Bahagia itu, ketika bisa mendapatkan apa yang diinginkan. Ketika keinginan-keinginan tak didapatkan, maka tak akan ada bahagia. Merasa diri mejadi orang yang gagal. Hal ini terjalani selama belasan tahun lamanya, hingga benar-benar melekat kuat. Bahagia, ya seperti itu.
Guliran waktu, perjalanan, dan takdir, mengajarkan hal lain tentang bahagia, bukan yang seperti dulu itu lagi. Akhirnya...bahagia itu ketika bisa membagikan hal-hal yang dipunyai. Tapi ketika kepunyaan sudah tak ada lagi, bahkan walau hanya seulas senyum, bahagia pun juga tak ada.
Lalu...di manakah letak bahagia itu?
Perjalanan, pengalaman, pemahaman, pertemuan, dan peranan takdir, akhirnya menyimpulkan hal lain, bahwa: bahagia itu sebenarnya sudah ada di hati, tapi tak terlihat karena kesibukan mencari bahagia di luar diri. Hatinya belum berfungsi seperti sebagaimana seharusnya, sebab masih tertutupi ego yang melonjak tinggi be rsama gulir gemerlapnya dunia.
Akhirnya...wangsit datang dan lahirlah mantra bahagia: BERTAMBAH BAHAGIA SETIAP WAKTU.
Ini berlebihan? Tidak. Karena pengalaman dan pemahamannya mengajarkan begitu. Ketika bahagia hadir di hati yang telah damai, maka bahagia itu akan menarik bahagia-bahagia lainnya untuk mendekat. Tak peduli pada apa yang telah didapatkan. Tak soal pada apa yang telah dibagikan. Tersebab, sungguh tak perlu ada alasan untuk bisa bahagia. Ia sederhana saja.
Dulu...melepaskan selalu membuat menderita karena masih terlekati kepemilikan. Masih merasa memiliki. Sangat memiliki, hingga terjadi penderitaan ketika dilepaspaksakan atau melepasrelakan.
Kini...setelah dipahamkan oleh pengalaman dan perjalanan, akhirnya terbentuklah sebuah kesimpulan, bahwa tak ada apa pun yang bisa dimiliki, semua hanya titipan yang sewaktu-waktu bisa diambil dengan mudahnya oleh yang menitipinya.
Diri ini, pun adalah titipan juga. Akan diambil ketika waktunya telah berakhir. Itu yang dipahamkan dan diyakini. Tapi suratan takdir ternyata memahamkan hal lain, ternyata diri ini sudah ditiadaadakan padahal waktunya belum habis.
Aku telah kehilangan aku. Aku adalah aku, dia, dan mereka. Bergerak bukan hanya gerakku. Melangkah bukan hanya kakiku. Memegang bukan hanya tanganku. Merasa bukan hanya hatiku. Berpikir bukan hanya otakku. Kadang aku ikut andil atas diriku, tapi kadang hanya menjadi penonton dan saksi atas diriku sendiri. Aku bukan hanya aku sendiri. Aku bukan satu, tapi dua, tiga, empat, bahkan mungkin tak berhingga.
Ini apa? Tak ada teori yang menjelaskan itu. Apa semua harus dengan teori? Apa semua mesti masuk logika? Secanggih-canggihnya logika manusia, sungguh tak akan pernah bisa menandingi logika Tuhan.
Semuanya dikembalikan pada takdir. Lalu, adakah takdir itu salah? Takdir tak pernah salah, hanya karena kepongahan ego dan kerasnya hati lah yang tak bisa menerima kebenaran takdirnya.
Maka...AKU MELEPASKAN DIRIKU DAN AKU BERBAHAGIA ATASNYA.
Sungguh, rasanya lain terasa. Pelangi itu dalam diri. Keanekaragaman laku telah mengayakan diri, hingga akhirnya tertunduk dan memejamkan mata lebih dalam.
Allah...Kaulah yang berkuasa atasku, bukan diriku sendiri. Kusadar, Kau menagih pembuktian ikrarku yang telah selama puluhan tahun kuucapkan setiap hari: Sesungguhnya salatku, ibadahku, hidupku, dan matiku, hanya untuk Tuhan semesta alam.