Aku Disini, Kau Dimana?

in #esteem6 years ago

Ini purnama ke tiga. Ya, aku masih duduk di bawah pohon yang sama. Pohon besar tempat kita berjanji se-ia, se-kata. Tapi, kenapa kau tak pernah hadir?

“Apa abang yakin dengan pilihan ini?”, sambil menyenderkan kepalanya di bahu kananku. Aku tetap diam seribu bahasa. Hanya nafas yang tersenggal, sesak membuncah.

“Bang, jangan diam... Jawablah...”, Kali ini ia menggoyang lenganku. Aku menoleh, tersenyum berat dengan sinar mata yang kuyu, menatap ke dua bola mata yang memerah penuh air mata.

“Tidak ada pilihan dek...”, Ia tergugu kaku.

“Tapi bang....”, aku segera menangkup kedua bibirnya dengan lembut.

Sambil menggelengkan kepala perlahan, “Inilah satu-satunya jalan agar kita dapat bersatu. Derajat kita berbeda, kau lihatlah sayang, orang-orang berbisik jijik memandangku... Aku bisa menerima itu...”. Aku menarik nafas dalam-dalam sedangkan Ia menunduk, mengusap ingus yang meleleh bersama air mata.

Kemudian kami sama-sama diam. Hening yang menyesakkan. Angin sendiri, sepertinya enggan membelai dedaunan pohon besar ini.
Jemari saling berkait, enggan terlepas. Akhirnya ia bersuara, “Bang...”

“Ya...” aku membalasnya sambil mengecup ubun-ubun.

“Adek paham. Kita akan bertemu satu minggu lagi. Disini...”, ia berdiri dan bergegas lari menjauh. Aku tidak menahannya. Hanya menatap sampai bayangnya hilang dibalik malam.

Sudah tiga purnama. Aku masih duduk sendiri di bawah pohon ini. Beberapa orang, sesekali, sempat melihatku dan berusaha menyergapku. Mungkin, atas suruhan orang tua kekasih ku.

Tapi entah mengapa, mereka malah menjerit-jerit dan lari. Padahal, aku hanya diam dan pasrah. Menerima takdirku, mati bergantung di atas pohon besar...

Apakah begitu menyeramkan?

image
Source: Int (unknoewn artist)