Menghormati Ubi sebagai Makanan Kehidupan

in #esteem7 years ago

image

SUDAH bukan kesangsian lagi Indonesia surga berbagai macam adat-istiadat dan budaya. Kearifan lokal mewujud dalam beragam tradisi, ritual, dan upacara.

Setiap suku atau kelompok etnik mempunyai kekhasan yang berbeda dengan yang lain. Bayangkan, di Indonesia terdapat lebih dari 300 kelompok etnik atau suku bangsa, 1.340 suku bangsa menurut sensus BPS pada 2010. Jika setiap suku punya dua upacara adat, jumlahnya sudah mencapai 2000-an upacara adat di Indonesia setiap tahunnya.

Salah satunya Ritual Adat Reba. Ritual itu menjadi salah satu khazanah dari budaya masyarakat Ngada, Nusa Tenggara Timur. Pesta Adat Reba adalah sebuah kegiatan kebudayaan masyarakat di Nusa Tenggara Timur. Upacara adat tersebut diselenggarakan dalam rangka menyambut pergantian tahun. Salah satu ciri khas ialah memakan ubi bersama-sama dan dengan diiringi tarian adat bernama Besa Uwi.

Reba adalah ritual adat berbentuk pesta adat terbesar untuk Masyarakat Ngada, baik dalam arti fisik maupun dalam perayaan lahiriah.

“Ritual Reba itu ritual untuk mengenang perjalanan leluhur. Baik perjalanan genealogis atau asal-usul, maupun perjalanan spiritual,” terang peneliti dan pakar budaya Ngada Dr Watu Yohanes Vianey.

Dr Watu Yohanes Vianey menjadi pembicara kunci dalam Seminar Nasional Budaya Ngada-Flores NTT dengan tajuk Transformasi serta Integrasi Pengembangan Nilai Budaya Ngada dalam Konteks Masyarakat Majemuk dan Ekosistem Pariwisata Menuju Cagar Budaya Dunia di Kolese Kanisius Jakarta, 7 Februari 2018.

Masyarakat Ngada memaknai arti kata reba untuk mengungkapkan dua hal. Pertama sebagai sebuah nama bulan yang menegaskan reba dilaksanakan bulan pertama penahunan Ngada. Kedua, sebagai nama perayaan tahun baru yang dilakukan di setiap akhir dan awal tahun, dalam bentangan bulan Desember hingga akhir Februari.

Menurut Vianey, kata reba mengandung serapan dari bahasa Jawa kuno atau Sanskerta. Kata reba, secara kebahasaan, terkait dengan penghormatan terhadap arwah para leluhur. “Kita ada serapan dari Jawa Kuno. Itu dari kata yang terhubung dengan jawa kuno kata rwa, itu jamak dari arwah yang terhubung dengan leluhur. Jadi para leluhur yang sudah meninggal, melalui ritual reba dikenang,” terang Vianey.

Reba Ngadha sarat akan nilai-nilai religius, etika, etos kerja dan kebersamaan masyarakat. Nilai itu terwujud dalam upacara doa bersama, nyanyian, dan tarian adat secara masal.

Upacara Reba biasanya diselenggarakan oleh masyarakat etnis Ngadha secara variatif tanggal pelaksanaan dari setiap kampung masyarakat adat dengan kisaran pada Desember sampai Februari setiap tahun.

“Yang kedua, terhubung dengan perayaan ritual berdasarkan siklus-siklus musim. Dalam hal ini, bulan. Bulan di Ngada ada 13 bulan. Bulan pertama disebut Wula Reba,” tambahnya.

Ritual juga dilakukan sebagai ung­kapan rasa syukur atas anugerah kehidupan di tahun yang telah berlalu dan sekaligus mohon berkat untuk perjalanan hidup di tahun yang baru. Hal itu bisa ditilik dari benda ritual utama dalam Reba Ngada adalah ubi.

“Karena benda ritual yang dijadikan sebagai simbol utamanya adalah ubi. Sebagai makanan kehidupan,” jelas Vianey.

Sebelum pelaksanaan tarian reba secara massal yang diikuti seluruh warga kampung dengan berpakaian adat, setiap anggota masyarakat dalam kerabat keluarga rumah adat masing-masing melaksanakan ritual reba untuk menghormati leluhur masing-masing yang diakhiri dengan jamuan makan bersama nasi reba (maki reba).

Dalam tuturan upacara adat Reba masyarakat Ngada, ubi disebut sebagai makanan kehidupan yang tidak pernah musnah.

“Ubi ini itu dalam tuturan ritualnya dia tidak pernah musnah. Dia punya ketahanan tersendiri. Ketika dia hidup karang-karangnya itu sampai ke langit. Itu metaforanya,” tambahnya.

Pelaksanaan Reba
Saat Reba, setiap rumah dalam kampung yang melaksanakan reba wajib menyediakan nasi reba (maki reba) untuk disuguhkan sebagai jamuan makan kepada warga masyarakat yang hadir menyaksikan tarian reba. Pada acara ritual Reba ini biasanya semua anggota keluarga dalam satu rumpun rumah adat yang bekerja di luar kampung akan hadir, ke­cuali bagi anggota keluarga yang dengan alasan tertentu tidak dapat hadir.

Di tanah asal, Reba dilakukan dengan beberapa tahapan. Pertama, Buy Loka Lanu. Kedua, Dheke Reba. Ketiga, Reba Uwi. Keempat, Ire Reba dan terakhir Puy Nua. Namun, sebelumnya dilakukan Misa.

“Itu sudah terjadi inkulturasi. Dari sisi teologi, diawali dengan Perayaan Ekaristi. Makanan kehidupan dalam tradisi kekristenan hadir dalam rupa roti dan anggur. Roti, makanan kehidupan itu analogi keberadaannya sama dengan ubi,” tegas Vianey.

Pada tahapan pertama, terdapat beberapa prosesi yang dilakukan. Beberapa di antaranya masyarakat Ngada membersihkan monumen tumpukan batu tempat suci pemujaan para leluhur. Ritual itu dipimpin Kepo Wesu (pemimpin upacara adat) bersama Ana Woe (keluarga besar dalam rumah adat). Prosesi itu disebut Wasi Watu Lanu ne’e Puy Loka Lanu.

Selain itu, juga dilakukan Bui Uwi, yakni membakar ubi nasi untuk memberikan makan leluhur di Loka Lanu. Ubi nasi dan daging ayam yang telah dibakar serta tuak disatukan dalam beberapa tempat sesajen dan ditempatkan di beberapa batu utama di Loka Lanu untuk makan leluhur. Prosesi ini disebut Tii ka Ebu Nusi.

Tahapan kedua disebut Dheke Reba yang juga terdapat beberapa rangkaian ritual. Di antaranya Bhea Mataraga one Sao-Masa Ebu Nusi Mai Dhegha Ne’e Kita, yakni ritual pekikan penyertaan arwah leluhur di tempat utama dalam rumah adat untuk menghadirkan arwah leluhur. Lalu masih ada Ka maki reba, yakni memakan ubi nasi dan daging ayam serta minum moke untuk semua ana woe secara bersama-sama.

Ketiga, Reba Uwi. Pada tahapan ini juga terdapat beberapa ritual. Di antaranya Dhoy Uwi, yakni ketika para putri memikul ubi nasi dari kebun menuju rumah adat dan dipersembahkan dalam kampung. Lalu Soka Uwi, yakni pekikan mengantar ubi nasi menuju kampung dengan ooooooo, uwi eeeeeee, ooooooo, uwi eeeeeee, Uwi ngata Sili Ana Wunga da nuka pera gua. Pada tahapan ketiga juga dilakukan O Uwi, yakni nyanyian dan tarian bersama warga kampung.

Tahapan keempat ialah Ire Reba. Pada tahapan ini, terdapat ritual Leza da Mona Ma’e ngo uma atau hari nyepi untuk introspeksi. Tahapan kelima ialah Puy Nua yang dilaksanakan dengan membersihkan kampung secara gotong royong.

Dari berbagai tahapan itu tampak jelas ubi menduduki peran penting dalam Ritual Reba. “Uwi (ubi) itu sebagai makanan kehidupan pada masa lalu yang sampai sekarang dikenang dan dibudidayakan,” pungkas Vianey. SUDAH bukan kesangsian lagi Indonesia surga berbagai macam adat-istiadat dan budaya. Kearifan lokal mewujud dalam beragam tradisi, ritual, dan upacara.

Setiap suku atau kelompok etnik mempunyai kekhasan yang berbeda dengan yang lain. Bayangkan, di Indonesia terdapat lebih dari 300 kelompok etnik atau suku bangsa, 1.340 suku bangsa menurut sensus BPS pada 2010. Jika setiap suku punya dua upacara adat, jumlahnya sudah mencapai 2000-an upacara adat di Indonesia setiap tahunnya.

Salah satunya Ritual Adat Reba. Ritual itu menjadi salah satu khazanah dari budaya masyarakat Ngada, Nusa Tenggara Timur. Pesta Adat Reba adalah sebuah kegiatan kebudayaan masyarakat di Nusa Tenggara Timur. Upacara adat tersebut diselenggarakan dalam rangka menyambut pergantian tahun. Salah satu ciri khas ialah memakan ubi bersama-sama dan dengan diiringi tarian adat bernama Besa Uwi.

Reba adalah ritual adat berbentuk pesta adat terbesar untuk Masyarakat Ngada, baik dalam arti fisik maupun dalam perayaan lahiriah.

“Ritual Reba itu ritual untuk mengenang perjalanan leluhur. Baik perjalanan genealogis atau asal-usul, maupun perjalanan spiritual,” terang peneliti dan pakar budaya Ngada Dr Watu Yohanes Vianey.

Dr Watu Yohanes Vianey menjadi pembicara kunci dalam Seminar Nasional Budaya Ngada-Flores NTT dengan tajuk Transformasi serta Integrasi Pengembangan Nilai Budaya Ngada dalam Konteks Masyarakat Majemuk dan Ekosistem Pariwisata Menuju Cagar Budaya Dunia di Kolese Kanisius Jakarta, 7 Februari 2018.

Masyarakat Ngada memaknai arti kata reba untuk mengungkapkan dua hal. Pertama sebagai sebuah nama bulan yang menegaskan reba dilaksanakan bulan pertama penahunan Ngada. Kedua, sebagai nama perayaan tahun baru yang dilakukan di setiap akhir dan awal tahun, dalam bentangan bulan Desember hingga akhir Februari.

Menurut Vianey, kata reba mengandung serapan dari bahasa Jawa kuno atau Sanskerta. Kata reba, secara kebahasaan, terkait dengan penghormatan terhadap arwah para leluhur. “Kita ada serapan dari Jawa Kuno. Itu dari kata yang terhubung dengan jawa kuno kata rwa, itu jamak dari arwah yang terhubung dengan leluhur. Jadi para leluhur yang sudah meninggal, melalui ritual reba dikenang,” terang Vianey.

Reba Ngadha sarat akan nilai-nilai religius, etika, etos kerja dan kebersamaan masyarakat. Nilai itu terwujud dalam upacara doa bersama, nyanyian, dan tarian adat secara masal.

Upacara Reba biasanya diselenggarakan oleh masyarakat etnis Ngadha secara variatif tanggal pelaksanaan dari setiap kampung masyarakat adat dengan kisaran pada Desember sampai Februari setiap tahun.

“Yang kedua, terhubung dengan perayaan ritual berdasarkan siklus-siklus musim. Dalam hal ini, bulan. Bulan di Ngada ada 13 bulan. Bulan pertama disebut Wula Reba,” tambahnya.

Ritual juga dilakukan sebagai ung­kapan rasa syukur atas anugerah kehidupan di tahun yang telah berlalu dan sekaligus mohon berkat untuk perjalanan hidup di tahun yang baru. Hal itu bisa ditilik dari benda ritual utama dalam Reba Ngada adalah ubi.

“Karena benda ritual yang dijadikan sebagai simbol utamanya adalah ubi. Sebagai makanan kehidupan,” jelas Vianey.

Sebelum pelaksanaan tarian reba secara massal yang diikuti seluruh warga kampung dengan berpakaian adat, setiap anggota masyarakat dalam kerabat keluarga rumah adat masing-masing melaksanakan ritual reba untuk menghormati leluhur masing-masing yang diakhiri dengan jamuan makan bersama nasi reba (maki reba).

Dalam tuturan upacara adat Reba masyarakat Ngada, ubi disebut sebagai makanan kehidupan yang tidak pernah musnah.

“Ubi ini itu dalam tuturan ritualnya dia tidak pernah musnah. Dia punya ketahanan tersendiri. Ketika dia hidup karang-karangnya itu sampai ke langit. Itu metaforanya,” tambahnya.

Pelaksanaan Reba
Saat Reba, setiap rumah dalam kampung yang melaksanakan reba wajib menyediakan nasi reba (maki reba) untuk disuguhkan sebagai jamuan makan kepada warga masyarakat yang hadir menyaksikan tarian reba. Pada acara ritual Reba ini biasanya semua anggota keluarga dalam satu rumpun rumah adat yang bekerja di luar kampung akan hadir, ke­cuali bagi anggota keluarga yang dengan alasan tertentu tidak dapat hadir.

Di tanah asal, Reba dilakukan dengan beberapa tahapan. Pertama, Buy Loka Lanu. Kedua, Dheke Reba. Ketiga, Reba Uwi. Keempat, Ire Reba dan terakhir Puy Nua. Namun, sebelumnya dilakukan Misa.

“Itu sudah terjadi inkulturasi. Dari sisi teologi, diawali dengan Perayaan Ekaristi. Makanan kehidupan dalam tradisi kekristenan hadir dalam rupa roti dan anggur. Roti, makanan kehidupan itu analogi keberadaannya sama dengan ubi,” tegas Vianey.

Pada tahapan pertama, terdapat beberapa prosesi yang dilakukan. Beberapa di antaranya masyarakat Ngada membersihkan monumen tumpukan batu tempat suci pemujaan para leluhur. Ritual itu dipimpin Kepo Wesu (pemimpin upacara adat) bersama Ana Woe (keluarga besar dalam rumah adat). Prosesi itu disebut Wasi Watu Lanu ne’e Puy Loka Lanu.

Selain itu, juga dilakukan Bui Uwi, yakni membakar ubi nasi untuk memberikan makan leluhur di Loka Lanu. Ubi nasi dan daging ayam yang telah dibakar serta tuak disatukan dalam beberapa tempat sesajen dan ditempatkan di beberapa batu utama di Loka Lanu untuk makan leluhur. Prosesi ini disebut Tii ka Ebu Nusi.

Tahapan kedua disebut Dheke Reba yang juga terdapat beberapa rangkaian ritual. Di antaranya Bhea Mataraga one Sao-Masa Ebu Nusi Mai Dhegha Ne’e Kita, yakni ritual pekikan penyertaan arwah leluhur di tempat utama dalam rumah adat untuk menghadirkan arwah leluhur. Lalu masih ada Ka maki reba, yakni memakan ubi nasi dan daging ayam serta minum moke untuk semua ana woe secara bersama-sama.

Ketiga, Reba Uwi. Pada tahapan ini juga terdapat beberapa ritual. Di antaranya Dhoy Uwi, yakni ketika para putri memikul ubi nasi dari kebun menuju rumah adat dan dipersembahkan dalam kampung. Lalu Soka Uwi, yakni pekikan mengantar ubi nasi menuju kampung dengan ooooooo, uwi eeeeeee, ooooooo, uwi eeeeeee, Uwi ngata Sili Ana Wunga da nuka pera gua. Pada tahapan ketiga juga dilakukan O Uwi, yakni nyanyian dan tarian bersama warga kampung.

Tahapan keempat ialah Ire Reba. Pada tahapan ini, terdapat ritual Leza da Mona Ma’e ngo uma atau hari nyepi untuk introspeksi. Tahapan kelima ialah Puy Nua yang dilaksanakan dengan membersihkan kampung secara gotong royong.

Dari berbagai tahapan itu tampak jelas ubi menduduki peran penting dalam Ritual Reba. “Uwi (ubi) itu sebagai makanan kehidupan pada masa lalu yang sampai sekarang dikenang dan dibudidayakan,” pungkas Vianey.

Sort:  

Hi! I am a robot. I just upvoted you! I found similar content that readers might be interested in:
http://mediaindonesia.com/news/read/145720/menghormati-ubi-sebagai-makanan-kehidupan/2018-02-18