Mendengar proses kreatif dibalik kehadiran novel berjudul "Kura Kura Berjanggut" langsung dari pengarangnya Azhari Aiyub di acara kelas ke-34 FAMe, aula Dinas Arsip dan Perpustakaan Aceh, Selasa (29/5) sore kemarin, saya jadi berimajinasi tentang Selat Malaka. Di masa kini, inilah jalan utama menuju wilayah Laut Cina Selatan, sedangkan di masa silam, inilah Jalur Sutera (Silk Road) perdagangan rempah, sekaligus jalur unjuk kekuatan antara Aceh, Johor dan Portugis.
Bayangkan saja, jika posisi kekinian Selat Malaka yang sudah diatur dan dijaga dengan kekuatan canggih masih saja ada bajak laut, konon lagi di masa lampau ketika Selat Malaka menjadi lalu lintas perdagangan rempah-rempah. Yarmen Dinamika sebagai moderator sempat menyebut aksi kelompok Abu Sayyaf yang menyandera awak kapal tugboat Brahma 12, dan kemudian berulang menyandera awak kapal Charles tahun 2016 dengan tembusan 20 juta ringgit.
Keramaian Selat Malaka tentu bukan hanya kini, dahulu kala juga ramai oleh lalu lintas kapal dari berbagai penjuru dunia, untuk satu urusan, perdagangan rempah, yang akhirnya meningkat menjadi jalur konflik antara mereka yang ingin menjajah negeri-negeri kaya rempah dengan mereka yang ingin terus menjadi penguasa Selat Malaka. Akhirnya, Selat Malaka bukan lagi sekedar jalur datang dan pergi, melainkan zona unjuk kekuatan semua pihak, khususnya mereka yang memiliki kekuatan angkatan tempur.
Sumber: revublik.com
Bisa dibayangkan betapa strategisnya kelompok bajak laut di tengah persaingan dan unjuk kekuatan para petarung di lautan. Keberadaan mereka bukan sekedar pengganggu yang mesti diperangi, sekaligus pula sebagai pihak yang paling cocok dijadikan sekutu untuk melemahkan dari dalam kekuatan yang ada di dalam negeri, konon lagi bila pemimpin bajak laut memiliki riwayat tidak bagus dengan penguasa negeri. Parameswara yang akhirnya membentuk Kerajaan Malaka, menjadi contoh sukses bajak laut. Pelarian dari Majapahit ini dikenal sebagai Raja Bajak Laut dan pernah menjalin dukungan dengan Kaisar Ming dari Cina dalam usaha membantu membentengi diri dari kerjaaan Majapahit. Parameswara baru berganti nama menjadi Iskandar Syah putri raja dari Samudera Pasai.
Maka, tidak heran jika banyak sekali catatan sejarawan yang menulis tentang bajak laut Selat Malaka, yaitu kelompok yang mencoba mengambil keuntungan dengan cara-cara paling kejam terhadap sasaran bajak dan juga paling licik terhadap musuh di dalam negeri bersebab menguasai Selat Malaka bermakna menguasai sumber pemasukan dari dalam dan dari luar.
Konflik segitiga yang melibatkan Aceh, Portugis dan Johor di 1511 - 1641 dan konflik sesudah itu dengan maksud membangun supremasi di Selat Malaka bisa jadi juga amat menguntungkan keberadaan bajak laut, khususnya untuk menjadi sekutu bagi musuh guna melemahkan kekuatan raja di negeri sendiri.
Aceh juga pernah menjadi penguasa Selat Malaka di rentang konflik segitiga yang melibatkan Johor dan Portugis di rentang waktu 1511 - 1641. Untuk tetap menjadikan Kutaradja sebagai bandar bisnis bagi Selat Malaka otomatis Aceh harus selalu bisa mematahkan pengaruh Johor atas Selat Malaka, termasuk gangguan Portugis, siapapun rajanya, baik Sultan Ali Mughayat Syah hinggalah Sultan Iskandar Muda.
Dengan fakta itu, saya sadar ketika berada di Mesjid Labui, Pidie dimana ada tongkat Sultan Iskandar Muda. Saya jadi berimajinasi betapa sibuknya Sultan yang langsung turun tangan untuk memastikan semua kekuatan di Aceh berada di dalam genggamannya bila ingin tetap memiliki kekuatan untuk menginvasi mereka yang hendak menguasai Selat Malaka. Penyerangan Aceh terhadap Portugis untuk merebut kembali Selat Malaka pada 1606 jelas membutuhkan kekuatan besar, bukan hanya untuk mengoperasikan Kapal Cakra Donya yang oleh prajurit Portugis disebut Espanto del Mundo (teror dunia) tapi juga angkatan tempur yang didukung langsung rakyat.
Sebagai seorang novelis, menemukan patahan-patahan fakta sedemikian rupa tentu saja seperti anak kecil yang menemukan lautan biru dengan hamparan pasir dan hembusan angin serta tarian gelombang. Pasti banyak yang bisa dibayangkan, bahkan dengan sangat liar. Begitu pula dengan Azhari Aiyub, dan karena itu saya tersenyum ketika ia berkisah imajinasinya yang begitu liar dengan segenap tokoh-tokoh yang hadir dan menghilang di batok kepalanya. Dengan begitu, wajar saja jika dari keliaran berimajinasi itu hadir 965 lembar hikayat Kura Kura Berjanggut.
Novel yang sangat menarik bg.. Pos yang sangat bagus bg.
Gamba ke 3 nyan dipat bang? Peu bak Masjid Labui nyeh? 😂
Oh nye, hana kubaca. hahahahha
Hahaha
Novel kura-kura berjanggut telah menyedot segenap pihak dan bahkan ada yang sangat berambisi untuk menjadi the first dalam menerima novel tersebut. Saya memang belum memiliki dan membaca novel tersebut tapi saya sudah membaca paling tidak 5 postingan steemian tentang novel yang telah menghabiskan 12 tahun dalam merampungkan novel tersebut. Good luck bang @rismanrachman
Gawat tat ya
Gawat sih tidak tapi fenomenal hehehe
🙌 sangat berimajinasi, upload kurakura yang berjanggut juga bang. 🤪
Hek loen mita kura2 yang ba janggot, hana deuh
refleksi hikayat meukuta alam sepertinya ya bang
Entah juga, gawat ta si Azhari
Semakin penasaran deh dengan isi kura-kura berjanggut.
Gawat isinya
Pertemuan FAMe ke-43, Bang.
Luar biasa proses kreatifnya, lebih 12 tahun bukan main-main. Kalau kepala Bang Azhari Aiyub penuh, tentu kepala Aini pecah terburai-burai. Nulis di Steemit aja dulu, ah. Hahaha
@dyslexicmom Haha. Malangnya aku yg picture and text visual domiinant ini... Lgsg kebayang proses kepala pecah terburai itu, Aini, bak di film kartun. Haha.
Kasian juga ya Bang Azhari Aiyub, tenggelam dlm campur aduk imajinasi kurkurgut (kura-kura berjanggut) selama 12 thn. Pasti kini hatinya lega luar biasa, telah lepas dari 'perangkap' si kurkurgut itu.
Btw, Bang @rismanrachman, jadikah mau hadiahin saya novel ini? 😀 Kepo banget, pingin baca karya Azhari yg luar biasa ini!
Ecieee...yang mau dihadiahin. Kakak enyaak!
Saya kok fokusnya ke tag esteem😂😂😂
STOP
Ulon galak that tungkat nyan, bak sang tungkat peunulang wali ☝️
post yg bagus ttg sjarah,,,
slm ukhwah smga berkah,,aamiin yaa rabb