Seorang kawan mengabari saya lewat SMS bahwa ia sedang dalam perjalanan dari Banda Aceh menuju kampungnya di Lhokseumawe. Antara Banda Aceh-Lhokseumawe, berarti Pidie, wilayah kabupaten saya, berada di tengah-tengah.
Tiga jam kemudian: "Euk! Et na ka?" [Hai, sudah sampai di mana?], tanya saya via SMS.
"Alhamdulillah, ka lewat Sigli," [Syukur, sudah melewati Sigli], balasnya.
Sigli adalah nama ibu kota Kabupaten Pidie. Letaknya di sisi jalan yang ia lewati. Sebagai orang Pidie saya jelas tersinggung dengan jawaban itu, lalu saya menukas:
"Man meunyo ka lewat Sigli payah ucap Alhamdulillah? Peu Sigli nyan kawasan meuhantu?" [Jadi, kalau memang sudah berhasil melewati Kota Sigli kenapa harus bersyukur segala? Memangnya ibukota kabupaten kami itu kota penuh hantu, apa?].
Dan dia membalas, "Oh, saya minta maaf. Saya tidak menyangka kamu berpikir dengan gaya argumentasi nalar yang menikung, rumit dan kacau itu. Sepertinya kamu begitu tersinggung dengan jawabanku. Sekali lagi, saya minta maaf."
Lalu saya me-SMS dia lagi, "Hati-hati meminta maaf pada orang Aceh Jaya atas kata-kata 'alhamdulillah saya sudah melewati Calang', dan hati-hati meminta maaf pada orang Aceh Utara atas kata-kata 'alhamdulillah saya sudah melewati Lhoksukon'. Memangnya Calang dan Lhoksukon dua kota yang berpotensi menjebak orang dalam kematian yang mengerikan sehingga bila berhasil melewatinya orang harus mensyukurinya sedemikian rupa?”
Kemudian dia memungkas, "Ya, saya baru sadar. Di hari-hari menjelang Pileg dan Pilpres begini, terutama di Aceh, jangankan kata "minta maaf", kata "alhamdulillah" pun harus hati-hati diucapkan. Baiklah. Oya, ngomong-ngomong, peu ka lheuh kupi, Ngon