikuti mazhab Hambali, bukan berarti mengikuti pandangan Imam Hambali seorang diri, tetapi melibatkan sekumpulan alim ulama yang mengikuti kaedah dalam istinbat (mengambil kesimpulan hukum) berdasar kaedah dan kriteria Imam Hambali. Karena itu tidak benar jika dikatakan bahwa mengikuti mazhab seolah-olah tidak mengikut al-Quran dan al-Sunnah.

Menyadari perbedaan di kalangan ulama adalah sesuatu yang tidak dapat dielakkan, khususnya masalah cabang yang terperinci dalam ibadah, maka para ulama usul merumuskan sebuah kaidah yang berbunyi “kebenaran dalam perkara ranting (furu’ ) itu banyak.” Ini menunjukkan bahwa kebenaran dalam perkara yang bersifat furui’yah itu tidak mampu diseragamkan menjadi satu oleh ribuan ulama yang telah mencobanya sekian lama. Karena itu sikap terbaik adalah mencontoh para ulama dalam menyikapi perbedaan tersebut.

Imam al-Shatibi menulis, ”Sesungguhnya perbedaan pendapat yang terjadi pada zaman sahabat hingga saat ini berlaku dalam masalah-masalah
ijtihadiyyah. Pertama kali berlangsung sejak zaman Khulafa’ al-Rasyidin dan sahabat-sahabat yang lain, lalu terus sampai zaman para tabi’in. Namun mereka tidak saling mencela di antara satu sama lain. (Imam Suyuti, Kitab al-I’tisom 2/191).

Semoga kita semakin dewasa dan banyak melakuan ‘piknik’ ke kitab-kitab para ulama terdahulu.*
Peneliti Inpas.