Ia terlihat sangat tua dengan topi kusamnya di sudut gerbang sebuah pusat perbelanjaan. Tangannya menggenggam gantungan belasan topi kain beraneka warna. Kakek itu ternyata penjual topi. Ia duduk di bawah terik matahari yang membakar kulitnya, menyisakan peluh pada kemejanya yang pudar.
Saya melihatnya saat keluar dari gerbang pusat perbelanjaan, setelah selesai menarik uang di ATM. Tadinya saya tidak menyadari ada seorang kakek penjual topi di sana, seperti halnya orang-orang yang lalu- lalang acuh tak acuh dengan keberadaan si kakek. Ketika hendak pulang, kebetulan saya membalikkan badan melihat ke belakang, ternyata kakek itulah yang saya lihat. Tubuhnya ringkih, punggungnya sudah membungkuk, keriput di kulitnya terlihat di sana-sini. Tapi hebatnya, ia masih terlihat kuat. Saya menghampirinya.
“Pak, harga topinya berapa?” tanya saya berniat membeli topi.
“Sepuluh ribu...” jawabnya.
“Beli satu ya, Pak...” Langsung saja saya memilih topi berwarna coklat yang kelihatannya lebih bagus dibanding topi yang lain, lalu memberikannya selembaran uang. Kakek itu mencoba merogoh kantong bajunya untuk memberikan kembalian.
“Kembaliannya buat Bapak saja. Makasih ya, Pak.” Sebelum saya beranjak pergi, kakek itu mengucapkan terima kasih berkali-kali sambil mengucapkan doa kebaikan buat saya. Saya jadi terharu, hampir saja menangis, karena ia mendoakan saya agar sehat dan dilimpahi rezeki. Lalu saya beranjak ke arah kendaraan yang diparkir dan pulang.
Kalau boleh jujur, sebenarnya kualitas topi yang dijual kakek itu bukanlah kualitas tinggi, hanya topi biasa, tapi cukup bagus bahan dan warnanya. Sebenarnya pun saya tidak tahu untuk siapa saya membeli topi itu. Mungkin nanti akan saya berikan pada keponakan atau tetangga saya, atau saya simpan dulu sampai nanti suatu saat pasti akan ada manfaatnya.
Mungkin saya tergerak untuk membeli topinya karena saya simpatik kepada kakek itu. Saya juga teringat kisah “Penjual Amplop” yang pernah saya baca di sebuah situs media online. Yang paling saya ingat dari kata-kata penulisnya adalah:
“Bapak-bapak tua menjajakan barang dagangan yang tak laku- laku, ibu-ibu tua yang duduk terpekur di depan warungnya yang selalu sepi. Carilah alasan-alasan untuk membeli barang-barang dari mereka, meski kita tidak membutuhkannya saat ini. Jangan selalu beli barang di mal-mal dan toko-toko yang nyaman dan lengkap.”
Ya, terkadang kita memang harus mencari alasan untuk membeli barang yang mungkin belum kita butuhkan. Membeli barang dagangan dari seorang penjual pinggiran jauh lebih baik daripada memberi uang secara cuma-cuma kepada mereka, katakanlah bila kita merasa kasihan padanya. Dengan membelinya, ia akan merasa jerih- payahnya terbayar dan semakin bersemangat untuk berusaha. Sementara jika diberi secara cuma-cuma, maka secara tak langsung kita sudah mendidiknya menjadi bermental pengemis.
Pernah lihat ekspresi wajah orang ketika mendapatkan rezeki setelah seharian berpanas-panasan belum ada satu pun barang dagangan yang laku? Mereka sangat bahagia...sangat bahagia, seakan buncahan air mata akan meluap begitu saja. Tidakkah itu membuat kita bahagia?