Karena Aceh terbangun dari banyak kelompok masyarakat baik yang asli maupun pendatang, Raja sering kesulitan menghadapi berbagai aksi para tokoh berbagai kelompok ini sehingga sering terjadi (1). Konflik antar kelompok, (2). Konspirasi kelompok-kelompok tersebut dalam mengatur suksesi dan manajemen pimpinan kerajaan, (3). Sulitnya mengintrodusir unsur-unsur modern ke masyarakat (karena berpotensi mengganggu stabilitas pimpinan kelompok) dan lain-lain.
Para Sultan Aceh terdahulu berusaha mengatasi kesulitan ini, dengan mengumpulkan peraturan dan perundangan dari berbagai sumber khususnya dari Kerajaan Peureulak dan Samudera Pasai, yang mencakup aspek perdagangan, pelayaran, bea cukai, pembukuan, kepegawaian, tata tertib, dll. Namun belum disusun dan diimplementasikan manajemen ketatanegaraan dan pemerintahan secara utuh dan detail. Yang ada baru secara general, parsial, dan tidak seragam, terutama aturan dari masa Sultan Ali Mughayatsyah, yang dikenal dengan istilah "adat plakpleueng".
Menyadari perlunya keseimbangan antara aspek kepemimpinan dengan manajemen ketatanegaraan dan pemerintah yang baik, Sultan Alaidin Riayat Syah II Abdul Qahar (1539-1571) mulai menyusun UUD Aceh yang lebih terstruktur yang dinamakan Qanun Al-Asyi. Sultan Iskandar Muda (1601-1636) membangun dan merekayasa sistem manajemen ketatanegaraan dan pemerintahan Kerajaan Aceh yang lebih komprensif dan detail mencakup struktur aturan negara dan penyusunnya, struktur wilayah dan pemerintahan, struktur manajemen pemerintahan pusat di Kerajaan Aceh, mekanisme pengaturan bekerjanya semua unsur struktur tersebut di dalam suatu sistem, penciptaan produk-produk kebijakan negara yang kondusif dan inspiratif, hingga ke sistem insentif dan disinsentif untuk mempengaruhi perilaku dan kinerja seseorang. Sultan Iskandar Muda memperbahrui hukuman tradisional dengan hukum berdasarkan syariah dimana sumber hukum yang dipakai adalah al-Qur'an, al-Hadist, Ijma' dan Qiyas.
UUD Aceh hasil revisi pemerintahan Sultan Iskandar Muda ini terkenal dengan nama Adat Meukuta Alam, yang kemudian semakin disempurnakan di pemerintah Sultanah Tajul Alam Safiatuddin. AMA disusun oleh ulama atas perintah dan kerjasama dengan pemerintah. Salah satu rujukan AMA adalah UU Malaka yang menjadi kita hukum dan politik pertama di wilayah Melayu, yang bercirikan : (1). Kuatnya pengaruh islam khususnya yang berasal dari mazhab Syafii, (2). Adanya beberapa prinsip pertemuan dan kesesuaian antara hukum Islam dengan adat setempat, menjadi rujukan utama bagi penyempurnaan UU AMA. Pada putaran berikutnya UU AMA yang banyak ditiru oleh negara lain seperti Brunei Darussalam (dimulai pada periode Raja Hasan).